Kala Mama Pergi

by Bayu Adi Persada

Sejak awal, saya amat menghargai perkataan Mama untuk selalu tinggal di rumah selama saya masih tinggal di desa ini. Namun sejak awal juga, saya tahu bahwa itu tak mungkin terjadi. Suatu waktu, Mama tentu punya urusan selain di rumah. Mama punya keluarga besar. Keluarganya tersebar dari Desa Bibinoi sampai Ternate bahkan Makassar. Ada kalanya Mama harus menghadiri acara-acara keluarganya. Kalau sudah keluar desa, dipastikan berhari-hari meninggalkan rumah.

22 Januari 2011

Adik sepupu Mama akan melangsungkan pernikahan hari Selasa minggu depan. Di Ternate. Mama tak mau melewatkan hari besar keluarganya ini. Beliau memutuskan pergi bersama Iyam dan bayinya, Ari, dan juga Meme. Praktis, yang tinggal di rumah semuanya laki-laki dan Naini. Saya ditemani Pak Amir, Ul, Budi, dan Eman. Entah sampai kapan Mama akan kembali.

Mama tak sempat (atau kurang enak?) berpamitan. Saya harus pergi sekolah jam 7. Kapal ke Babang berangkat jam setengah sembilan pagi. Di pagi hari kami memang tak berbicara banyak. Hanya meminum beberapa teguk teh manis dan memakan satu atau dua pisang goreng, saya segera berangkat untuk memimpin apel pagi.

Tak ada cerita berarti di sekolah hari ini. Semuanya berjalan seperti biasa. Ketidakhadiran guru sepertinya sudah menjadi cerita basi. Saya hanya berempat dengan Pak Amir, Pak Malik, dan pendeta Oskar, pengajar agama Kristen. Hari ini, sama juga seperti kebanyakan hari-hari lain, banyak anak yang sia-sia menyisihkan waktunya ke sekolah.

Untuk saya, cerita tak bermula di kelas. Tapi ketika pulang sekolah. Biasanya, sesampai di rumah, makanan sudah terhidang di meja makan. Kalaupun belum, menunggu pun tak akan lama. Kali ini, yang ada hanya gelas dan ceret yang sudah kosong. Bekas tadi pagi.
Pak Amir berinisiatif, “Makan Supermi saja ya?” Saya mengangguk cepat. Tak ada pilihan lain.

Pak Amir lalu mengambil lima bungkus mie dari warung. “Kok banyak, Pak?” saya bertanya. “Biar kenyang,” sahutnya sambil tertawa. Saya mengiyakan. Penghuni rumah ini ada enam. Rasanya lima bungkus mie cukup menjadi makan siang.
Eman memasak nasi sedang saya memasak lima bungkus mi sekaligus. Yang lain, nonton tinju di ruang tengah.

Cooking noodles is piece of cake. Sebentar saja, mie sudah tersaji di piring besar. Nasi juga masih hangat. Kami makan bersama saat itu juga. Walaupun hanya nasi dan mie, kami menikmati makan ini ditemani siaran tinju klasik. Sederhana tapi tak mengurangi nilai makan itu sendiri. Gizi jelas tak mencukupi, namun yang pasti cukup mengenyangkan.

Hari semakin malam, semakin saya gelisah. Makan apa nanti malam. Tak masalah jika bisa makan ubi atau pisang. Masalahnya, sampai seusai Maghrib, saya tak mendengar aktifitas apa pun dari dapur. Jangan-jangan tidak makan malam ini. Saya pun beranjak ke dapur. Mendapati Pak Amir sedang mengupas pisang untuk digoreng. Syukur. Masih bisa makan.
Ditambah teh hangat, pisang goreng ini sudah cukup. Pisangnya tak manis. Namun, saya selalu mengingatkan diri sendiri, kami tak punya banyak pilihan. Tak bisa memilih.

23 Januari 2011

Hari ini saya pergi ke Labuha. Makanan tak akan menjadi masalah. Yang menjadi masalah, hanya sehari saya di sini. Hari Senin saya harus pergi ke sekolah. Sore nanti saya harus pulang ke desa. Malam nanti saya harus makan. Tak pernah pasti bisa makan.

Sehabis shalat Isya, saya mampir dulu di rumah Adhi. Sekedar mengobrol apa saja yang bisa dibicarakan. Tentu saja tujuan awalnya bukan ngobrol. Saya sudah bilang padanya kalau boleh saya ingin menumpang makan malam ini. Straight to the point. Melihat kondisi saya, Adhi pun maklum. Pak Budi sendiri selalu senang mengajak saya makan bersama di rumah.
Bisa makan lengkap juga hari ini. Sayur. Ikan. Dan kerupuk!

24 Januari 2011

Saya harus menyiapkan sendiri teh hangat di pagi hari. Hari ini teh hangat tidak sendiri. Ada kue pisang yang baru saja dibeli di warung dekat rumah. Mereka cukup menjadi bekal mengajar seharian.

Pada jam pertama, saya mengisi eksperiman sains di kelas enam. Seperti baru pertama kali melakukan eksperimen, mereka terheran-heran melihat balon yang ditempelkan ke mulut botol mengembang ketika dimasukkan ke dalam air panas dan menyusut kalau dimasukkan ke air dingin. Mereka juga pertama kali tahu memindahkan air dengan sedotan.

Selanjutnya, saya kembali ke kelas tiga bersama murid-murid terbaik saya. Mengajarkan mereka menjumlahkan pecahan sederhana, menulis kata-kata asing, dan bernyanyi ‘Padamu Negeri’. Anak-anak di sini tak banyak tahu lagu nasional. Lagu-lagu ST12 dan Ungu terdengar lebih familiar buat mereka.
“Yang kuinginkan hanya pacar perhatian” lebih mereka hapal dari “Padamu negeri kami berbakti”.

Kembali di rumah, ada beberapa potong ikan di lemari makanan untuk makan siang. Saya tak tahu pasti dari mana. Ikan tuna goreng yang sudah dingin. Karena hanya itu lauk yang kami punya sampai nanti malam, makanan siang ini tak langsung dihabiskan. Tersisa hanya beberapa potong ikan untuk makan malam.
Ikan ini tak begitu ada rasanya. Untung saja sambal buatan Pak Amir ini pedas.

25 Januari 2011

Pak Amir akan pergi ke Labuha untuk mengambil tunjangan fungsional guru-guru. Jumlahnya saya dengar cukup layak. Sedih mendengarnya ketika itu tak sebanding dengan apa yang sudah mereka lakukan di sekolah. Minim dedikasi. Minim sekali.
Beliau bilang akan segera pulang sore ini juga.

Saya hanya sendiri di sekolah sampai sekitar jam delapan. Lalu Pak Malik datang. Pak Malik selalu menjadi teman terbaik saya di sekolah. Saya akan bercerita khusus tentang beliau nanti. Yang jelas, saya selalu merasa tenang jika beliau hadir di sekolah. Beliau seorang diri lebih berpengaruh dari lima guru lainnya walau semuanya datang.
Meskipun beliau selalu datang terlambat, saya tak pernah meragukannya. Anak-anak beliau masih kecil-kecil. Pagi menjadi saat yang merepotkan untuknya setiap hari.

Karena Pak Amir tak ada, saya tak mau lagi memikirkan makan apa hari ini. Pasrah saja. Ada ya syukur, tak ada ya tahan saja dulu sampai malam nanti. Sesampainya di rumah, ternyata di meja makan sudah tersaji sepotong ikan. “Dari siapa ini, Man?” tanya saya pada Eman di dapur. “Dari tetangga, Mas,” jawabnya.
Tetangga tahu dapur rumah ini tak lagi mengepul seperti biasanya. Literally, kami memang butuh belas kasih tetangga.

Hanya ada sepotong ikan. Sedang ada lima orang yang akan makan siang hari ini. Walau ikan ini memang dijatahkan khusus untuk saya, saya tak pernah tega memakan semuanya seorang diri. Saya tak sanggup lagi melihat anak-anak ini makan nasi hanya dengan teh. Nasi dan teh dicampur di piring.
Saya hanya memakan sedikit. Tak perlu kenyang, yang penting bisa berbagi. Semuanya mendapat secuil daging.

Saya harus mencuci, menyetrika, dan menyapu semuanya sendiri. Cucian saya sudah menumpuk. Menyetrika ternyata membuat pegal. Menyapu pasir dan debu dari kamar sampai ruang tamu. Melakukan pekerjaan rumah seharian benar-benar menguras tenaga. Salut untuk pembantu rumah tangga di seluruh dunia.

Sampai sore, Pak Amir tak kunjung datang.

Saya memutuskan tak datang ke rumah Adhi lagi. Tak perlu sering-sering, saya pikir. Meski mereka merasa tak masalah, saya yang tak mau jadi masalah. Geli saja kalau terus menumpang makan. Dari mesjid, saya langsung pulang ke rumah. Di rumah, saya mencoba melirik meja makan. Ada piring yang ditutup. Berarti ada lauk malam ini.

Ada dua potong kecil ikan tuna dan sambal. Saya tanya pada Budi siapa yang belum makan malam ini. “Semuanya sudah, Mas.” Akhirnya, saya menghabiskan sendiri dua potong ikan itu. Saya tak bertanya dari mana datangnya ikan malam ini. Paling dari tetangga lagi. Tetangga yang mana saya juga tak ambil pusing. Semoga Allah mengganti ikan ini dengan ikan yang lebih banyak untuk mereka esok hari.

26 Januari 2011

Siang ini, saya mendapat ‘undangan’ makan siang di rumah oleh orang tua Natalia dan Amoi. Mereka berdua ini sepupu. Jadi tinggal di satu rumah yang sama. Saya bercerita pada ibunya ketika mengantarkan mereka ke rumah untuk belajar. Di rumah sedang sepi, Bapak dan Mama ada urusan keluar desa. Seperti merasa iba, beliau kemudian mengundang saya makan siang di rumahnya sepulang sekolah.

Tentu saya tak bisa menolak. Walaupun hanya lima jam di kelas, mendidik puluhan anak kelas tiga jelas menguras tenaga. Mereka sedang berada di masa transisi untuk belajar hal-hal yang lebih serius dan luas, jauh berbeda dari kelas dua. Tingkah laku mereka masih berorientasi untuk bermain. Bagaimana mengubah sedikit demi sedikit pola pikir mereka tak pernah mudah.

Keluarga Natalia dan Amoi beragama Kristen. Saya harus melintas batas kampung untuk sampai ke tujuan. Untungnya tak begitu jauh dari rumah. Rumah mereka sederhana. Dindingnya terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Alasnya pun masih berupa tanah.
Selayaknya menjamu tamu, mereka sudah mempersiapkan semuanya. Ada tiga menu masakan ikan terhidang di atas meja dan sayur kangkung. Tak lupa juga ‘popeda’, masakan khas Maluku Utara yang bentuknya seperti lem.

Saya makan bersama dengan kakeknya anak-anak. Sudah kultur di daerah ini, yang duduk di meja makan dan makan terlebih dahulu adalah laki-laki yang dituakan. Selapar apa pun, saya tak pernah bisa makan banyak. Hanya makan dua potong ikan dan sayur kangkung ditambah semangkuk popeda.

Malamnya, Pak Budi kembali mengajak untuk makan bersama. Selepas Isya, saya mampir di rumah beliau. Ternyata ada tamu dari Ternate, Ustad Assegaf. Beliau ini dulu salah satu pendiri Pondok Pesantren. Kami bercerita banyak malam ini. Sambil makan malam, saya banyak tahu tentang asal usul berdirinya pesantren dan banyak cerita desa lainnya.
Malam ini saya kalap. Kerupuk satu toples sudah habis setengahnya.

27 Januari 2011

Saya sudah tak memikirkan lagi kapan Bapak dan Mama pulang. If it is meant to be a whole week or a month, so be it. Saya sudah mulai terbiasa berbuat semuanya sendiri. Sudah terbiasa juga menahan lapar. Memakai baju yang dicuci dan disetrika dengan peluh sendiri ternyata memberikan perasaan berbeda. Seperti lebih bersih dan nyaman saja.

Kunci warung dibawa Pak Amir. Kami tak bisa makan siang dengan mie gratis lagi. Siang itu, saya mendapati Eman menggoreng batatas atau ubi. Ternyata, beras sudah habis. Saya memberinya uang untuk membeli tiga bungkus mie di warung lain. Sementara dia pergi, saya menggantikannya memasak ubi goreng. Lumayan sebagai teman makan mie. Walaupun kedengarannya aneh, lagi-lagi saya tak peduli. Beberapa hari ini, makan saya memang tidak karuan. Apa yang ada saja.

Selepas pulang mengajar pelatihan komputer, saya melihat kapal dari Babang sudah datang. Seperti mati rasa, saya tak peduli. Beberapa hari sebelumnya, setiap ada kapal datang, saya selalu meminta Naini melihat apakah Bapak atau Mama sudah pulang.
Saya duduk di teras depan rumah. Tak langsung masuk ke dalam. Tak lama, saya mendengar suara Meme. Oh, berarti mereka sudah datang, pikir saya.

Tak lama, Pak Amir keluar rumah dan tersenyum. Tak lama juga, pundak saya ditepuk beberapa kali. Saat saya menoleh, ternyata itu Mama. Hanya senyum dan tertawa kecil, beliau tak bicara. Terus menepuk sampai saya berkata datar, “Oh, Mama sudah pulang.”
Ekspresi saya pun hilang tak berbekas.