Halmahera, Sebuah Cerita – part 2
by Bayu Adi Persada
18 November 2010
Sampailah kami di malam terakhir sebelum pemberangkatan ke desa-desa penempatan. Suka tidak suka, mau tidak mau. Tak ada kata mundur sekarang. Malam-malam selanjutnya akan sangat jauh berbeda. Aroma kota sudah tak akan terasa lagi. Bergabung dengan masyarakat yang kurang tersentuh modernitas, atau bahkan tak tersentuh sama sekali. Merasakan hiruk pikuk keseharian mereka. Menjadi bagian dari mereka setahun ke depan.
Semua tim sudah repot mengeluarkan banyak barang bawaan di hari Jum’at pagi. Tidak semua anggota tim akan berangkat pagi itu. Saya dan Adhi mesti berangkat esok hari karena miskomunikasi dengan kepala sekolah. Aisy dan Ayu sudah dijemput oleh kepala sekolah masing-masing. Tinggallah semua anggota pria kecuali saya dan Adhi yang akan menyebrangi lautan menuju tujuan masing-masing.
Di Wisma Raudhah, kami sudah harus mengucapkan selamat tinggal pada Ayu dan Aisy. Tak sepenuhnya ‘selamat tinggal’ memang. Sebulan atau dua bulan sekali tim akan rutin bertemu di ibukota kabupaten untuk membahas progress dan strategi ke depan.
Dengan tinggalnya Ayu dan Aisy, tim hanya tinggal sepuluh orang ditambah Ummi. Pak Hikmat, Mas Susilo, Adhi, dan saya ikut mengantar Dani, Aheng, Jun, Ajib, Dika, dan Adi ke perantauan. Saya tidak sabar melihat desa-desa dan sekolah tempat mereka nanti mengabdi.
Rute perjalanan mulai dari tujuan terdekat. Desa Indomut dimana Dani akan mengajar di SDN setempat, lalu Aheng di Belang-Belang, Ajib di Torosubang, Jun di Sawang Akar, Dika di Pelita, dan terakhir Adi di Indong. Kami berangkat dengan speed boat. They do have reason to put speed before boat. Kapal ini bergerak cepat sekali dengan dua motor sebagai inti mesin.
Kapal berangkat dari Pelabuhan Lama di Labuha. Perjalanan menuju Desa Indomut tak lama, hanya sekitar 20 menit. Dari kejauhan terlihat anak-anak SD dan masyarakat sudah siap menyambut kami di dermaga. Kami tertegun dan terharu. Mereka sudah melambai-lambaikan tangan. Kami pun membalas. Anak-anak sudah berteriak histeris seakan menyambut tokoh dongeng di mimpi mereka.
Dani, you’re the man for this place. Anak-anak SD ini luar biasa ceria. Mereka sangat menikmati kedatangan kami. Tim segera beranjak ke luar kapal dan menurunkan barang-barang Dani. Kami mengantar Dani ke hadapan putra-putri kebanggaan desa ini.
SDN Indomut benar-benar terletak di tepi pantai. Langsung menghadap lautan dan pulau-pulau hijau di depannya. Cool. Saat kami masuk, sudah banyak anak-anak berkumpul di lapangan. Mungkin ini semua murid di SD ini. Beberapa anggota tim bermain-main sejenak dengan mereka. Sedang beberapa yang lain, termasuk saya ikut rapat penyambutan oleh para dewan guru dan masyarakat.
Kami pun harus meninggalkan Dani sendiri. Tapi saya percaya Dani tak akan pernah sendiri. Dia punya anak-anak itu, seperti juga 50 Pengajar Muda lainnya. Dan juga keluarga tempat dia menetap. Merekalah yang memberikan arti sebuah keluarga nantinya saat keluarga asli kita menunggu di lintas pulau.
Mesin sudah dibunyikan pertanda kapal siap melaju kembali. Tujuan selanjutnya adalah Desa Belang-Belang dimana Aheng akan memimpin desa itu setahun ke depan. Hanya beberapa orang yang berada di dermaga. Mungkin tak terlalu terdengar kabar akan ada guru baru di desa itu.
Masih banyak rumah yang berdindingkan kayu. Sebagian besar tempat MCK pun masih di luar rumah. Beratapkan bintang dan matahari. Semoga Aheng betah di sini. Walaupun begitu, Aheng sepertinya cukup beruntung. Dia akan tinggal di rumah paling bagus di desa ini. But still, challenge bar is high.
Beralih ke desa selanjutnya, Sawang Akar, di mana Jun akan tinggal. Kondisi yang tak jauh berbeda dengan desa sebelumnya. Jun akan sangat senang karena SD-nya berada persis menghadap pantai. Jika dia jenuh, hadapkan wajah ke laut dan rasakan angin untuk membangkitkan lagi semangat yang mulai luntur.
Desa Bajo adalah desa yang paling unik. Ini baru namanya kampong nelayan. Sebagian besar rumah di sini adalah rumah pangung. Kayu yang menopang rumah ini pun cukup tinggi. Di sinilah Ajib setiap hari akan bertemu masyarakat desa dan mengajar di SD Torosubang. Kalau saya, tak akan tahan tinggal di sini. Saya sangat sensitif dengan bau ikan teri. Pusing. Bisa gila karena banyak sekali keluarga yang mengasinkan ikan teri di halaman rumah mereka.
Untung saja Ajib lulusan sarjana perikanan. Harusnya tak masalah. Apalagi dengan otot yang besar. Eh?
Kami sampai persis saat Solat Jum’at di Desa Pelita. Tim kini hanya tinggal berjumlah 6 orang dan Ummi. Sudah banyak yang kami tinggalkan dan di desa ini, kami harus menitipkan Dika pada warga setempat. Setelah Solat Jum’at, kepala sekolah mengadakan pertemuan sebentar dengan para jamaah menyangkut kedatangan Tim Indonesia Mengajar.
Masyarakat sangat menyambut baik. Terlihat dari banyak senyum dan terdengar kata-kata Tuhan. Subhanallah. Alhamdulillah. Dika akan menjadi figur di sini. Saya tahu track record dia semasa kuliah dan harusnya tak begitu masalah untuknya mengorganisasi masyarakat desa ini.
Dika akan tinggal di rumah kepala sekolah. Keluarga yang ramah dan bersahaja. He’s in very good family with a lovely son, Galang.
Indong, destinasi selanjutnya. Cukup banyak orang yang menyambut guru baru mereka, Adi, di dermaga kecil ini. Anak-anak sangat tertarik ketika saya mengeluarkan kamera dari tas ransel. Saya memotret tingkah mereka dari kapal sebelum naik ke daratan.
Anak-anak Indong sejauh ini memiliki wajah yang paling unik, menurut saya. Entah, apa hanya perasaan saja. Yang jelas, saya sangat menikmati mengambil foto senyum dan tingkah anak-anak ini. Adi bias jadi sangat beruntung mendapatkan anak-anak ini. Ceria dan bertingkah. Khas.
Adi, anggota tim terakhir yang kami antar ke tempat merajut mimpi anak-anak desa. Tinggal saya dan Adhi ditemani Pak Hikmat, Mas Susilo, dan Bu Poni di kapal itu. Kapal akan bergerak kembali ke Pelabuhan Lama di Labuha. Jam 3 sore saat itu.
—
Malam itu juga, Pak Hikmat dan MasSusilo harus menuju Babang untuk kembali ke Ternate. Kapal akan berangkat jam 9 dari pelabuhan.
Selepas Maghrib, saya, Adhi, dan Ayu mengantarkan mereka ke pelabuhan dengan otto, sebutan untuk mobil di sini.
Sampai di pelabuhan, kami mengantar Pak Hikmat dan Mas Susilo sampai ke depan kamar. Ah, memang dasar direktur. Kamarnya kembali VIP. Dingin sekali kamar ini. Mudah sekali untuk pelor di kasur. Nempel molor, istilah di asrama dulu.
Sebelum kembali ke wisma di mana saya dan Adhi akan menginap satu malam lagi, otto yang kami sewa mengantar Ayu ke rumah Ummi. Dia akan menginap di sana semalam.
Malam terakhir saya dan Adhi merasakan aroma kota dan AC ruangan.
Esok hari kami akan menemukan dunia baru. Dunia yang dulu tak pernah kami bayangkan. Tak pernah terpikir sama sekali. Hidup di daerah pesisir bersama masyarakat yang sederhana. Makan ikan setiap hari, terbiasa dengan ketiadaan sinyal, hidup yang berjalan lambat, dan bahasa daerah yang masih asing.
Stake is incredibly high. Level up.
Bibinoi. Tujuanterakhir. Sebuahawal.