Bibinoi, Sebuah Cerita – part 2

by Bayu Adi Persada

20 November 2010

I’m changing my way of writing. Ya, saya akan mencoba sebuah jalan baru dalam menulis. Dalam kesendirian dan kebosanan, saya membaca buku yang sangat brilian, The Five People You Meet in Heaven, karya Mitch Albon.Membaca satu paragraf saja membuat saya penasaran seluruh isi buku ini.
Saya akan tuliskan paragraf pertama itu.

“THIS IS A STORY ABOUT A MAN named Eddie and it begins at the end, with Eddie dying in the sun. It might seem strange to start a story with an ending. But all endings are also beginnings. We just don’t know it at the time.”

I wont write from the end for sure. I just got inspired by how Mitch tells us stories with different angle. I haven’t seen the end of my story and don’t have guts even to seek it. It’s a long road. Carpe diem. I just want to seize each of the days.
Well, I do hope you enjoy reading this crappy writings, friends!
J

­—

Selasa, 16 November 2010. Malam. Setelah Isya.

Saya kembali menarik napas dan melepaskannya perlahan.Menengadahkan kepala ke atas.Menarik rambut ke belakang. Memejamkan mata. Saya tak habis piker.Saya terus mengumpulkan ide dan mencari cara terbaik.Saya kehabisan cara mengajari Naini membaca, berhitung, dan menulis.

Anak perempuan ini sudah kelas 3 SD tapi dia hanya mampu menuliskan namanya sendiri.Berhitung sederhana 1-10 dan tak lancar membaca. Dia harus mengeja dan berpikir keras apa yang dia baca. Dia tak hapal lagu Indonesia Raya.Dia tidak tahu dari negara mana dia berasal.‘Di sini toh’, dengan logat Maluku yang khas, jawaban dia setiap kali ditanya asal negara.

Sudah dua hari ini saya mengajari Naini membaca. Dia anak angkat kepala sekolah dan saya seperti punya tanggung jawab lebih untuk membuatnya lebih pintar atau setidaknya sama seperti anak sebayanya.
“Naini mau pintar?” “Taramau.” Begitu jawabnya, tak mau. Tugas kita akan jauh lebih berat berkali-kali lipat ketika seorang anak tak lagi bersemangat. Pintar bukan lagi tujuan.Sudah tak ada rasa ingin tahu. Repot! Ini yang terjadi pada diri Naini.

Saya sampai bertanya pada diri sendiri, “What have they done to this child?” Anak ini punya hak untuk bisa membaca, tentu saja.Apa karena bukan anak kandung?Ah, Sahrudin, anak ke-4 kepala sekolah ini juga tak lancar baca. Padahal dia kelas 5 SD! Oh dear.

“Naini, tatap mata Pak Guru. Ini serius. Jangan tertawa,” pekik saya dengan nada sedikit meninggi. Dia melihat dengan sedikit menahan senyum, atau tawa, saya juga tak yakin. “Naini harus pintar. Ikuti.” “Naini taramau pintar.” Oh dear God. Setelah berkali-kali saya ulang, akhirnya dia pun mengikuti, “Naini mau pintar.” Good start? Don’t call it just yet.

Rabu, 17 November 2010. Malam. Jam 9.

Saya diminta mewakili Bapak untuk hadir di pesta pernikahan kampung sebelah.Beliau sudah bosan, katanya.Desa Bibinoi dipisahkan berdasarkan agama, Islam dan Kristen.Ada batas-batas yang jelas antar dua desa ini.

Walaupun ada pemisahan, kehidupan di sini sangat harmonis. Mereka saling menghargai satu sama lain, in a very good way from my point of view. Kondisi ini bermula dari konflik antar agama di tahun 2000.Walaupun saya percaya, konflik berdarah itu hanya buah konspirasi dan provokasi.

Sejak konflik tersebut, warga Kristen memilih menyingkir dari Bibinoi.Namun, dua tahun berselang, sudah ada beberapa warga Kristen yang kembali.Tahun 2007, warga Kristen semakin banyak dan membuat perkampungan sendiri, berdampingan dengan yang Muslim.

Jadi yang dimaksud kampung sebelah adalah kampung warga Kristen.Namanya memang masih Bibinoi, tapi tentu adat dan kebiasaan masyarakatnya jauh berbeda.Kampung sebelah cenderung lebih berisik karena senang sekali bernyanyi malam-malam dan berjoget tentu saja.

Saya menemani Mama, Iyam, dan Ina ke pesta. Jalan kaki kurang lebih 500 meter ke timur. Lampu penerangan masih sangat minim.Hanya mengandalkan rembulan yang malam itu, bercincin.Pas sekali dengan momen pernikahan ya.Mungkin sudah janjian.

Saya pakai setelan khas kondangan, batik dan sepatu pantofel.Ketiga wanita ini cukup lama sekali berdandan.Tak perlu dijelaskan outfit­-nya.Yang jelas, mereka siap tampil di muka umum dengan sangat percaya diri.Sepertinya jalanan berbatu terlihat sangat mengganggu Iyam yang menggunakan hak tinggi.Nah lo.

Pernikahan ini dilangsungkan dengan sangat sederhana.Kami disambut oleh perwakilan keluarga sebelum masuk tenda yang terbuat dari bambu dan seng.Kami langsung menyalami pasangan yang berbahagia dan wajib menyawer.Di Jawa, makanan prasmanan jadi menu wajib. Tapi di sini berbeda, tamu hanya diberikan snack.

Pelaminan hanya berukuran 2 x 2 meter. Tamu tidak naik ke pelaminan untuk bersalaman.Hanya di bawah saja.Latar belakang mempelai bukan pilar atau gambar, tapi karpet.Yah, memang sangat sederhana ya.Ah, tak penting lah segala atribut pernikahan itu, yang penting kanijab kabul-nya. Sah, sah?Ceilah.

Sebenarnya ingin tahu acara yang ditunggu-tunggu malam itu, pesta joget. Kata Ina, biasanya selesainya sebelum Subuh. Gila juga, pikir saya.Memang orang Maluku terkenal kuat ya.Ah, tapi apa daya, besok harus bangun pagi dan bersiap-siap ke Babang. Malam sudah larut sekali.Badan juga sudah lemah.Maklum, orang Jawa tulen.Eh?

Sabtu, 13 November 2010. Jam 4 sore.

Saya baru saja tiba di desa tujuan, Desa Bibinoi. Impresi pertama, tak jauh berbeda dengan desa yang lain. Ekspektasi memang tidak di-set tinggi. Daripada nanti kecewa, yah pasrah saja dengan hasil observasi tim IM saat assessment daerah. Tak ada sinyal, listrik dari genset, dan transportasi terbatas.Mindset seperti itu akan membantu nanti saat adaptasi dan keseharian.

Kapal menepi di pantai, tak berlabuh di dermaga. Bapak Amir, Kepala Sekolah SDN Bibinoi, sudah menunggu kami. Saya, Adhi, dan Ummi segera turun ke pantai sambil menunggu barang-barang kami diturunkan. Lalu, kami menuju rumah beliau yang hanya berjarak 20 langkah dari garis pantai.

Singkat cerita, Adhi kemudian diserahkan ke Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah, Pak Budi.Kami menemui Pak Budi sedang bermain bola di lapangan.Yes, this is good village I think. With lot of youths and of course, they play football like every day. Very good for me.

Ummi terpaksa menginap di rumah Pak Amir semalam ini. Kapal ke Babang akan ada besok pagi jam 8. Kedatangan kami disambut dengan lampu mati. Kata Pak Amir, tak biasanya lampu mati selama ini. Biasanya juga cuma sebentar lalu kembali hidup.First challenge, first night without electricity.First night with nothing.

Kamar sudah disiapkan untuk saya di rumah ini.Well, kata disiapkan tidak sepenuhnya tepat sih. Baru disediakan. Tak ada lemari.Meja penuh dengan buku dan berkas-berkas.Lantai masih berpasir.Jendela pecah satu ruasnya. Minimalis sekali. Again, your mindset is controlling you. Keep it low, but make it big for things Iam doing here. Satu tahun itu … sebentar.

Berhubung Ummi memakai kamar saya.Saya tidur di luar. Tak sendiri. Ada banyak sekali orang di rumah ini. Serius. Anak ‘resmi’ Pak Amir ada lima tapi anak ‘kurang resmi’-nya lebih banyak lagi. Kalau dihitung-hitung, mungkin ada belasan anak yang diasuh atau sering mampir di sini.Wih, ramai ya.
That is just a start. The rest is a story. Long story.

Senin, 15 November 2010. Pagi. Jam 7.

Pagi ini saya cukup bersemangat. Ini kali pertama saya akan datang ke sekolah. Interaksi pertama dengan murid.Sampai di sekolah, sesuai ekspektasi, semua murid melihat saya dari ujung kaki sampai ujung kepala di lapangan. Mereka pikir, siapa ini manusia berkacamata datang ke sekolah dengan tas hitam agak besar.

Di desa ini, tak ada orang yang berkacamata.Kalaupun ada, itu pun orang tua yang sudah renta.Itu pun tidak mereka pakai kalau ke luar rumah.See now, I feel like a freak here.

SD ini punya tradisi bagus.Setiap hari ada dua apel, sebelum masuk kelas dan sebelum pulang.Anehnya, tak ada upacara.Meh. Pantas saja bendera di tiang itu sudah lusuh.Putihnya sudah tercemar limbah debu.Merahnya juga kusam. Rencana perbaikan : upacara, noted.

Saya diperkenalkan oleh kepala sekolah saat apel pagi.Lagi, sesuai ekspektasi.Tak banyak guru yang datang.Eh, ‘tak banyak’ sepertinya kata yang kurang tepat. Sedikit sekali. Dari 11 guru terdaftar, hanya empat yang datang.What?!Still, set expectation low and aim high!

“Hai? Halo!” Dua kata ajaib yang menjadi jurus pertama saya pagi itu.Anak-anak cukup terhibur dengan pemakaian dua kata itu.Saya jadi memegang perhatian mereka.Cukup mudah ternyata.Daripada cara Pak Amir yang terkesan membentak dengan suara keras di mik.Sambil merokok pula.Duh.

Minggu, 14 November 2010. Jam 7 malam. Mati Lampu.

PLN tak menyambut kami dengan baik di desa ini.Sejak kedatangan kami kemarin, lampu masih saja mati. Seakan tak rela, kami yang dari kota, merasakan sedikit aroma kota dengan adanya listrik. Kalau dirasa-rasa, shock therapy dengan kegelapan cukup membuka mata kami. Setahun ke depan, mungkin kami akan sering dihadapkan dengan kondisi seperti ini. PLN may say, “Get used to it, town boys!”

Malam itu, saya dan Pak Amir duduk di ruang tamu.Ini pembicaraan serius pertama kami sejak bertemu di acara bupati 4 hari lalu.Kami membicarakan banyak hal, mulai dari masalah pendidikan hingga masalah-masalah keluarga. Keluarga Pak Amir tentunya, bukan saya.

Problematik. Satu kata yang menjelaskan semuanya tentang keluarga ini. Rumah Pak Amir tak pernah, saya ulangi, tak akan pernah sepi dari orang. Selalu saja ada kerabat entah dekat atau jauh, orang yang bekerja dengan beliau, atau anak-anak tetangga yang keluar masuk rumah.

Anak pertama Pak Amir sudah kuliah.Tapi putus di tengah jalan dengan alasan yang paling tak bisa diterima.MBA, atau bahasa kerennya, kecolongan.That’s definitely intolerable for any daughter or even oldest sister of the family, rite? But it happened to Pak Amir’s. Pak Amir kini sudah punya cucu, yang mungkin tidak beliau harapkan secepat ini, bernama Ari, 6 bulan.

Problem doesn’t end there. Masih ada anak keduanya, Ina. Perempuan kelas 3 SMA ini paling susah disuruh sekolah. Dia memang bertekad tak mau lagi sekolah.Tekad paling aneh sedunia. Kata Pak Amir, dia seringkali pergi ke Labuha. Katanya les Bahasa Inggris, tapi ternyata tak bisa dilacak juga.

Budi, anak ketiga, sudah kelas 3 SMP.Menurut saya, dia anak yang paling potensial di keluarga ini.Mandiri dan cakap. Tinggal diasah dengan pengetahuan yang baik, dia akan menjadi anak yang membanggakan keluarganya. Kalau di rumah, Budi seringkali mengerjakan pekerjaan rumah.Sayang sekali tenaga dan pikirannya.My responsibility too, to give this boy proper understandings about life and everything.I clearly don’t want him to be like his two elder sisters.

Ul, biasa dia dipanggil. Namanya Sahrudin. Anak keempat di keluarga ini yang masih kelas 5 SD.Problem seperti Ina juga ada di anak ini.Sulit sekali diatur.Jarang ada di rumah, seringkali main ke luar entah kemana.Membaca juga belum lancar.Naudzubillah, untuk seorang anak kelas tinggi seperti dia. Yah, tapi begitulah realitanya.

Meme, sang anak bungsu, masih berumur 3 tahun. Tak banyak masalah untuk anak kecil ini.Dia hanya sedikit hiperaktif, berbeda dengan anak desa sebayanya yang cenderung malu-malu.It’s a good thing though. Namun, kadang aktifnya tidak disalurkan ke hal yang baik. Masih suka membuat anak kecil lain menangis.

Ada lagi Naini, Fatur, Iman, dan beberapa nama lain yang ada di rumah ini. Semua dianggap anak di rumah ini.Jika ditambah saya, maka ada belasan anak yang diasuh Mama Saida.Mama Saida adalah satu-satunya figur di keluarga ini yang membuat saya betah.

Like all mothers in the world, mother is always a mother. A woman who cares about their family.Mama memang tak berpendidikan tinggi.Mungkin itu yang membuatnya tak begitu bisa mendidik anak-anaknya dengan baik dalam hal pendidikan.Pak Amir yang cuek juga tak membantu banyak.Jadilah sebuah keluarga yang saya bilang tadi, problematik.

Mama pintar sekali memasak.Sangat perhatian dengan saya.Dari hari pertama, saya diperlakukan seperti anak sendiri.
Selalu ada teh di sore hari.Terkadang juga mie rebus.Mengingatkan saya solat.Mengingatkan saya menelpon orang tua saat pergi ke Labuha. Saya tak pernah diijinkan mencuci atau membantu pekerjaan rumah lain sedikit pun. Mungkin kalau bukan Mama yang menjadi ibu di rumah ini, saya sudah meminta pindah rumah dari hari pertama.

Rabu, 17 November 2010. Siang.

Jujur saja, ini pertama kali saya merayakan Idul Adha selain di rumah.Waktu kuliah dulu, saya selalu menyempatkan diri pulang ke rumah saat lebaran haji.Aneh rasanya kalau tak makan opor, sambel goreng ati, dan ketupat tanpa orang tua.

Lebaran di desa ini, well, sepi. Standar orang kota memang jauh berbeda. Saat malam Id, anak-anak di desa ini ramai-ramai mendorong gerobak dan membawa obor.Kemudian, mereka keliling desa.Sebetulnya tak bisa dibilang sepi juga.Lumayan lah untuk ukuran desa.Masih ada takbiran.

Oh iya, takbiran di sini aneh. Bukan dari masjid.Tapi dari rekaman yang disetel di beberapa rumah warga. Keras-keras pula. Uniknya lagi, suara takbir ini diiringi oleh irama house music. Ah, tak terbayang kalau tak mendengarkan sendiri. Coba bayangkan suara takbir, ‘Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar La’ilahailallah huwallah huakbar.Allahuakbar walillahil hamd’ ditimpa dengan suara ‘jedag jedug’ khas disko-disko di kampung.Meh. Bukan khidmat, malah lucu.
Dan ini terjadi di semua desa menurut warga setempat.Tradisi yang amat sangat aneh.

Solat Ied di sini berbeda jauh dengan kebiasaan di Jawa.Mulai dari jadwal salat hingga ritual solatnya.Entah, mungkin karena pengaruh dari ajaran Al-Khairat yang sangat kental di Maluku.Solat dimulai pukul 7.30 pagi. Sebelum solat, ada beberapa ritual yang baru kali ini saya temui, seperti ada orang yang bertugas mengantar khotib berkhutbah dan mengibas-ngibaskan sapu tangan di depan jamaah sebelum solat dimulai.

Biasanya di Jawa, solat selesai sebelum atau sekitar jam 7. Mulai jam 6 tengdan khotib tak begitu lama berkhutbah. Di mesjid desa ini, khotib membacakan khutbah sebanyak 8 halaman kertas A4.Ya, saya menghitung.
Pantas saja solat baru selesai sekitar jam 10. Wah, kalau di rumah jam segini saya sudah kenyang makan opor.

Kembali ke rumah, Mama sudah menyiapkan ketupat.Rrr, tapi tanpa opor.Tetap saja dengan ikan pedas dan telor.Mama sepertinya terlalu memaksakan diri ketika saya berujar kebiasaan makan opor saat lebaran di Jawa.Ah, tapi terbayar dengan ikan yang selalu enak walau agak aneh juga makan ketupat tanpa kuah santan.
Setelah makan, saya pergi bersilaturahmi dengan beberapa orang di desa ini.Sesama guru, imam masjid, dan kepala desa.

I have to state that every mother here is capable of baking, cake and cookies. They’re good, real good at this. Mama membuat kue bolu dan kue-kue kering. Semuanya enak! Saya cukup menghabiskan banyak kue.
Why I say ‘every mother’? Ya, karena selama saya bersilaturahmi dengan beberapa orang tersebut, selalu disediakan kue yang enak-enak.Ada saja kue jenis baru di setiap rumah itu. Saya harus membawa beberapa ketika pulang tahun depan!

Setiap hari. Hampir setiap siang hingga malam.

Saya sangat yakin bahwa salah satu lokasi sharing audienceSCTV dan Indosiar paling besar adalah di Provinsi Maluku Utara, tepatnya di Kabupaten Halmahera Selatan.Kalau mau lebih tepat lagi, di Desa Bibinoi.Di desa ini, salah satu penggemar acara dua TV itu adalah keluarga Pak Amir.Keluarga di mana tempat saya tinggal.
Ironisnya, saya adalah pembenci sejati dua TV brengsek itu. Kadang, tantangan itu memang datang dari sudut yang sama sekali tidak kita perkirakan. Dari TV!

Kamar saya tak jauh letaknya dari tempat menonton TV.Jadi mau tak mau, suka tak suka, pasti terdengar suara percakapan-percakapan sampah yang keluar dari artis tak layak tampil. Kalau bukan FTV, ya film naga-naga aneh atau sinetron Arab dubbing atau bahkan sinetron lokal dubbing yang mereka tonton. Bayangkan, dialog bahasa pun mereka dubbing. Kurang tolol apa?

Khusus untuk Indosiar, saya bersedia membayar mereka untuk tak siaran jika kaya nanti.Yang mereka siarkan hanya pembodohan massal.Seriously. Konsekuensi pendidikan rendah atau apa? Saya juga tak berani memutuskan.Yang jelas, risih saja ketika makan atau menulis, saya dipaksa menelan mentah-mentah sampah dunia itu.

Apa yang terjadi jika anak-anak kecil ini selalu dicekoki naga buduk bin bau dan dialog cinta murahan setiap hari?Tak terbayang jika sudah terakumulasi.These kids need their own entertainment but only few TV station could provide that. Hanya Tuhan dan orang-orang yang peduli yang mampu menyelamatkan mereka dari jerat laba-laba besar berkedok siaran TV.