Lebaran di Tepian

by Bayu Adi Persada

31 Agustus – 1 September 2011

Berbeda bisa jadi menyenangkan. Memang tidak pasti, namun yang jelas menjadi berbeda akan memberikan pengalaman baru. Terkadang, kesempatan menjadi berbeda itu tak datang dua kali. Jadi, ketika ada kesempatan untuk berbeda, manfaatkanlah sebaik mungkin. Siapa tahu apa yang didapatkan akan menjadi cerita abadi, atau bahkan kebanggaan seumur hidup.

Berbeda kali ini buat saya adalah bagaimana merayakan Lebaran. Berkeliling desa dengan anak-anak untuk bertakbir mengagungkan nama Allah, bersilaturahmi hingga badan tak mampu lagi, sampai menari cakalele di hadapan Bupati. Semuanya menjadi pengalaman baru nan berbeda, mengejutkan tapi tetap tak mengurangi nilai, sederhana namun masih memberi arti.

Setelah mengetahui keputusan Idul Fitri jatuh di hari Rabu tanggal 31 Agustus, saya tak banyak ‘mempersiapkan’ hari terakhir puasa. Bangun sedikit telat, sahur hanya dengan air putih dan sereal instan, tidur sampai waktu Dhuha, kemudian menghabiskan waktu dengan menonton serial di kala siang dan sore hari.

Sudah dua hari belakangan listrik mati total. Saya pikir, malam takbiran ini tidak akan meriah. Ternyata, perkiraan saya salah. Beberapa pemuda desa sudah siap dengan beberapa motor. Mereka pun sudah menyiapkan obor untuk dibawa anak-anak berkeliling kampung. Saya tentu tak mau ketinggalan berpartisipasi.

Ada ide untuk memanfaatkan fasilitas mobil kecamatan yang ada di desa. Karena tak ada pemuda yang berani mengendarai mobil dengan jalur trek yang kurang bersahabat, saya percaya diri saja untuk mencoba mengendarainya. Awalnya memang agak ragu, namun seiring mobil berjalan, jadi lebih terbiasa.

Mobil yang ada memiliki bak terbuka. Otomatis, di bagian belakang penuh terisi dengan pemuda dan anak-anak. Sedang rombongan lain mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki. Kaki pegal juga karena mesti sering menahan kopling untuk mengatur laju kendaraan. Kami berkeliling desa dua kali hingga malam larut. Meriah sekali meskipun dengan cara apa adanya. Lantunan Asma Allah terus berkumandang ke seluruh penjuru desa hingga esok tiba.

Hujan deras pagi itu tak menutup semangat  warga untuk pergi ke masjid menunaikan sunah nabi, Shalat Ied berjamaah. Ramai sekali karena banyak juga warga yang merantau ke luar desa kembali pulang ke kampung halaman. Masjid sampai penuh sesak dan harus didirikan tenda tambahan untuk jamaah anak-anak. Di tengah rundungan hujan, pelaksanaan shalat Ied berlangsung khidmat sampai khatib menuntaskan ceramahnya.

Setelah acara, ada silaturahmi warga desa di masjid. Suasana yang luar biasa. Semua warga bersalaman dan berpelukan satu sama lain. Saya menyalami hampir semua orang di sana. Beberapa warga memeluk saya erat. Alhamdulillah, ini rasanya memiliki keluarga baru. Sepuluh bulan yang lalu kami tak kenal satu sama lain, sekarang kami adalah saudara dan keluarga.

Di rumah, saya dan keluarga Pak Amir mengabadikan diri dalam jepretan foto sebagai kesatuan yang serasi. Dengan mengenakan batik yang sama pemberian Ibunda, kami memandang lurus ke arah kamera.

Beberapa anak murid saya juga datang bergiliran untuk bersilaturahmi. Mereka sangat bersemangat walau hujan masih turun. Banyak dari mereka mengenakan baju barunya. Ternyata budaya memakai baju baru pada hari Lebaran sudah menjadi kultur nasional ya. Saya menyediakan setoples kue keju. Lucunya, sebagian mereka kurang doyan dengan kue keju. Tak terbiasa mungkin, keju adalah bahan langka di sini.

Menjelang siang, hujan mulai reda. Saya memutuskan keluar rumah untuk berkeliling rumah-rumah rekan guru, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Terlebih dahulu menghampiri Adhi, kami berjalan ke rumah Pak Mantri.

Sesampainya di sana, kami disambut beliau dengan ramah dan langsung dipersilakan makan. Luar biasa banyak makanannya! Apalagi masakan Bu Mantri terkenal sekali dengan citarasanya. Ada ayam, ikan bakar, dan ikan bumbu pedas. Kami tentu tak ragu untuk menyantap.

Dari Pak Mantri, kami berpindah ke rumah Pak Imam yang jaraknya hanya 20 meter. Silaturahmi sebentar, kami beranjak ke rumah Om Pao. Beliau ini pengusaha sukses di desa. Selain sebagai motoris (pemiliki kapal angkutan), beliau juga pengusaha kopra. Rumahnya bisa dibilang termasuk yang paling rapi dan terkesan ‘mewah’ untuk ukuran desa.
Meskipun tersedia banyak makanan, saya hanya mencicip beberapa saja. Maklum, saya sudah dua kali makan berat hari itu.

Dari sana, kami berjalan lagi ke barat untuk mengunjungi Tete Haji. Beliau ini tetua di desa. Sangat dihormati dan didengar. Juga kakak tertua Bupati Halsel dan Wagub Malut. Namun sayang kami belum sempat bertemu di hari besar itu. Padahal biasanya sering sekali bertemu dan bertegur sapa di masjid. Beliau sedang mengunjungi Bupati mengenai rencana kedatangannya esok hari.

Rumah Pak Malik menjadi tujuan selanjutnya. Saya selalu bisa mengobrol banyak dengan beliau. Selain pemikirannya terbuka, beliau juga senang membicarakan permasalahan desa. Tak cukup itu, beliau memaksa saya dan Adhi untuk makan lagi. Ini yang ketiga dalam jangka waktu 4 jam.

Setelah mengisi perut untuk kesekian kali, kami shalat Zuhur di masjid raya. Agenda kunjungan kami masih banyak. Selanjutnya kami mengunjungi Pak Atmar, kepala sekolah SMA, dan Ustadz Rusdi, guru di Pesantren. Belum juga nasi sedari pagi diolah di lambung, kami disuguhkan lagi daging rusa oleh Ustadz. Katanya, ada warga yang brehasil menangkap rusa di hutan kemudian dagingnya dijual murah, 1 kilo 10 ribu!

Sebenarnya, kami masih harus mengunjungi kepala desa dan Pak Arsyad. Namun apa daya perut tak bisa dikompromi, kepala juga tak bisa dibohongi. Kolesterol sedari pagi sudah mencapai kepala. Pusing sekali rasanya. Lagipula badan sudah terasa amat lelah berkeliling desa dari ujung ke ujung. Di setiap perhentian pasti disuguhi makanan yang tak sedikit. Perut terasa penuh sekali.
Akhirnya, kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing dulu.

Pada malam hari, agenda dilanjutkan dengan menemui Pak Sekretaris Camat dan Ustadz Nur Ali, hafidz Qur’an. Ustadz bercerita banyak hal dengan kami. Tentang bagaimana dia masih sulit beradaptasi dengan lingkungan di sini. Banyak keluhan yang beliau utarakan. Kami juga tak bisa memberi solusi pasti. Paling hanya sekedar pandangan karena sudah terlebih dahulu merasakan atmosfer sosial kemasyarakatan di desa.

Saat kami mengunjungi rumah kepala desa, beliau terihat sibuk menerima tamu sedang Pak Arsyad sedang tak ada di rumah. Akhirnya, kunjungan ke rumah Ustadz menutup agenda kami hari itu. Badan jelas teramat lelah, namun harga sebuah silaturahmi tak akan terbayar dengan apa pun. Tidak hanya lapar perut, tapi dahaga hati juga bisa terpuaskan.

Keesokan harinya Bupati akan mengunjungi desa kelahirannya, Bibinoi. Proses penyambutannya sangat meriah. Para undangan berdatangan dari desa-desa tetangga. Penuh sekali di depan kediaman Bupati dari pagi. Ketika kapal besar sudah bersandar, anak-anak sudah siap dengan seragam dan pedangnya. Mereka akan menari cakalele.

Acara berlangsung seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Namun sempat ada insiden Ibu Bupati pingsan di tengah acara. Sepertinya karena kelelahan. Selain itu, pelaksanaan acara bisa dibilang lancar meskipun dengan seadanya. Persiapan pelaksanaan acara memang tak sampai satu hari karena pemberitahuan mendadak. Tipikal birokrasi.

Bagaimanapun juga acara ini tak akan terlupakan seumur hidup. Saat acara bebas, warga menari cakalele di depan Bupati. Bupati pun tak mau ketinggalan berpartisipasi di lapangan. Beberapa warga ternyata sudah mengincar saya. Mereka mencari saya lalu memberikan pedang dan tamengnya. Siapa pun yang mendapat, wajib turun untuk bergantian menari.

Mau tak mau, saya langsung turun ke lapangan dan menari cakalele! Pertama kali seumur hidup. Tak pernah sekalipun berlatih, hanya melihat dari peserta lain saja. Penonton pun kaget luar biasa. Saya yang biasanya tak pernah berpartisipasi, namun kali itu dengan percaya diri dan tanpa persiapan, turun langsung ke lapangan.

Alhamdulillah, sambutan pun meriah. Respon positif berdatangan setelah selesai menari. Bupati ikut kaget dan tertawa, kemudian menyalami saya di akhir. Pak Anwar, seorang penari cakalele senior, berkata, “Pak Bayu lebih bagus dari orang Bibinoi.” Ah, pujian yang membawa haru.