Kisah Nomor Sepuluh
by Bayu Adi Persada
Kejadian bermula di suatu malam selepas Isya, saya mampir ke tempat Pak Munir. Rumahnya dekat sekali dengan mesjid. Berhubung listrik masih belum mau menyala juga sedang kami harus mencetak sertifikat yang akan dibagikan esok hari, mau tak mau kami harus meminjam listrik Pak Munir. Di rumah beliau selalu sedia mesin diesel.
Saat sedang mencetak, dua orang santri datang ke rumah Pak Munir juga. Ada apa, saya pikir. Saat saya tanya, ternyata mereka akan mendaftar kompetisi liga sepakbola di desa. Saya sedikit tak percaya. Saya kemudian mengkonfirmasi pada Pak Munir. Ternyata oh ternyata, beliau ini ketua panitianya. Tentu saya tak mau ketinggalan ambil bagian. Pak Munir bertanya, “Pak Bayu mau ikut juga?” Sebuah pertanyaan retoris yang kita semua tahu jawabannya.
—
6 Maret 2011
Saya masuk di dalam tim Pondok 2. Biaya pendaftaran lumayan mahal, seratus ribu rupiah. Berhubung hasrat bermain bola dan kompetisi sudah memuncak, saya membayari setengahnya. Setiap tim harus punya kaos tim sendiri. Jadilah saya pun harus ikut mempersiapkan kostum yang akan kami pakai nanti.
Hari Minggu, saya dan dua orang santri, Rian dan Wahyudin pergi ke pasar baru di kota untuk mencari-cari kostum bola yang cocok. Dengar-dengar dari tim lain yang sudah membeli kostum tim, harganya tak murah. Maklum, semua sandang yang dijual di daerah ini hampir semuanya dibawa dari Jawa. Siang itu kami mengubek-ngubek seisi pasar yang banyak diisi penjual dari Madura.
Akhirnya kami menemukan harga yang pas untuk ukuran di sini. Setidaknya harga yang wajar. Kami membeli satu set kostum yang berisi 12 kaos dan celana serta satu kaos kiper. Semuanya enam ratus lima puluh ribu. Lumayan juga harganya. Para santri sudah mengumpulkan uang lima ratus ribu. Rian sempat ragu karena harganya tidak seperti yang mereka perkirakan. Saya bilang, “Beli sudah. Saya kasih tambah uangnya.” Kasihan juga hanya karena uang tak cukup lalu tak beli kostum.
“Kak Bayu nomornya berapa? Sepuluh saja, ya?” tanya Rian. Ah Rian, kamu tahu saja nomor yang pas untuk saya, jawab saya dalam hati. Saya mengangguk cepat.
Kostum beres. Tinggal persiapan fisik dan mental untuk menghadapi pertandingan. Pertandingan pertama kami tepat esok hari jam setengah empat sore. Bertempat di lapangan Dagasuli, kami akan memulai perjuangan di kompetisi Dagasuli Cup. Diberi nama sesuai nama leluhur kepala desa.
Format kompetisi liga ini cukup rapi. Setengah kompetisi. Ada enam belas tim dibagi menjadi empat grup. Seperti Piala Eropa saja. Namun, tidak benar-benar menggunakan keseluruhan lapangan. Satu tim terdiri dari 11 orang, 7 orang bermain dan sisanya cadangan. Gawang yang dipergunakan juga tidak besar, hanya setengah gawang biasa. Ukuran lapangan disesuaikan dengan jumlah pemain. Lama permainan 2 x 30 menit. Bola yang dipakai bukan bola jahit, melainkan bola plastik. Yang terakhir ini menjadi concern utama saya. Baru kali ini saya ikut kompetisi pakai bola plastik.
—
7 Maret 2011
Sampai juga di hari pertandingan. Tim dimanajeri oleh Syamil, adik Ustadz Yus, yang sangat kooperatif dan tanggap. Dia yang mempersiapkan pendaftaran ulang, perlengkapan, dan tentu minum untuk para pemain. Saya hanya tinggal memberikan strategi di atas lapangan saja.
Dengan hanya enam orang pemain di lapangan, saya memilih pola 2-3-1. Sepertinya pola itu paling feasible dan stabil.
Berjalan ke lokasi pertandingan. Sudah banyak warga yang berkumpul. Siap untuk menyaksikan pertandingan. Banyak anak-anak didik saya di sana. Seakan heran dengan Pak Guru-nya yang ikut bermain, mereka banyak bertanya, “Pak Guru ikut mainkah?” Ada juga yang memberi semangat, “Ayo Pak Guru, menang!” “Isi gol, Pak Guru!” sahut yang lain sambil diikuti teriakan anak lainnya. Ah, perasaan yang luar biasa punya kesempatan ikut even besar warga desa ini.
Lawan kami kali ini adalah tim Dusun 3. Berisi bapak-bapak dan pemuda pekerja kebun. Dengan badan kekar dan besar. Betis yang padat seperti batu karang. Jujur saja, ini membuat saya agak keki. Ini kali pertama saya menghadapi lawan yang tidak sepantaran. Biasanya ketika main di liga mahasiswa, postur tubuh lawan sebesar apa pun masih bisa ditoleransi. Tapi kali ini agaknya tak bisa disamakan. Badan dua kali lebih besar dan otot berkali lipat lebih kekar.
Tak ada kata mundur ketika kaki sudah menginjak lapangan. Saya diberikan kepercayaan sebagai kapten tim oleh anak-anak santri. Sebuah kehormatan. Nomor sepuluh dan kapten. Benar-benar mengingatkan saya akan idola di Turin, Bang Alex. Wasit menggelangkan ban kapten ke lengan saya. Kemudian dia melemparkan koin kecil dari kardus. Saya memilih bola. Then ball it is. Kick off pertama menjadi hak tim kami.
Agak janggal rasanya main dengan bola plastik. Bola seperti melayang-layang. Sulit dikontrol. Perlu banyak penyesuaian. Dan rasanya, pertandingan bukan waktu yang tepat untuk penyesuaian.
Di awal-awal pertandingan, tim kami menguasai pertandingan. Lawan memang lebih dalam hal kekuatan dan permainan badan, tapi kami unggul di kecepatan dan strategi.
Peluang demi peluang lahir. Namun belum ada yang benar-benar dihitung. Meskipun hanya mengandalkan fisik, lawan pun juga punya peluangnya sendiri. Skor masih 0-0 sampai menit ke 20. Sampai lawan mendapatkan tendangan sudut. Bola yang diarahkan ke kotak penalti menuju kepala Pak Bambang yang tak terjaga. Dia pun berhasil memasukkan bola ke gawang kami. Skor 1-0 untuk Dusun 3.
Tim agak sedikit tak percaya. Di atas kertas memang kami unggul. Tapi bola itu bundar, kapten! Tak mau menyerah, kami langsung melancarkan serangan setelah kick off. Tendangan saya masih terbentur kaki pemain lawan. Bola berubah arah. Namun sayang tak ada yang menyambut. Menjelang berakhirnya babak pertama, sebuah umpan terobosan dari Asis pada saya dihentikan dengan luar biasa oleh pemain besar bernomor punggung 13. Dengan tangannya! Otomatis, dia langsung dikeluarkan oleh wasit. Andai saja saya lolos, mungkin saya punya peluang besar untuk mencetak gol. Sial.
Babak pertama berakhir dengan keunggulan tim lawan.
Menjelang babak kedua. Tim melakukan evaluasi singkat. Intinya, dengan keunggulan jumlah pemain, tim akan sangat fokus di menyerang dengan meninggalkan satu orang saja di belakang. Kalah satu atau dua angka sama saja.
Dari peluit babak kedua dibunyikan, tim langsung berinisiatif menyerang. Bola tendangan Indra masih melayang di atas gawang. Begitu juga sundulan Isra yang juga menganggu penerbangan domestik. Tak ada peluang berarti untuk mencetak gol. Tim dalam kondisi terdesak. Sedang tim lawan tak punya peluang. Mereka terkurung di daerah lapangan sendiri. Kapten tim lawan meminta rekan-rekannya untuk fokus bertahan.
Tendangan saya dari luar kotak masih bisa ditepis kiper dan berbuah tendangan sudut. Tak ada celah di kotak penalti lawan. Lawan benar-benar menumpuk pemain di belakang. Bak ingin menembus tembok Cina, tim sangat kesulitan.
Tak lama, Indra mendapat celah dan berhadapan langsung dengan penjaga gawang. Sayang sungguh sayang, tendangannya masih menyamping di sebelah kanan gawang Zulkarnaen.
Tekanan pertandingan berimbas juga pada betis. Menjelang akhir pertandingan betis kiri saya keram. Rasanya luar biasa sakit seperti dipelintir saja. Ingin meminta diganti namun pergantian pemain sudah habis karena di luar dugaan, Rian yang baru masuk langsung cedera setelah salah jatuh saat mengambil bola. Tangannya keseleo di pergelangan.
Akhirnya saya memaksakan diri bermain hingga akhir pertandingan. Mencoba menahan rasa sakit. Alhasil, saya tak bisa banyak membantu tim di sisa pertandingan. Tim mencoba segala cara namun tembok Bibinoi ini terlalu tangguh untuk ditaklukkan.
Al-Fath kalah. Tim kecewa berat. Banyak peluang tak ada yang menjadi gol. Suporter pun ikut merasakan kekecewaan kami. Mereka mencoba membesarkan hati dengan mengingatkan masih ada dua pertandingan sisa.
Mereka benar. Tak ada gunanya meratapi kekalahan. Masih ada peluang dengan menang di dua pertandingan sisa. Jelas tak mudah karena dua lawan ini jauh lebih tangguh dari yang pertama. Secara matematis, kami tak punya peluang. Berhadapan dengan lawan yang lebih mudah saja kalah, apalagi menghadapi lawan yang lebih sulit. Tapi sepakbola bukan matematika, kawan.
—
10 Maret 2011
Buat saya pertandingan kali ini bisa disebut ‘perang serumah’. Lawan Al Fath kali ini tim Antariksa yang salah satu pemain andalannya adalah Anto, suami Iyam, yang praktis tinggal satu rumah dengan saya. Tim ini sudah digadang-gadang sebagai calon kuat juara. Materi tim yang terdiri dari kombinasi pemain muda dan senior membuat mereka solid di semua lini.
Pada hari H pertandingan, kami sedikit mengubah formasi dengan Indra masuk sebagai pemain inti. Indra bermain sangat baik di pertandingan pertama walaupun hanya masuk sebagai pemain cadangan. Saya masih sebagai kapten tim dan bermain di tengah.
Sebelum bertanding, saya bersalaman dengan kapten tim lawan, Uphi, untuk menentukan siapa yang menendang bola pertama. Uphi ini tetangga sebelah rumah. Badannya dua kali badan saya. Dia nelayan berpengalaman. Jadi wajar andaikan tubuhnya dipenuhi gumpalan-gumpalan otot keras dan warna kulitnya sama seperti Boaz Solossa.
Rumornya, tim Antariksa ini sangat mengandalkan fisik. Tak jarang mereka melakukan tekel-tekel keras untuk mengambil bola dari lawan. Tak peduli andaikan tekelnya mengenai kaki pemain lain. Kalau melihat dari posturnya, memang sangat mungkin mereka bermain keras.
Peluit sudah dibunyikan. Kedua tim masih sangat berhati-hati untuk melakukan serangan. Tak ada serangan berarti dari kedua tim. Bola masih sering berkutat di tengah lapangan.
Benar saja, mereka bermain cukup keras. Mendorong, mengambil kaki, bahkan menekel dengan sengaja sering dilakukan.
Sampai sekitar 20 menit pertandingan, Al Fath belum melakukan serangan berarti ke jantung pertahanan lawan. Sedang lawan sudah berkali-kali membahayakan gawang Idhar. Untung saja, Isra dan Mukmin masih sigap menggalang pertahanan.
Serangan lawan bertubi-tubi membuat tim kewalahan. Banyak pemain yang out of position dan mulai kehilangan konsentrasi karena kelelahan.
Tim lawan akhirnya membuat gol setelah Viki memanfaatkan umpan tendangan bebas. Sebenarnya hakim garis sudah mengangkat bendera, namun wasit tak menggubris. Saya mencoba protes pada wasit. Dia tak mau mendengar argumen kami. Gol tetap sah. Al Fath tertinggal satu gol. Tugas berat untuk menyamakan skor.
Tidak lama setelah gol, pertandingan berakhir untuk saya ketika di sisi lapangan, Uphi tak sengaja menendang lutut saya dalam sebuah perebutan bola. Terasa sekali bunyi gesekan tulang. Nyerinya tak terkira. Saya terjatuh tapi terus mencoba berdiri. Wasit tidak meniup peluit tanda pelanggaran. Entah wasit melihat atau tidak. Yang jelas, saya mesti tertatih-tatih untuk kembali mengejar bola.
Puncaknya, saat saya mengambil tendangan bebas. Bunyi gesekan tulang kembali terdengar sesaat setelah bola ditendang. Bola pun melambung tanpa arah. Saya sudah merasakan tekanan luar biasa di sekitar lutut. Sudah pasti tak mampu menyelesaikan pertandingan. Akhirnya, saya memberi kode pada ofisial di bangku cadangan untuk diganti.
Menyesal rasanya tak mampu menyelesaikan pertandingan. Lebih-lebih lagi tak bisa membantu tim mendapatkan poin. Lutfi yang menggantikan saya tidak banyak mengubah permainan di sisa waktu pertandingan babak pertama.
Babak kedua dimulai dengan agresifitas serangan yang justru datang dari tim lawan. Al Fath masih kocar-kacir mencoba mencari celah dan mengambil sekecil pun peluang yang ada. Tendangan dari luar kotak penalti dicoba berkali-kali oleh Isra, Indra, dan Wahyudin. Tapi tak ada yang menemui sasaran. Membahayakan gawang lawan pun tidak.
Justru tim lawan yang sering kali melakukan manuver berbahaya di depan gawang Idhar. Idhar harus terus berjibaku mencegah bola melewati garis gawangnya. Sering keluar sarang untuk menghalau bola karena hampir semua pemain berkonsentrasi menyerang dan meninggalkan pertahanan.
Pertandingan berakhir dengan tak ada tambahan gol di babak kedua. Al Fath mesti kembali mengakui keunggulan tim lawan. Tim Antariksa harus diakui bermain jauh lebih baik. Kami beruntung tak kebobolan lebih banyak. Dengan hasil ini, Al Fath praktis masuk kotak. Al Fath adalah tim kedua yang pasti tidak bisa maju ke babak selanjutnya. Sebuah hasil yang mengecewakan semua pemain, ofisial, dan pendukung. Jika sudah memberikan yang terbaik, rasa kecewa mungkin bisa sedikit terobati. Masalahnya satu, kami bermain jauh di bawah level terbaik.
—
14 Maret 2011
Partai terakhir tak akan berpengaruh apa-apa untuk tim kami. Tapi untuk tim lawan, partai ini sangat menentukan. Kalau di pertandingan kedua terjadi ‘perang serumah’, maka di pertandingan terakhir ini terjadi perang saudara. Pertandingan ini mempertemukan dua tim Pondok Pesantren. Al Fath melawan Pondok 3.
Kiprah Pondok 3 di kompetisi Dagasuli jauh lebih baik daripada saudaranya, Al Fath. Mereka mampu menahan Antariksa, 1-1, dan menang lawan tim Dusun 3, 2-1. Dengan hasil itu, mereka butuh menang dari kami untuk menjadi juara grup agar tidak melawan saudaranya lagi, Laskar, tim Pondok 1 di babak perempat final. Antariksa juga mengincar juara grup mengingat lawan terakhirnya berada jauh di bawah level permainan mereka.
Untuk memberikan kesempatan bermain pada semua pemain, saya merelakan duduk di bangku cadangan kali ini. Lutut juga masih nyeri sehingga tidak mungkin pula akan bermain dua babak. Pikir saya, lebih baik main di babak ke dua saat stamina lawan sudah menurun. Trik klasik yang kerap membuahkan hasil.
Posisi saya digantikan Lutfi. Ban kapten tim digelangkan di lengan Isra. Pertandingan dimulai dalam kondisi lapangan yang buruk setelah diguyur hujan deras. Bola tak lancar bergulir. Banyak genangan air di beberapa sisi lapangan. Rumput pun menjadi licin. Babak pertama tak berjalan menarik. Kondisi lapangan tidak memungkinkan kedua tim untuk menampilkan permainan baik. Passing banyak yang terhambat. Dribbling pun sulit dilakukan.
Meski begitu, Pondok 3 mampu mencetak dua gol karena kelengahan pemain belakang Al Fath. Maklum, di permainan terakhir ini, tak ada pola lagi yang dipakai di tim kami. Tim bermain sesuai naluri saja sehingga banyak ruang kosong yang mampu dimanfaatkan tim lawan.
Di babak kedua, saya masuk menggantikan Lutfi. Saya kira olesan Counterpain yang cukup ini mampu meredam sedikit rasa sakit. Anggapan itu tidak salah. Nyeri di lutut sudah jauh berkurang. Saya bisa bermain lebih lepas dari biasanya. Tidak ada beban lagi.
Serangan lebih hidup di babak kedua. Berkali-kali kami mampu membahayakan gawang lawan.
Saya punya tiga peluang bersih. Pertama, bola liar di kotak penalti saya angkat melewati kerumunan. Melihat posisi kiper yang sedikit maju, saya melambungkan bola langsung menuju gawang. Namun sungguh sayang, kiper dengan cekatan mampu berlari ke belakang dan menepis bola keluar.
Kedua, dribbling dari sisi kanan pertahanan lawan kemudian menusuk ke kotak penalti. Kembali gagal karena tendangan yang lemah.
Terakhir, saya mendapat umpan terobosan dari Indra. Setelah melewati satu pemain lawan, saya langsung berhadapan dengan kiper. Ah, saya merasa bodoh setelah tendangan datar saya hanya melesat tipis di samping kanan gawang.
Akhirnya, kami mampu mencetak gol di turnamen ini! Mendapat umpan dari lemparan ke dalam, saya berada di posisi bebas di sisi kiri. Kemudian saya mengirimkan bola datar ke depan gawang. Di sana sudah menunggu Mukmin yang dengan mudah menceploskan si bola plastik ke gawang lawan. Ternyata lawan tidak tahu peraturan. Masih saja memprotes posisi saya off side. Lemparan ke dalam tidak menyebabkan off side.
Pertandingan berakhir dengan kemenangan lawan 2-1. Meski kalah, saya puas karena telah memberikan perlawanan. Setidaknya di babak kedua. Dan yang paling penting, kami bisa mencetak gol! Walaupun sebenarnya malu juga setelah kalah tiga kali berturut-turut.
—
Begitulah kisah nomor sepuluh. Tidak akan pernah menjadi legenda, memang. Meski begitu, kenangannya tersimpan rapi dalam kotak. Tak akan hilang, tak akan usang. Turnamen resmi pertama sebagai warga desa meski baru empat bulan menetap. Ditonton oleh ratusan orang. Mungkin mereka akan lupa siapa pemain nomor sepuluh dengan seragam biru itu.
Mereka mungkin lupa sekarang. Namun, di turnamen berikut, saya pastikan mereka akan mengingatnya. Si nomor sepuluh dengan seragam yang kita belum tahu warnanya. Mudah-mudahan.