Raut Wajah
by Bayu Adi Persada
19 Desember 2010
Pernikahan seharusnya menjadi saat yang membahagiakan. Saat yang ditunggu-tunggu. Saat di mana kelegaan bertemu dengan antusiasme dan keceriaan, menatap hari-hari yang baru. Tak ada lagi kata ‘saya’ atau ‘kamu’, yang ada ‘kami’ atau ‘kita.
Tapi, arti pernikahan itu tak pernah singgah di hati Pak Amir. Kegembiraan itu tak datang di saat yang ditunggu-tunggu. Sudah dua pria yang menjabat tangannya dalam sebuah akad nikah. Namun, Pak Amir seperti tak pernah menjabat tangan mereka dengan tulus. Pak Amir mungkin selalu berkata dalam hati, “Seharusnya bukan mereka dan bukan sekarang.”
Hari sebelum pernikahan, saya mengungsi di rumah Pak Budi, papa piara Adhi dan kepala sekolah MIS. Mengungsi dalam arti yang sebenarnya. Saya tidur, makan, menonton TV, dan menghabiskan waktu di rumah beliau. Surprisingly, I’ve never felt such comfort. This house is, well, homey. Tapi saya sudah berjanji pada diri sendiri tak akan pindah rumah. Saya harus menjaga perasaan keluarga Pak Amir. Jauh lebih tepat, menjaga perasaan Mama.
Pada hari H, saya sudah sampai di rumah jam 8.30. Di undangan, tertulis jam 8 pagi. Tapi hanya saya, Pak Budi, dan dua orang lagi tamu yang sudah sampai. Tentu saja kami ditemani suara dentuman musik house. Kami duduk di bawah tenda kecil.
Tak lama berselang, para penduduk lain pun mulai berdatangan. Tokoh-tokoh masyarakat setempat mulai mengisi tempat-tempat yang disediakan. Ompala, Pak Mantri, tokoh-tokoh agama, guru-guru, dan beberapa perangkat desa.
Acara akhirnya dimulai sekitar 30 menit lewat jam 9. Aqiqah Ari menjadi pembuka rangkaian acara hari itu. Kami berkumpul membaca doa-doa untuk cucu pertama keluarga ini. Semoga firman-firman Tuhan ini mampu terus mengiringi perjalanan hidupnya. Tak peduli bagaimana sejarah lahirnya Ari ke dunia. Semua bayi dilahirkan sama, tak berdosa.
Raut wajah bayi ini heran sekali melihat banyak orang yang mengerubunginya. Memotong rambutnya, membasuhkan air dan tepung pada wajahnya. Hebat bayi ini, tak menangis walaupun mungkin dalam hati, dia merasa risih dan tak nyaman. Saya pasti akan selalu ingat bayi ini sampai kapan pun.
—
Acara utama yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Setidaknya, saya yang menunggu. Maklum, kalau hajatan seperti pernikahan, berarti waktunya makan enak. Ayam, kambing, ikan, bahkan terkadang sapi pun terhidang di meja. Ditambah sayur panas, betapa bergizinya makanan itu. Kolesterol? Sudah lupa tuh.
Dari kejauhan rumah, terdengar sorak sorai penduduk desa. Pengantin pria sedang diarak menuju ke ruangan tempat akad nikah. Saya hanya melihat pakaian hijau mudanya saja dari depan rumah. Tak jelas wajahnya.
Semakin lama, arak-arakan semakin mendekat. Saya dapat melihat jelas bagaimana wajah pengantin pria. “Oh shit, this boy is not even older than Tata, my little brother!” begitu ucapan saya dalam hati. Saya tak menyangka wajahnya semuda ini. Se-tak berdosa ini. Dia terus menunduk sepanjang perjalanan arak-arakan sampai di depan rumah. Seperti tak begitu antusias menjelang hari besar nan bersejarah dalam hidupnya.
Sampai di dalam rumah, dia langsung dihampiri penghulu. Penghulu mengajarkan bocah ini akad nikah. Akad nikah di sini sedikit berbeda dibanding di Jawa. Pengantin pria menjabat tangan wali pengantin wanita seperti sedang adu panco. Kemudian kedua tangan mereka ditutupi sapu tangan. Penghulu masih harus mengajarkan beberapa kali pada Wawan untuk mengucapkan akad dengan benar dan keras. Setiap kali percobaan ada saja kata yang luput diucapkan atau salah pengucapan. Pengucapan akad nikah harus sempurna.
Pak Amir sudah siap ‘adu panco’ dengan Wawan. Tak usah lagi mendapat pengarahan, Pak Amir sudah memegang erat telapak tangan calon menantunya. Sambil menggoyang-goyangkan tangan, Pak Amir memulai prosesi akad dengan memanggil Wawan tiga kali. “Hai Hernawan, hai Hernawan, hai Hernawan”. “Saya nikahkan kamu dengan anak saya, Mutmaina binti Amirudin dengan mas kawin sepuluh ribu rupiah dibayar tunai”. “Saya terima nikahnya Mutmaina binti Amirudin dengan mas kawin tersebuuuuuuuuut tunai”.
Ditulis panjang karena memang dibaca panjang. Saya juga geli mendengarnya pertama kali. Sambil diberikan nada turun naik, kata ‘tersebut’ jadi unik diucapkan.
“Sah, sah?” “Sah! Saaaah!”
Serentak, hadirin berteriak, “ADA ORANG KAWIIIN!” Semua bertepuk tangan, berteriak, larut dalam hura hari itu. Pengantin pria diantar menuju kamar di mana pengantin wanita sudah menunggu. Mereka lalu sungkem pada Mama yang sudah ada di kamar itu. Mama menangis haru. Melihat ibunya menangis, Ina juga ikut menitikkan air mata.
Kemudian, kedua mempelai keluar kamar dan menyalami para tokoh-tokoh masyarakat yang sudah menunggu di luar. Selesai prosesi salaman, selesai-lah pula acara utama hari itu. Mempelai dipersilakan masuk ke kamar.
—
Buat saya, acara utama baru saja dimulai. Yak, apalagi kalau bukan makan! Biasanya menahan diri, hari ini saya tak mau kehabisan. Semua lauk ada! Cihuy. Ini mungkin makan termewah saya selama tinggal di sini. Tipikal makan di resepsi. Nasi sedikit saja. Lauknya yang komplit. Gule kambing, semur daging, ayam goreng, ikan bakar, telur pedas, sayur bening, mie goreng, dan kerupuk udang. That’s my friend, what I call, best lunch!
Setelah makan, para tamu undangan sudah beranjak pulang satu demi satu. Tenda ini semakin lama semakin sepi. Hanya tinggal saya dan beberapa orang lagi. Pak Budi sudah pulang lebih dahulu. Saya tentu tak bisa begitu saja meninggalkan tempat resepsi. Ini masih acara keluarga saya yang baru. Saya lalu beranjak masuk ke rumah. Menyapa Mama dan beberapa kerabat keluarga lain.
Kemudian, saya menemani Pak Amir di depan. Beliau belum makan sedangkan makanan di meja sudah habis. Saya pergi ke dapur memintakan makan untuk beliau. Beliau lelah sekali hari itu. Terlihat dari raut wajahnya. Saya hanya bisa menemaninya mengobrol di ruang depan. Tak banyak yang kami bicarakan. Saya juga tak mau membuka topik pembicaraan yang ‘berat-berat’. Ringan saja, seputar adat pernikahan dan makanan enak.
Rumah masih berantakan. Ingin saja ikut membantu tapi saya tak tahu apa yang bisa dikerjakan. Saya pikir tak mungkin juga bermalam sehari lagi di sini. Nanti malam masih ada resepsi. Walau Pak Amir sempat berujar tak usah ada resepsi karena saking lelahnya beliau siang itu.
Malam ini Indonesia akan bertemu Filipina di semifinal AFF CUP. Tentu saya tak mau melewatkan itu.
—
Saya menghabiskan waktu di rumah Pak Budi hingga malam tiba. Mengisi rapor anak-anak didik kelas 3. Ribet juga ternyata mengisi rapor. Salut untuk semua guru yang niat mengisi rapor siswa-siswanya. Catat, hanya yang niat.
Melihat rapor siswa-siswa yang lalu, rapor hanya menjadi formalitas dengan hanya angka menjadi acuan. Catatan untuk orang tua tak pernah ditulis. Kalaupun ada, semuanya ditulis “Tolong ajarkan anak ini di rumah, terutama membaca dan berhitung!” Semua atribut kerajinan, kerapian, dan kebersihan dipukul rata dengan huruf C. Guru seperti tak melihat rapor sebagai suatu esensi evaluasi selama satu semester. That is a pity.
Makanya, saya cukup lama mengisi rapor anak-anak ini. Sudah tiga hari, tapi baru 10 rapor yang terisi penuh. Saya merasa sangat perlu untuk memberikan penilaian spesifik untuk seorang anak. Setiap anak itu unik jadi penilaian pun harus unik.
Sudah jam 9 malam. Saatnya garuda-garuda merah beraksi. Sudah siap di depan TV. Walaupun listrik tak menyala malam itu, di rumah Pak Budi selalu siap genset. Semakin lama, semakin banyak orang yang mampir ikut menonton. Tak semua rumah punya genset memang. Seakan lupa ada resepsi, kami semua larut dalam euforia di depan TV 14 inch ini.
Saya bisa yakinkan Anda. Kami memang tak sedang berteriak bersama puluh ribuan orang di stadion kebanggaan negara. Tapi teriakan kami tak kalah keras, semangat kami tak kalah tinggi, doa kami tak kalah kencang. Semua untuk 11 orang pejuang lapangan.
Gol Gonzales membuat kami semua bisa tidur nyenyak. Raut wajah masyarakat negeri ini tersenyum cerah dan puas malam ini.