Kecolongan Lagi
by Bayu Adi Persada
Tulisan ini seharusnya diterbitkan sebelum ‘Dongeng Kuping Karet’. Namun, karena masalah teknis, baru diterbitkan sekarang. Lumayan untuk baca-baca saat waktu senggang. Terima kasih.
13 Desember 2010
Keledai malang itu jatuh ke lubang yang sama dua kali. Naas sekali nasibnya. Dia tak belajar dari kesalahannya yang pertama. Tak mau belajar atau tak peduli, saya juga tak tahu pasti. Namanya juga keledai.
Tapi, kejadian yang menimpa keluarga Pak Amir ini, saya tahu pasti penyebabnya.
Anak perempuan keduanya, Ina, kecolongan lagi. Kalau Anda membaca tulisan saya dari awal, pasti Anda tahu ceritanya. Anak pertama keluarga ini, sudah menikah walau belum berusia matang. Bahkan sangat belia. Iyam, Mariam nama aslinya, baru berusia 18 tahun saat menikah tahun lalu. Pernikahannya terpaksa karena sudah terlanjur. You know what I mean.
Nasib Ina tak jauh berbeda dari kakaknya. Hanya beda umur. Ina baru saja merayakan sweet seventeen-nya beberapa bulan lalu. Dari awal kedatangan saya di keluarga ini dan mendengar kisah-kisah yang meliputinya dari Pak Amir, saya tak akan heran kalau kejadian pilu yang menimpa Iyam akan juga menimpa sang adik.
—
Saya tak pernah melihat suami Iyam. Cerita berbeda datang dari ayah dan dirinya. Menurut Iyam, suaminya sedang bertugas sebagai anggota TNI AL di Labuha. Dia tak pernah datang ke rumah padahal Labuha dan Bibinoi hanya berjarak selemparan batu di lautan, hanya 1 jam perjalanan. Masa sih, sesibuk-sibuknya tentara tak pernah bisa ambil libur di hari Minggu menjenguk anak istri.
Pak Amir memang tak setuju dengan suaminya ini. Begitu cerita beliau pada saya di suatu sore. Saya juga tak mau mempertanyakan. Tak peduli lebih tepatnya. Mungkin karena ini, suami Iyam tak berani datang ke rumah. Takut dengan Pak Amir. Aneh, padahal akad nikah pernikahan sudah dilangsungkan, tapi masih saja dendam dengan menantu. Eh, kok jadi gosip.
Intinya kini, Ari anaknya, diasuh sendiri oleh ibu muda yang sama sekali belum matang, baik dari segi mental maupun finansial. Kalau melihat kesehariannya, saya jadi kasihan dengan Ari.
—
I see Ina as a reckless girl. Tak ada aturan yang mengikat atas dirinya. Tidak juga dari orang tuanya. Pak Amir dan Mama tak bisa berbuat banyak saat dia memutuskan keluar dari sekolah. Padahal tinggal sejengkal lagi dia dapat ijasah SMA.
Ina memutuskan les bahasa Inggris saja di Labuha. Tapi memang dasar kurang dididik aturan, dia hanya membual.
Pendidikan yang rendah dan ketidaktegasan orang tua membuat Ina seperti hidup bebas. Dalam arti yang buruk tentu saja. Pergaulannya juga tak mengenal aturan. Kalau di rumah, dia hampir setiap hari menghabiskan waktu sampai larut malam sekedar mengobrol dengan pemuda-pemuda kampung.
Saya pikir pergaulan pemuda di Labuha lebih mengkhawatirkan lagi. Mungkin itu sebabnya dia lebih nyaman tinggal di sana daripada di rumah. Tentu lebih enak bersama dengan teman-teman ‘seide’ dan ‘sepemikiran’.
—
Keluarga menyembunyikan berita ini dari saya. Berita kehamilan Ina. Saya baru tahu dari Pak Arsyad, rekan guru di sekolah. Itu pun tak sengaja. Obrolan kita siang itu setelah ujian sekolah memang banyak dan ngarol ngidul, kemana-mana. Pak Arsyad keceplosan membicarakan itu. “Pak Amir itu kan terkena musibah lagi,” begitu Pak Arsyad membuka cerita. The rest, I’m telling you now, dear readers.
Yang membuat saya tercengang, ternyata seluruh desa sudah tahu dari sehari lalu. Kampret. Kenapa saya yang tinggal di rumah tak dengar berita.
Sekumpulan ibu-ibu yang datang ke rumah dan ramai-ramai membuat kue tak membuat saya curiga. Dasar memang orang cuek ya.
—
Hari Minggu nanti, 19 Desember 2010, akan dilangsungkan pernikahan antara Ina, dan calon suaminya, Wawan. Saya juga baru tahu namanya dari Ul.
Mau tak mau saya harus mengundur kepergian ke Labuha ke hari Senin. Tim akan melakukan roadshow ke SMA-SMA di kota tentang universitas dan pemilihan jurusan. Jadi ya, saya mesti kudu ikut walau sebenarnya sih, malas.
Seperti kebanyakan keluarga di Bibinoi, keluarga ini tak punya foto keluarga. Makanya, sudah jadi obsesi pribadi saya untuk memberikan foto keluarga pada semua keluarga di desa ini. Insya Allah, mudah-mudahan tercapai. Momen yang saya pakai tentu saja lebaran tahun depan. Tapi sepertinya untuk keluarga Pak Amir, pernikahan nanti adalah momen yang sangat pas untuk foto keluarga.
Jadi fotografer dadakan. Lagi.
Rumah ini dipastikan bakal beribu-ribu kali lipat lebih ramai dari biasanya. Hari biasa saja sudah membuat kepala pusing dengan banyaknya anak-anak dan orang keluar masuk. Apalagi nanti, bisa stres sendiri kalau dibayangkan. Sudahlah, nikmati saja. Toh cuma sekali ini. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar dan tak membuat saya ribet.
Yang terakhir sepertinya tak mungkin terjadi.
—
Saya punya pekerjaan baru di kala sore. Babysitter. Sore adalah jam Ari menangis. Iyam seringkali saya temukan tertidur. Kasihan juga, waktu tidurnya diganggu terus oleh bayi 7 bulan ini. Resiko jadi ibu toh. Bukan resiko juga sih, tapi tanggung jawab.
Kalau sudah begitu, saya mengambil Ari dari tempat tidur. Saya bawa saja bermain. Ke pantai atau di kamar. Ari senang sekali ‘diterbangkan’. Dia selalu tertawa kalau badannya seperti hendak dilemparkan. Jadilah itu jurus paling ampuh saya mendiamkan tangisannya dan menjadikannya tawa dan senyum kecil.
Lama-kelamaan, bayi ini seperti punya ikatan dengan saya. Saya juga sih. Kadang-kadang Ari tersenyum kalau melihat saya. Kalau dia sedang ada di kursi roda, dia kerap mengarahkan kursinya ke kamar saya. Jika sudah begitu, semua pekerjaan saya tinggalkan sejenak. Bermain dulu dengan Ari. Saya pun selalu menyisihkan waktu untuk bersama bayi kecil ini. I like babies.
Misalkan Iyam dan Mama sedang sibuk dan Ari menangis ingin makan, saya juga yang menyuapi walaupun seringkali memang saya berikan ke Iyam saja.
Kondisi rumah tempat Ari dibesarkan memang tidak cocok untuk bayi, menurut saya. Lantai sering kotor, makanan dan minuman juga sepertinya kurang bersih untuk ukuran bayi. Ari juga tak diberikan ASI oleh ibunya. Quality of a mother defines a child.
Kebetulan di kamar, saya sudah siap tisu basah. Kalau sedang ‘mengambil alih’ Ari, saya bersihkan bayi ini mulai dari tangan, mulut, hingga kaki. Kasihan juga kan tangan dan kaki bayi ini sering banyak pasir yang menempel.
—
Seorang anak bisa jadi cobaan atau rejeki. Tapi yang pasti, anak itu amanah. Itu yang selalu ibu saya tanamkan kepada anak-anaknya. Setiap amanah, pasti akan diminta pertanggungjawabannya. Tugas sebagai seorang anak, menurut pandangan saya, adalah meringankan amanah orang tua itu. Jadilah rejeki untuk orang tua sendiri. That’s the least thing a child could do to his/her parent.
Seorang anak bisa jadi cobaan atau rejeki. Tergantung orang tua. Dalam cerita Pak Amir ini, jelas anak-anaknya adalah cobaan berat baginya. Meskipun begitu, cobaan tak selamanya akan jadi cobaan. Lagi-lagi tergantung sikap orang tuanya. Pak Amir dan Mama seperti tak belajar dari kesalahan pertamanya hingga terulang lagi.
Saya memang hanya orang luar di keluarga ini. Saya tak mau ikut campur sedikit pun dalam urusan keluarga. Namun, tercetuk harapan akan perubahan di keluarga ini, sekecil apa pun.
Mudah-mudahan tak ada lagi cerita keledai yang lebih bodoh tercebur ke lubang yang sama untuk ketiga kalinya.