Saya dan Segepok Uang

by Bayu Adi Persada

Saya bergegas pergi ke ATM untuk membayar tiket perjalanan yang sudah dipesan lewat internet. Limit waktu pembayaran hanya satu jam, lewat dari itu, pemesanan dibatalkan. Saya enggan kehilangan peluang mendapatkan tiket pesawat harga promo untuk kesekian kali sore itu.

Di ATM BCA cabang Ratu Plaza, saya hendak melakukan pembayaran. Karena baru pertama kali bertransaksi tiket lewat ATM, agak canggung juga. Menu yang dimaksud tidak ditemukan. Maklum, saya bukan naik maskapai Garuda yang punya pilihan langsung di mesin ATM. Setelah menghabiskan waktu lebih dari 10 menit (jelas bukan waktu yang wajar di depan mesin ATM), saya putus asa dan memutuskan kembali ke restoran. Di restoran, masih ada teman-teman yang menunggu.

Saya minta bantuan Nisa untuk menemani. Menurutnya, memang tidak ada menu khusus namun kita harus tahu kode perusahaan yang dituju. Daripada kembali linglung, saya ajak saja Nisa ke mesin ATM itu. Saya mengecek resi pemesanan di handphone, memeriksa kembali nomor perusahaan yang diminta. Memang tidak tercantum di sana. Nisa berinisitiaf, “Telpon langsung maskapai-nya aja, Bay.” “Oke-lah, pake HP lo ya. HP gw error nih,” timpal saya dengan senyum tak jelas.

Setelah mendapatkan kode perusahaan, saya langsung melakukan transaksi. DONE! Tiket sudah terbeli, tinggal susun rencana. Mimpi berangkat ke Banda Aceh tinggal selangkah lagi tercapai.

Di ruangan ATM tersebut, ada 4 mesin. Satu untuk setor tunai, satu untuk transaksi non tunai, dan sisanya untuk penarikan tunai. Karena mesin untuk setor tunai tersebut tidak bisa digunakan (ada tulisan ‘MESIN INI OFFLINE’ di layarnya), saya menggunakan mesin tersebut sebagai alas tablet untuk mengecek e-ticket di email.

Saya meletakkan tablet hingga menggoyangkan mesin ATM tersebut. Sepertinya agak keras dan bernafsu. Mungkin saking antusiasnya mendapat kepastian tiket.

Betapa kagetnya saya tiba-tiba mesin itu berbunyi. Penutup tempat memasukkan uang terbuka. Saya panik bukan main. Ada banyak uang di sana. Semuanya berwarna merah, dan sepertinya ada puluhan!

Respon pertama saya adalah mengambil segepok uang itu dan memasukkannya ke kantong jaket. Saya tak mau orang tahu. Bukan untuk alasan negatif. Saya tentu enggan diduga berbuat yang tidak-tidak.
Kemudian, kartu ATM-nya juga keluar. Wah!

Setelah mengambil uang dan kartu ATM itu, saya lekas keluar ruangan. Kemudian memanggil Nisa dan bilang, “Nis, gw nemu kartu ATM di dalem nih. Terus gimana ya?” Nisa menyarankan berikan saja ke satpam kantornya.

Saya belum memberitahunya soal segepok lembaran uang merah yang ada di kantong jaket saya. Pergulatan moral terjadi dalam batin saat itu. Saya tidak menampiknya. Saya bukan orang munafik. Siapa yang tidak tergiur dengan uang sebanyak itu. Kalaupun saya ambil, tak ada seorang manusia pun yang tahu.
Tapi saya tak pernah lupa ada zat yang selalu mengawasi.

Akhirnya, saya beritahu Nisa soal uang itu. Saya belum sempat menghitungnya. Yang jelas, pasti jumlahnya banyak. Ketika diraba saja, mungkin lebih dari 20 lembar.
Saya mengeluarkan lembaran uang itu dan menghitungnya. Ada 42 lembar! Berarti 4,2 juta rupiah. Kalau saya mau, bisa jadi ongkos berangkat ke London. Atau bisa bagi berdua dengan Nisa kalau dia mau.
Hati kecil saya bertanya, “Apa iya kamu serendah itu, Bayu?”
Saya menjawab yakin, “Tidak!”

Kami berinisiatif memberikan ini ke pihak yang berwenang. Kebetulan ada kantor cabang di sebelahnya tapi sudah tutup. Memang ada satpam dan beberapa customer service yang masih di dalam. Namun, kami tak mau menyerahkan ke mereka. Saya pikir alangkah bijak jika uang ini diserahkan ke kepala cabang terkait atau pimpinan bank di sana.

Akhirnya, kami bertemu dengan kepala cabang BCA Ratu Plaza setelah memaksa satpam. Namanya Bu Desyana. Kami mempercayakan uang dan ATM tersebut kepadanya. Mudah-mudahan amanah ini benar dijaga dan diberikan kepada yang berhak.

Saya pernah kehilangan uang yang cukup besar dan rasanya sakit. Hasil jerih payah lalu hilang sekejap saja. Saya hanya ingin orang itu tidak mengalami kesialan yang sama. Bukan sok suci. Mungkin ini yang namanya empati.

Seorang bijak pernah berkata, “There is no gray area about integrity. Either you have it or you don’t.” Saya percaya itu. Karena sekali kita melewati batas integritas itu, maka tak ada jalan kembali. Seumur hidup kita dicap sebagai orang yang pernah berbuat  semena-mena. Yang lebih bahaya, saya takut kompromi akan menjangkiti diri untuk hal-hal rendah nan menjatuhkan.

Godaan untuk mengambil uang tersebut luar biasa. Bagaimanapun juga saya lebih percaya bahwa uang itu adalah ujian untuk saya. Seperti Tuhan benar-benar menempatkan saya di waktu dan tempat yang pas dan ingin melihat bagaimana saya bersikap.

Saya harap saya lulus ujian itu.

Advertisement