Tribute to Mama

by Bayu Adi Persada

2 Desember 2010

Mama selalu bangun jam 3 pagi. Menyiapkan jualan di warung sebelah rumah. Tak lupa juga menyiapkan sarapan untuk keluarga walaupun hanya pisang rebus atau ubi goreng dan teh manis hangat. Mama juga yang membangunkan setiap orang di rumah ini. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan, di rumah ini banyak sekali orang dan Mama membangunkan mereka satu per satu ketika sinar mentari sudah menelisik masuk lewat jendela.

Mama membangunkan semua, kecuali saya. Entah, Mama masih kurang enak membangunkan saya padahal saya sudah berulang kali meminta dibangunkan. Itulah Mama, dengan segala perilaku istimewanya untuk saya sehingga membuat saya kerap tak enak hati meminta sesuatu lagi. Tanpa meminta, Mama sudah menyiapkan hampir semua kebutuhan saya.

Saya selalu makan di meja dengan Bapak atau Mama sesekali. Sedangkan anggota keluarga yang lain, makan di tempat terpisah. Di lantai atau di kursi tanpa meja atau di meja makan di dapur. Yang jelas, di sini meja makan sudah seperti special spot for certain person. Untuk orang yang dituakan atau diberikan kedudukan. Dan saya mendapatkan itu untuk alasan kedua.

Porsi makan saya sedikit sekali untuk ukuran orang-orang daerah sini. Saya rasa tak rugi keluarga ini mengurus saya satu tahun ke depan. Toh makan saya segitu-segitu saja. Nasi yang saya ambil sama dengan nasi untuk Meme, anak paling kecil dan sepertiga porsi Eman, anak asuh Mama. Meskipun begitu, saya selalu mendapat satu atau lebih ikan. Saya memang tak pernah memakan lebih dari satu tapi anehnya, Eman dan anak-anak lain hanya memakan setengah ikan saja. Atau bahkan hanya secuil. Porsi lauk mereka semua sudah dijatah.  Like I said, I am treated specially. Sadly,it’s way over. Sebagai gambaran, saya pernah mencoba memberikan porsi ikan di meja makan ke anak-anak tapi dilarang oleh Bapak.
Saya jadi tak mengerti.

Mama tak pernah mengijinkan saya mencuci. Saya sudah beranjak ke sumur belakang dengan membawa deterjen tapi Mama mencegat saya. Tak ada pekerjaan rumah untuk saya. Sama sekali. Proposal membantu atau setidaknya sedikit mengurangi pekerjaan rumah tidak diterima. Saya memberikan deterjen tapi Mama lagi-lagi menolak. Saya memaksa, Mama pun mengalah.

Hari Minggu kemarin, saya baru saja membeli kipas angin di kota. Sesampainya di kamar, saya langsung membongkar kardus dan mencoba merakitnya sendiri. Agak kesulitan di awal. Buku petunjuknya sama sekali tak membantu. Gambar tak jelas, tulisan banyak yang salah ketik. Maklum, mereknya saja Niko Nasional, dari antah berantah walaupun tertulis pabriknya di Semarang. Harganya 160 ribu rupiah saja! Murah sekali untuk ukuran kipas angin berdiri dan di daerah serba mahal seperti di sini. This is the first best deal I’ve ever made here in Halmahera.

Kipas sudah terpasang tapi bermasalah di kakinya. Sudah bolak-balik memutar sekrup dan mur tapi tetap saja tidak terpasang kencang. Maaf, saya jadi mengutuk produk nasional kala itu. “Dasar, merek ga jelas, produk ga jelas juga! Sekrup aja dikasihnya salah! Bodoh!” Begitu kira-kira ucapan saya. Kalau seandainya kepala pabrik membaca, pasti sudah sakit hati ya.

Akhirnya saya berkesimpulan sekrup yang diberikan salah dan tak cocok. Saya beranjak keluar kamar untuk menanyakan Mama apakah di rumah ini ada jenis sekrup dan mur yang lain. Mama langsung sigap menyuruh Budi mencarikan di kamarnya. Tak ada.
Mama melihat kaki kipas angin itu dan mencoba memasangnya. Mama melakukan hal yang sama dan setelah gagal, berkesimpulan hal yang sama pula dengan saya. Mama bilang besok dia akan meminta bantuan keluarganya yang bisa servis barang-barang elektronik. Saya manut saja.

Dibalik obrolan kami tentang sekrup dan mur yang bodoh dan rencana perbaikan ke tempat servis, Mama terus mencoba berbagai cara memasangkan sekrup dan mur itu. Beliau masih percaya produk Indonesia, pikir saya. Tak disangka, Mama lihai sekali mencari celah mur dibalik kaki kipas. Kaki pun sudah terpasang dengan kencang. Kipas mampu berdiri dengan gagahnya. Saya dapat langsung merasakan angin surga. Cihuy!
Jadi teringat Ibu di rumah. Beliau persis seperti Mama, lihai untuk pekerjaan seperti itu. Saya jadi merasa malu. Ini toh jadinya kalau lulusan teknik tanpa practical skill. Haha.

Setiap sore, kalau tak bermain bola dan menjadi trainer pelatihan komputer, saya selalu menghabiskan waktu di perahu yang disandarkan di pantai depan rumah. Di perahu itu, saya duduk. Sambil membaca, menulis, atau hanya sekedar bercanda dengan anak-anak di pantai yang kebanyakan bersekolah di SD. Hampir semua dari mereka mengenali saya. Di saat itu pula, Mama tak pernah lupa membuatkan saya teh hangat. Terkadang, sampai repot-repot membawakannya ke perahu.
Beliau selalu memanggil saya dari balik pintu, mengingatkan saya akan teh hangat dan temannya. Pisang goreng, ubi goreng, molen, kue cubit, kue pisang, atau teman baik teh lainnya.

Ketika saya pergi ke sekolah, Mama sering menghabiskan waktu berkebun. Jarak dari rumah ke kebun tak begitu jauh, hanya 1km saja. Sebelum saya sampai di rumah, Mama juga sudah di rumah. Saya sering menemukan Mama asyik berjualan es di warung ketika pulang dari sekolah. Kalau sudah melihat saya melintas di warung, Mama langsung bergegas ke dalam rumah menyiapkan makan siang untuk saya dan Bapak.

Terkadang Mama masuk ke kamar saya. Dan seketika saya masuk, saya mendapati kamar sudah tertata rapi. Buku-buku sudah ada di meja, baju-baju sudah tergantung rapi di lemari, lantai juga tak lagi berpasir, sampah pun tak lagi ada. Itulah Mama, tipikal Ibu kebanyakan. Tapi saya bukanlah siapa-siapa di keluarga ini. Saya baru tinggal tak sampai sebulan. Mama memperlakukan saya seperti anaknya yang baru. Bahkan dengan anaknya sendiri pun tak seperti ini.

Dua minggu belakangan ini, Bapak punya banyak hajatan. Undangan pernikahan, sunatan, atau yang lain. Kebanyakan di luar desa. Di luar desa berarti terpisah lautan. Jadi Bapak sering kali bepergian dan baru kembali setelah sehari, dua hari, atau bahkan seminggu. Mama bisa saja ikut kalau beliau mau. Tapi Mama melewatkan itu semua. Mama tetap di rumah.
Beliau berkata, “ Selama Bayu masih di rumah, Mama tak akan kemana-mana.”

Maybe it’s too early. But Mama, I give you my highest respect like a son does to his mother.
I miss you, Ibu, as always .

*Dari televisi di luar yang pasti sedang menyiarkan Indosiar, terdengar lagu “Bunda”.
Tumben banget lo, Indosiar!
Coincidence? As far as I know, no such thing is coincidence.
J