Catatan di Hari Besar

by Bayu Adi Persada

2 Mei 2011

Semua insan dan golongan di dunia ini pasti punya hari besar masing-masing. Semuanya berawal dari sejarah yang kemudian dijadikan tradisi. Perayaan itu membuat mereka lebih mengingat kembali identitas sebagai bagian dari sebuah kelompok atau golongan. Di satu sisi juga mempertebal keyakinan dan sadar bahwa perayaan yang diisi dengan ritual keagamaan, upacara, atau tradisi lain bukan hanya sebuah simbol. Ada nilai-nilai penting yang tersimpan pada setiap perayaan.

Lebaran untuk umat Muslim, Natal untuk umat Kristiani, Hari Lingkungan Hidup untuk alam dengan segala isinya, Hari Buruh untuk para pekerja non outsource, atau Hari Bumi untuk atmosfer dan udara. Masing-masing punya makna tersendiri untuk diresapi. Last but not least, Hari Pendidikan untuk semua insan pendidikan.

Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara melakukan manuver luar biasa saat membuka Taman Siswa pada tanggal 3 Juli di tahun 1922. Dia hendak mendobrak dominasi pendidikan yang dulu dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan adalah barang mewah yang hanya diberikan untuk warga penjajah dan pribumi berdarah biru.
Penjajah ingin rakyat tetap bodoh agar terus bisa dibodoh-bodohi.

Dari segelintir kaum bangsawan pribumi yang dapat memperoleh pendidikan, Ki Hajar Dewantara sadar bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Beliau kemudian mendirikan Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan kolonial dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebudayaan sendiri.
Semboyan Ki Hajar pun masih diabadikan sampai sekarang, “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Seorang guru harus memberi teladan di depan, menciptakan ide di tengah, dan memberi semangat dari belakang.

Kolonialisme sudah menjadi cerita lalu. Bangsa Indonesia sudah memasuki usia merdekanya yang ke enam puluh enam tahun. Usia yang tidak muda lagi untuk sebuah bangsa besar yang punya lebih dari tujuh belas ribu pulau dan dua ratus dua puluh juta warga. Dalam usianya itu, rakyat sudah bisa mendapati pendidikan yang layak. Walaupun kata ‘rakyat’ masih tabu untuk digeneralisir, setidaknya memang sebagian besar warga Indonesia telah menjalani pendidikan yang jauh lebih baik.

Pendidikan yang baik tentunya akan menghasilkan sumber daya yang baik pula. Namun, jika kita berkaca pada indeks pembangungan sumber daya manusia yang dikeluarkan tahun lalu, negara kita bahkan masih tertinggal dari Vietnam dan tenggelam di peringkat sekitar seratus. Walaupun berat (atau tidak?), kita masih harus berbesar hati mengatakan masih banyak kekurangan yang ada pada cara negara memberikan pendidikan untuk warganya.

The greatest weapon that a country ever has is education. Bukan angkatan darat, bukan juga senjata nuklir. Ketika negara tidak menganggap rakyatnya sebagai sumber daya potensial, maka saat itu juga negara telah menyia-nyiakan senjata terhebatnya.

Berbicara tentang pendidikan di negeri ini, ibarat kaki seorang anak di desa Bibinoi. Penuh luka dan noda. Banyak luka yang baru dan tak jarang pula masih terlihat sisa-sisa bekas luka lama yang tak kunjung hilang. Dia tak menaruh perhatian pada luka-luka itu. Menurutnya, luka itu wajar dan tak perlu dipusingkan. Maka tak jarang, luka itu kian lama akan terinfeksi dan membusuk kemudian meninggalkan bekas yang tak enak dilihat.

Potret pendidikan kita bukanlah sekolah-sekolah swasta mentereng bergedung megah dengan aplikasi kurikulum, metode, or whatever things yang diadopsi dari luar negeri sehingga merasa pantas menambah embel-embel ‘internasional’. Atau sekolah negeri papan atas yang entah atas dasar apa memberikan label ‘Unggulan’ di belakang nama sekolahnya.

Pendidikan kita tercermin dari kayu-kayu lapuk yang ditegakkan untuk dijadikan ruangan kecil di pemukiman kumuh. Ruangan kecil dan bau itu kemudian dijadikan rumah belajar yang pengajarnya pun bukan guru. Melainkan seorang mulia yang mau mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak pemulung.

Jika belum sungkan untuk melihat lebih ke dalam, pendidikan kita terlihat dari bawah atap-atap genteng kelas yang bocor dan hampir rubuh sehingga sinar matahari dengan senang hati masuk untuk ikut belajar. Memeras peluh dan mengeringkan derma tanpa peduli anak-anak akan terganggu dengan kedatangannya.

Lebih ke dalam lagi, kita bisa melihat seorang guru yang kerja keras mengajar ratusan anak di sebuah sekolah kecil di desa pesisir timur Indonesia. Sudah bertahun-tahun dia sendiri. Permohonan tambahan guru tak kunjung digubris oleh sang penentu kebijakan.
Ironis karena setiap tahun, ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa Sarjana Pendidikan lulus dari berbagai universitas. Profesi mereka selanjutnya memang guru. Namun, sebagian besar enggan menemani seorang guru mulia itu. Mereka lebih memilih untuk mengajar di sekolah yang ada di kota yang punya cukup guru. Sebagian lain bahkan menggadaikan profesi ‘guru’-nya untuk menjadi birokrat atau bankir.

Gambaran lain, guru PNS yang malas. Gaji yang dibayar di awal bulan tidak memacu dirinya untuk bekerja sepenuh hati. Gaji yang cukup juga tidak membuat diri menerima kewajibannya. Saat guru hanya dijadikan profesi dan titel PNS cuma dibalut baju dinas, maka tak ada murid yang pantas berguru kepadanya. Ketika murid tidak dijadikan subjek yang harus dilayani, maka peran seorang guru hilang tanpa bekas.

Berbicara pendidikan, mau tak mau kita akan dihadapkan dengan sederet masalah yang tak akan pernah habis. Meskipun begitu, tak perlu buang waktu untuk terus menyebut masalah. Seorang Anies Baswedan pernah mengatakan, “Untuk apa terus mengutuk kegelapan? Mari mulai menyalakan lilin.” Biarpun kecil, tidak masalah. Yang penting, gelap tak selamanya jaya.

Percuma menjadikan banyak masalah sebagai sesuatu yang memalukan dan terus dianggap borok. Jadikan masalah-masalah itu sebagai celah perbaikan. Perbaiki yang belum baik dan terus menjaga yang sudah baik. Karena baik adalah sebuah keniscayaan ketika niat sudah dikatakan, semangat telah ditegakkan, dan aksi mulai dilakukan.

Di hari besar ini, sudah sepantasnya kita optimis. Optimisme akan menyulut lilin harapan sehingga lilin tidak selamanya memiliki api yang kecil. Api yang besar akan lebih banyak menerangi dan mengikis gelap.
Sebuah lilin sampai kapan pun tak akan mampu menerangi seisi ruangan. Maka dari itu, diperlukan banyak lagi lilin lainnya agar suatu saat, yang ada hanyalah terang tanpa ada gelap yang tersisa.

Hari ini seratus dua belas tahun yang lalu, lahir seorang bakal pejuang, Ki Hajar Dewantara. Hari lahirnya diperingati sebagai hari besar bagi pendidikan nasional. Sebuah penghargaan yang pantas untuk seorang pionir pergerakan pendidikan Indonesia.

Teringat pesan Bung Karno yang kurang lebih berbunyi, “Perjuangan kami meraih kemerdekaan memang berat melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian nanti jauh lebih berat karena melawan bangsa sendiri.” Sungguh tidak berlebihan pesan almarhum Putra Sang Fajar. Kini kita masih berkutat melawan apatisme penguasa pada bangsa dan rakyatnya sendiri. Namun, pendidikan bukan milik yang berkuasa. Pendidikan punya semua orang yang ingin dididik dan mendidik.
Maka dari itu, hari besar ini adalah milik semua orang yang peduli pendidikan. Asalkan semua orang yang peduli itu bergerak bersama, cita-cita besar Ki Hajar Dewantara untuk memerdekakan rakyat dengan sebenar-benarnya kelak akan terwujud di bumi nusantara.