Bibinoi, Sebuah Cerita – part 2

by Bayu Adi Persada

29 November 2010

Selasa, 23 November 2010. Jam 9.

Hari ini kali pertama saya mengeluarkan anak dari kelas. Akib dan Diky, teman sebangku yang kerap berulah. Mereka tak bisa baca. Menghitung pun terbatas. Menulis memang agak lumayan. Saya memang tak pernah memakai rotan untuk mengatur murid-murid ini. Faktanya, hampir semua guru di SD Bibinoi memegang rotan saat mengajar. Walaupun tidak selalu dipakai memukul, mereka bilang setidaknya anak takut untuk berulah.

Question arises, “Do students have to be afraid of their teacher?” Pertanyaan yang harusnya ditanyakan pada setiap guru di sini biarpun jawabannya sudah tertebak. Takut harus menjadi bagian dalam belajar, berkaitan dengan kultur orang Maluku katanya.
Buat saya ada cara lain selain memegang rotan. Ya itu tadi, buat peraturan yang benar-benar dijalankan.

Peraturan saya, tak ada yang makan di kelas. Minum boleh. Tak ada yang mengangkat kaki di kursi atau meja. Kaget ada peraturan ini? I was just surprised as you are, dear readers, when I first noticed that students here tend to rise their feet in the class. Worse, some of them like to spit on the floor. Crazy, right. That’s the color of them. Kalau keluar kelas, harus minta izin saya. Well, ada alasan paling khas untuk keluar kelas di sini. Buang ludah. Entah, ludah orang Maluku banyak atau bagaimana, yang jelas hampir setiap anak di sini pernah minta izin buang ludah.

Kembali ke Akib dan Diky, mereka makan di kelas. Sudah diperingatkan, tapi kembali mengulangi. Mau tak mau, demi menanamkan contoh pada murid yang lain, saya mengeluarkan mereka. Dengan adanya peraturan itu, saya mempunyai banyak mata-mata. Murid-murid sendiri yang menjadi pengawas bagi teman mereka sendiri. Tipikal anak SD, senang melihat temannya dihukum. Jadilah, setiap ada yang berulah, selalu ada yang berteriak, “Pak Guru, si A makan” atau “Pak Guru, si A dan si B baku pukul”. Baku pukul, bahasa lainnya berkelahi.

Saya juga manusia yang punya batas kesabaran. Di hari ini juga, kesabaran saya sudah ada di zona merah. Sedikit lagi meledak dan melemparkan apa yang ada di tangan. Anak-anak ribut luar biasa. Benar-benar di luar kendali, mereka berteriak, berjalan-jalan, dan melakukan apa pun yang mereka suka. Suara saya kalah telak.

Ada penghapus papan di tangan kanan. Saya ingin saja melemparkan penghapus ini ke tembok di belakang kelas. Alih-alih melempar, saya memukulkannya keras-keras ke papan tulis. Keras sekali. Itu pertama kalinya saya lepas kendali. Seperti bom atom suaranya. Anak-anak melihat saya dan penghapus. Akhirnya saya mampu mendapatkan perhatian mereka dengan cara ini.

Saya duduk dan berkata, “Ngana masih mau belajar? Kalau taramau belajar, ngana su pulang saja ke rumah!” Dengan suara yang sudah habis, saya hanya berbicara pelan. Mengais suara yang tersisa untuk berkata itu. Saya sudah siap jika nantinya mereka memilih pulang. Consequence from what I just said to them.
Entah karena takut atau memang mau, mereka menjawab masih ingin belajar.

Entah kapan perasaan ini muncul. Sore di tepi pantai.

You know a kid is unsaveable when you see one. And Sahrudin or his family calls him ‘Ul’ is a kind. I dont know what’s wrong with this child. I just dont see any light in his eyes, I barely feel his charm. Every kids as far as I know, has one. It’s either he closes up or something’s blocking his inner good things to come out.

Kalau Anda membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya, Anda akan tahu sedikit tentang Ul. Anak keempat dari keluarga Pak Amir ini memang berbeda. Kids are meant to be hard to control, but he’s different. I dont know how. Saking parahnya, saya berdoa pada Allah jangan diberikan cobaan seperti keluarga ini nanti, mempunyai anak seperti Ul. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan anak sekitar, tak seram-seram amat. Jangan bayangkan dia seperti preman atau bertampang sangar. Tampangnya polos, biasa. Ordinary child but with a lot of bad things inside.

Anak ini tak hampir tak punya semangat belajar. Sebenarnya sih, tidak ada sama sekali. Tapi masa sih, sebesar jarrah pun tak ada rasa ingin tahu. Saya berprasangka baik saja. Saya jarang sekali melihat dia di rumah, bahkan di sekolah. Aneh ya. Fakta dia seorang anak kepala sekolah dan serumah dengan saya tak membuatnya berubah. Entah dari mana dia mendapat tabiat ini. Setahu saya, separah-parahnya anak di sini, masih mau kok ke sekolah. Walaupun kerjanya bermain-main saja.

Saya tak tahu, lebih tepatnya tidak yakin apa saya mampu merubahnya dalam satu tahun ke depan ini. Bapaknya saja yang sudah 11 tahun mengurus anak ini hasilnya nihil. I really dont have a problem if the kid is spiritful, or at least, open for a change. For his own good. Well, the problem is he’s so resistant. Worse, resist me. I just feel it and I’m pretty sure of it. Try some ways though to soften his heart but no result seems to appear.

Senyum dan sapa mungkin cara basi untuk membuka interaksi dengan anak-anak. Tapi cara ini terbukti sangat ampuh untuk saya. Dengan tepukan di dada, saya sudah bisa membuka percakapan dengan semua anak. Kecuali Sahrudin. Saya jadi merasa hanya Ul saja yang tidak begitu menerima saya di keluarga ini. Ah sudahlah, masih ada banyak waktu untuk merubahnya.

Hampir semua anak di sini selalu tertarik ketika saya membidikkan kamera atau sekedar membuka laptop. Mereka tertarik dengan apa pun yang saya kerjakan. Menulis, mengambil foto, atau melihat-lihat saja. Again, except for Sahrudin. Foto menjadi magnet paling kuat bagi anak-anak di sini. Dengan kamera digital, mereka bisa melihat langsung hasil jepretan. Tertawalah mereka melihat wajah-wajah temannya dalam kotak hitam. Well again, except for Sahrudin. He barely puts interest in what we, me and other kids, are doing.

Sabtu, 27 November 2010. Jam 1 siang.

Biasanya saya selalu menahan-nahan menghabiskan bekal untuk satu tahun ke depan. Bekal ini bukan makanan. Karena tantangan utama di desa ini adalah kebosanan. Dalam kebosanan puncak, Anda bisa mengira bahwa Pulau Jawa bisa dicapai dengan berenang dan Anda nekat. Lebay.

Tentu saja bekal yang dimaksud adalah film-film dan serial. Seingin apa pun saya menonton film atau serial, saya lebih baik memilih tidur. Hemat bekal sekaligus isi energi. Berbicara soal tidur, saya tidur jauh lebih baik dua hari ini. Kasur kapuk tipis yang mungkin tak ada beda dengan kayu kini sudah ditambahi kasur kapuk tipis lagi di atasnya. Tipis bertemu tipis, ya lumayan lah. Setidaknya punggung tak langsung mengena ke dasar dipan.

Saya memilih acak film hari ini. Ini hari Sabtu dan saya malas tidur. Tak ada hubungannya memang. Yang jelas, saya tak punya kegiatan siang ini dan memutuskan harus punya. Masih 3 jam lagi menuju jam setengah lima karena saya harus kembali ke sekolah untuk melatih upacara bendera. Omong-omong upacara bendera, waktu sekolah dulu, saya paling benci baris berbaris, eh sekarang mesti melatih ratusan anak melaksanakan upacara pertama mereka. Pret. Haha.

Pilihan jatuh ke 3 Idiots. Film India fenomenal sepanjang masa. Padahal itu satu-satunya film India yang saya tonton sejak Inspektur Vijay pensiun. Saya tak perlu menjelaskan isi filmnya. Saya yakin sudah banyak yang menonton. Kalau Anda secara mengejutkan belum, it’s your loss.

That bastard, Rancho, is some guy. I just realize that we’re the same in some way. Rancho kuliah di teknik. Saya juga. Bedanya dia di mesin, saya di teknologi informasi. Selepas lulus, dia berubah jalur menjadi peneliti dan mengajar anak-anak. Saya juga walaupun bukan peneliti. Dia sangat brilian semasa kuliah. Saya tidak, eh?

Pilihan acak itu sepertinya tak sepenuhnya acak. Everything happens for a reason. Wait, how many times I’ve said that? Haha, sorry though. Buat saya, menonton film itu lagi-lagi memberi pencerahan tentang apa yang saya kerjakan. Dulu, waktu masih kuliah. Saya terbayang kerja seumur hidup di belakang komputer. Menjadi IT Expert dan mengambil master di bidang itu-itu lagi. Kini, saya sadar berada di jalur yang kesasar sangat jauh.

Get a job in everything you like, and make that a profession. Redaksi katanya mungkin berbeda, tapi itu kurang lebih salah satu perkataan Rancho di film itu. Jleb saja sih rasanya. Kini, saya jadi tak bisa membayangkan kalau pekerjaan saya seperti gambaran dulu. Di Jakarta, city of hell. Di salah satu kantor besar di Sudirman. Ruang ber-AC dan komputer bagus. Mengerjakan sesuatu untuk orang lain. Jezz, how boring my life could be. Tanpa mengecilkan orang-orang yang bekerja seperti itu, ini pilihan saya dan saya ambil rentetan konsekuensi selanjutnya.

Gaji biasa saja. Maybe I’ll be still paying for home when they start paying for their cars. Kasarnya seperti itu. Prestis? Coba ambil survey, ada berapa orang tua yang bangga kalau anaknya jadi guru SD? Fasilitas? Buat saya, mengajar dibayar cukup saja sudah merupakan fasilitas. Bonus? Buat saya, bisa makan ayam sebulan sekali itu bonus. Dan punya waktu seminggu sekali ke kota untuk sekedar mendapat sinyal dan mengabarkan orang rumah itu juga bonus.

Maybe this is a confession. Mother, if you read this, I’m sorry, really. Dulu, alasan saya memilih Teknik Informatika ITB, 75%-nya adalah karena mereka punya passing grade paling tinggi di Indonesia. I just needed to prove something. Sesuatu yang semu yang baru saya sadari satu dua tahun pertama kuliah.

Mau tak mau, gambaran masa depan pun tak jauh-jauh dari dunia ini. Sudah terlanjur tercebur, sekalian saja berenang. Walaupun sudah agak mahir berenang dan melihat dunia bawah laut di dalamnya, saya memutuskan kembali ke darat dan mencari lagi pantai yang lebih menarik. Akhirnya, saya menemuinya dalam sebuah tempat wisata bertema ‘society development’. Enak kali ya, kalau ilmu dan pengetahuan yang kita punya digunakan tak hanya untuk membuat sesuatu, tapi memberikan sesuatu yang lebih besar untuk orang lain.

Menjadi guru SD sama sekali tak pernah masuk dalam bayangan masa depan selama 22 tahun hidup. Tapi itulah saya sekarang. Memang tak akan menjadi pilihan profesi seumur hidup. Well, kurang lebih 3 minggu pengalaman mengajar, saya merasa sudah mendapati dunia yang baru. Dunia yang lebih interaktif, dinamis, menantang, menghibur, dan berliku.

Pekerjaan di pengembangan masyarakat amat sangat menarik. Buat saya, setahun ke depan adalah waktu belajar gaya katak lagi. Belajar berenang dan menyelami dunia pekerjaan yang sangat baru buat saya. Dan saya tak ingin berhenti tahun depan dan kembali ke kolam asal. Ingin terus menemukan ikan-ikan badut, kerang bermutiara, atau bintang-bintang laut. Seakan menantang pekerjaan ini, surprise me!