Asri Ishak

by Bayu Adi Persada

9 September 2011

Ada pepatah mengatakan, “Apalah arti sebuah nama?” Dari pepatah tersebut, terkesan bahwa nama tidak memegang peranan penting dalam penilaian seorang manusia. Bahwa nama hanya sebuah label yang melekat seumur hidup pada seseorang. Bahwa nama hanyalah sebuah panggilan.

Dalam beberapa kesempatan, pepatah itu benar adanya. Saya terkadang tidak perlu mengetahui nama seseorang untuk menghormatinya, bahkan sangat menghargainya, atau justru menjauhinya. Dari perbuatannya saja, kita bisa ‘memutuskan’ watak orang tersebut dan apa persepsi kita padanya.
Namun kali ini, mengetahui nama seseorang itu terlalu penting. Meskipun dia bukan seorang tokoh besar atau figur terkenal, akan menjadi kehormatan untuk saya untuk tahu nama beliau. Tidak, tidak berlebihan.

Sore itu, saya dan Adhi memutuskan pergi ke Desa Wayatim untuk melakukan penilaian sekolah terkait SD penempatan baru bagi Pengajar Muda angkatan ke 3. Hari itu, saya sedang menjalankan ibadah shaum di bulan Syawal. Sebenarnya badan juga sudah lemas. Akan tetapi, keinginan kuat untuk menjelajah lautan lebih ke timur mengalahkan rasa lapar dan lelah saya.

Kurang lebih satu jam perjalanan laut kami tempuh dengan meminjam speed boat milik Puskesmas. Laut agak berombak membuat kapal kecil ini harus berjibaku melawan. Pemandangan pantai landai hijau di sebelah kanan dan di sebelah kiri, terlihat Pulau Halmahera yang sedikit tertutup kabut. Gerimis tak mengurangi sedikit pun antusiasme saya mengarungi lautan.

Sesampainya di dermaga kecil Desa Wayatim, saya tertegun betapa sepinya desa ini. Tidak terlihat orang yang berlalu lalang. Tercatat memang hanya tiga ratusan orang penduduk desa Wayatim ini. Tak lama, muncul satu orang yang penasaran dengan kedatangan kami dan kemudian menunggu di ujung dermaga. Dari sana, tinggal menunggu waktu untuk bertemu seorang pejuang pendidikan hebat ini.

Asri Ishak. Anda tidak akan menemukan nama itu jika mengetikkannya di mesin pencarian terbaik di dunia. Kalaupun ada yang muncul, saya amat yakin nama tersebut bukanlah orang yang saya maksud. Beliau bukanlah orang yang gemar hiruk pikuk di media. Bukan juga seorang tokoh yang punya reputasi dan nama besar. Beliau hanya seorang guru PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Desa Wayatim, sebuah desa kecil di pesisir Pulau Bacan.

Penampilan bisa menipu. Pertama kali melihat Pak Asri atau biasa disapa Acil, tak ada kesan berlebih sama sekali. Beliau memakai kaos dan celana pendek. Acil sedang melatih anak-anak untuk upacara bendera hari Senin esok. Dengan mempraktikkan jalan seperti seorang tentara, Acil mengajarkan anak-anaknya untuk berjalan tegap seperti dirinya.

Acil boleh dibilang masih termasuk guru muda. Dari penampilannya, umur Acil mungkin baru mendekati 30. Beliau baru menikah. Meskipun begitu, pasangan baru ini pun harus menghadapi tantangan terpisah samudra karena tuntutan tugas. Istrinya mengajar SMP di Halmahera Tengah. Acil, dengan rendah hati, tidak mengeluh mengajarkan sekitar 69 orang anak SD di desa kecil ini.

Beliau hanya satu-satunya guru yang mengajar di Desa Wayatim ini. Sebenarnya, berdua dengan kepala sekolah. Namun, kepala sekolah sering kali keluar desa karena harus menyelesaikan kuliah sarjana-nya di Ternate sehingga Acil-lah yang menjadi tumpuan anak-anak untuk bisa belajar di sekolah. Acil juga sedang menyelesaikan kuliah. Akan tetapi, dia rela menundanya sampai kepala sekolah terlebih dahulu selesai dan kembali bisa mengajar.

Acil bukanlah seorang Pegawai Negeri Sipil yang rutin mendapatkan gaji lebih dari 1,5 juta per bulan plus bermacam-macam tunjangan. Status beliau hanya guru PTT yang juga tidak digaji Pemda seperti yang seharusnya. Gaji beliau didapatkan dari sumbangan masyarakat desa. Masyarakat sepakat untuk menggaji Acil 650 ribu per bulan agar beliau tetap mengajar di desa mereka.

Dulu, Acil dibantu oleh dua orang guru bantu. Akan tetapi, mereka tidak betah dengan sepi dan terlalu terpencilnya desa ini sehingga memutuskan pergi dan mengajar di tempat yang lebih nyaman. Meski demikian, Acil tak pernah kecil hati. Dengan sumber daya yang sangat terbatas, beliau dengan senang hati mengajar enam kelas sekaligus setiap hari.

Kekaguman saya akan Acil tak berhenti sampai di sana. Beliau mulai menunjukkan satu per satu kelas yang diajarnya. Kami masuk ke bangunan yang sudah agak tua. Gedung sekolah ini dibangun dari swadaya masyarakat. Karena sudah dibangun sejak lama, catnya pun sudah mulai usang dan temboknya terlihat agak rapuh. Ketika masuk ke dalam kelas-kelas itu, saya tidak pernah berhenti mengekspresikan kekaguman pada beliau.

Karena keterbatasan ruang, kelas 1 dan kelas 2 digabung. Di dalam ruangan itu, Acil membuat gambar-gambar dengan huruf alfabet kemudian ditempel di satu sisi ruang kelas. “Saya buat sendiri gambarnya. Biar gambarnya kurang bagus, yang penting anak-anak bisa tahu huruf dan bendanya,” ujar Acil.

Di kelas III, ada ‘Sudut Baca’ di pojok ruangan. Buku-buku disusun pada sebuah meja kecil. Meskipun buku-buku sudah tua, bahkan beberapa ada yang amat tua, anak-anak tetap bisa menambah pengetahuannya dengan membaca. “Jujur, kelas 1, 2, dan 3 saya masih fokus agar mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung dengan benar. Saya belum masuk ke kurikulum. Di kelas 4, baru saya mulai sesuai panduan silabus,” Acil menambahkan. Saya bertepuk tangan dalam hati. Saya mulai sering merinding melihat apa yang sudah Acil lakukan.

Apa yang ada di kelas IV membuat saya sangat tertegun. Beliau membuat ‘Pojok Kreativitas Anak’ yang berisi dokumentasi kegiatan anak-anak. Acil menambahkan muatan lokal ‘Laut dan Terumbu Karang’ di SD ini. Luar biasa. Acil berujar, “Ini sesuai dengan kondisi desa. Desa dekat dengan pantai yang punya terumbu karang. Anak-anak harus tahu bagaimana melestarikan terumbu karang.” Saya tak bisa berkata-kata sejenak. Tak berhenti saya melihat dokumentasi foto itu satu per satu. Bagaimana anak-anak itu dengan ceria menanam, mempelajari, dan menjaga terumbu karang di desa mereka.

Dari tiga ruangan yang saya lihat, tidak ada satu sisi kelas pun yang kosong tanpa ornamen. Ada tulisan pantun, puisi, foto-foto pahlawan, karya-karya anak, gambar-gambar, dan apa pun yang bisa menambah atmosfer pembelajaran.

Belum lagi saya berhenti kagum, Acil menunjukkan kembali karyanya di kelas V dan VI. Beliau membawa saya ke gedung baru hasil bantuan pemerintah. Gedung kecil ini hanya berisi dua kelas. Kondisinya jauh lebih baik dari gedung sebelumnya. Sudah memakai beton dan lantai keramik sehingga terlihat kokoh dan bersih.

Di dalam kelas V, beliau membuat dua puluh poin peraturan kelas. Salah satunya tertulis, “Dilarang memakai bahasa daerah di kelas.” Jika ada anak yang melanggar, maka anak itu harus mengerjakan dua puluh soal yang dia pilih sendiri mata pelajarannya. Hal yang luar biasa mengingat guru di sini, lebih senang memukul anak jika mereka melanggar peraturan.

Ada juga jam mandiri. Anak-anak dilatih untuk inisiatif belajar sendiri jika Acil sedang mengajar kelas yang lain. Anak-anak juga dilatih untuk jujur ketika masuk kelas dan memutar sendiri jam masuknya pada minatur jam yang dibuat dari CD bekas. Ada lagi kartu absensi kelas untuk kehadiran setiap hari di kelas. Jika masuk ke sekolah, dia memutar kartu itu menjadi ‘Hadir’. Jika tidak, dibiarkan tetap ‘Alpa’.

Belum lagi portofolio anak-anak yang dipajang di sudut kelas. Dengan map plastik, setiap anak memasukkan karya-karyanya ke map itu. Gambar, puisi, kerajinan tangan, apa saja. Dokumentasi praktikum di luar kelas juga diletakkan bersisian dengan portofolio. Ada foto praktikum cahaya yang kembali membuat saya tak bisa berkata-kata.

Puas berkeliling sekolah, kami beranjak keluar kelas. Terlihat anak-anak duduk di bawah pohon dengan setia menunggu Acil. Saya mengajak Acil untuk minum teh bersama sambil mengobrol lebih lanjut di rumah kepala desa. Jawaban Beliau amat tidak saya duga. “Maaf Pak, saya hanya bisa temani sampai sini saja. Saya harus melatih anak-anak upacara lagi.”
I was totally speechless.

Asri Ishak adalah potret guru teladan di negara yang masih kekurangan figur untuk diteladani. Anak-anak Desa Wayatim sangat beruntung memiliki contoh teladan itu pada guru mereka. Seorang yang amat mencintai pekerjaan dan anak-anak didiknya. Berdedikasi luar biasa dengan kondisi yang sulit. Mau mengabdikan diri untuk mimpi murid-muridnya. Tidak banyak, sama sekali tidak banyak guru seperti beliau ini.

Hari itu, saya belajar banyak pada diri Asri Ishak. Saya merasa malu karena kadang masih mengeluh dengan keterbatasan yang tidak seberapa dibanding apa yang beliau hadapi. Meskipun pertemuan dengan beliau teramat singkat, hanya 2 jam, efeknya luar biasa untuk dua bulan terakhir saya di desa.
Melihat beliau, saya merasa belum melakukan banyak hal. Masih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mengeluh tak akan menyelesaikan masalah, menunda akan memperlambat produktifitas.

Acil mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan sebaik para Pengajar Muda. Namun, kegigihan dan kemampuannya tak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan dia layak ditempatkan di tempat yang lebih terhormat. Mengajar enam kelas sendirian dan menjalankan pembelajaran kreatif di setiap kelasnya. Sebuah pekerjaan teramat sulit tapi dengan ketulusan hati, tak akan pernah menjadi berat. Baginya mengajar bukanlah semata-mata pekerjaan, Acil butuh untuk terus mengajar murid-muridnya.

Kehadiran Pengajar Muda di Desa Wayatim bulan November nanti pasti akan berefek besar pada perkembangan anak-anak di sana. Apalagi, dia bisa mendapatkan partner hebat pada diri Acil. Dengan duet mereka ditambah kondisi desa yang kondusif serta kepedulian masyarakat yang tinggi pada pendidikan, saya amat yakin, anak-anak di sana akan mendapatkan pembelajaran dan pengalaman luar biasa.