Saya dan Kehidupan Urban

by Bayu Adi Persada

Kehidupan urban tidak akan sudi melunak pada setiap insan yang bergeliat dalam lingkaran asap dan kebisingan. Jika kau bertahan, kau akan berjaya dalam label kemapanan. Namun, jika kau melemah, badai tak akan sungkan menerjang sampai kau terpayah-payah.

Sayangnya, setelah setahun menikmati kehidupan yang telah memenuhi ruang-ruang ragawi dalam diri, saya mesti kembali ke kehidupan itu lagi. Kehidupan yang mengikat saya dengan rutinitas dalam intensitas tanpa batas. Bukan saya tak mau. Saya sadar, cepat atau lambat, mau tidak mau, pasti saya mesti berenang kembali di arus deras itu. Meskipun begitu, saya tetap butuh waktu.

Pimpinan meminta saya untuk ikut meeting di kantor pusat di Gatot Subroto siang itu. Meeting direncanakan jam 2 siang sedang jam pulang terjadwal jam 17.30 sore. Karena kantor saya di Pondok Indah, saya pikir saya tak akan kembali ke kantor lagi. Langsung pulang saja setelah meeting selesai. Kebetulan, saya membawa kendaraan hari itu.

Ketika beranjak keluar dari ruangan, sang pimpinan ini mengajak saya ikut di mobilnya. “Nanti kamu diantar kembali ke sini setelah meeting,” ujarnya. Saya mengangguk saja. Katanya, meeting hanya berlangsung sampai jam 5. Saya pikir, “Pas deh. Nanti dianter ke Pondok Indah lagi, sampai jam 6 lebih.”

Ternyata, topik pembicaraan meeting itu semakin meluas. Banyak hal yang tadinya tidak masuk agenda, tetap dibicarakan. Dalam ruangan, ada satu pimpinan perusahaan berkebangsaan India yang sepertinya terlalu cerdas. Banyak sekali yang ada di otaknya saat itu. Dia tak peduli sudah berapa jam kita berdiskusi, dia tetap ingin bicara.

Alhasil, meeting selesai di pukul 6 sore. Saat ingin pulang, pimpinan menyela, “Bayu, mobil yang mengantar kamu sudah berangkat karena meeting kita baru selesai. Kamu naik taksi saja ya, nanti kantor yang bayar.” “Baik, Pak,” balas saya pasrah. Memang sudah menduga dari awal akan naik kendaraan umum.

Saya buru-buru ke jalan raya untuk memberhentikan taksi. Taksi yang diperbolehkan hanya ‘burung biru’. Selain itu, tak akan diganti ongkosnya.
Anehnya, tak ada satupun taksi biru itu yang mau berhenti. Saya jadi heran. Saya pikir karena jalanan hari itu macet sekali. Hari itu kebetulan hari macet sedunia, Senin. Anyway, macet sekali itu biasa, tapi kali itu seperti tak bergerak. Mereka jadi enggan mengambil penumpang. Entah, mungkin ini asumsi saja.

Karena sudah lama menunggu dengan berteman asap dan debu tapi tak kunjung dapat juga, saya berpikir cepat dan memutuskan naik busway. Inilah awal dari kepenatan tingkat tinggi untuk saya hari itu. Antrian sudah dimulai dari 10 meter sebelum loket pembayaran. Mau bagaimana lagi, saya tetap harus ada di antrian.

Teman baik saya sekarat saat itu. Baterei iPhone sudah beralih warna merah. Tinggal menghitung waktu sebelum lambang apel tergigit mengucap salam. Kaki mulai kesemutan. Keringat terasa membasahi kemeja. Tanpa masker, yang saya hirup hanya asap dan karbon dioksida dengan sedikit oksigen.

Saya berencana mengambil trayek Pinang Ranti-Grogol lalu dilanjut Grogol-Pondok Indah. Saya memang kurang tahu trayek angkutan umum Jakarta. Biarpun memang memutar dan jauh, setidaknya rutenya pasti.

Sampai di Grogol, saya langsung bergegas pindah halte ke arah Pondok Indah. Pasrah. Ternyata antriannya lebih parah dari yang pertama. Panjang antriannya dua kali lipat. Padahal jumlah armada bisnya sedikit. Setiap bis yang masuk ke halte itu, selalu sudah terisi penuh. Alamat menunggu selamanya.

Satu menit, lima menit, lima belas menit. Saya tak sanggup lagi menunggu dan memutuskan naik taksi saja ke Pondok Indah. Kemudian turun dari halte melihat sekilas kondisi jalan. Benar-benar chaos dan tak mungkin naik taksi kecuali membayar lebih dari 150ribu. Not a choice.

Akhirnya saya pilih ojek. Setelah tawar menawar, abang ojek memberi saya harga 40ribu untuk sampai Pondok Indah dari Grogol. Harga yang fair, saya pikir.
Beruntung sekali naik ojek ini. Abang ojek tahu jalan-jalan tikus dan dia gesit sekali menerjang deretan mobil dalam kemacetan tak berujung.

Kemudian di salah satu jalan tikus. Jalanan relatif ramai. Ojek terpaksa berhenti karena lampu merah. Di trotoar jalan, ada seorang tua bersama anaknya. Sang ayah buta. Dengan tongkat diberdirikan, dia duduk memangku anaknya.

Anaknya manja sekali menikmati hangat pelukan ayahnya. Kemudian tak lama, telunjuk si anak mengarah ke langit. Dia berkata, ‘Ayah, lihat ada bintang di atas.’ Ayahnya membalas yakin, ‘Bukan bintang, itu bulan namanya.’ Kemudian mereka tersenyum. Sang ayah tahu di langit Jakarta pasti tak akan ada bintang.

Di tengah suara bajaj dan asap motor, mereka menemukan nirwana-nya sendiri.  Seperti dunia ini hanya milik mereka. Kehangatan keluarga yang mungkin tak dimiliki sebagian orang yang berkutat dengan kemacetan malam itu.

Dalam hati, saya terisak sendu. Kejadian yang amat romantis dan menyejukkan hati.
Saya mungkin lelah tiada terkira. Tapi masih banyak orang-orang lain yang lebih lelah dan tak beruntung dari saya tapi masih mampu menikmati saat-saat sulit itu.

Buat mereka, kebersamaan di trotoar setiap malam adalah rutinitas. Sebuah rutinitas yang tentu bertingkat-tingkat lebih menyenangkan dibanding ribuan orang di jalan malam itu. Bagaimana membuat rutinitas itu menyenangkan? Ya, senangilah rutinitas seperti seorang anak seorang buta  yang selalu bisa menikmati kesederhanaan beralas trotoar dan berbalut pelukan.

Dalam tutupan sarung tangan, saya tersenyum akan sentilan kecil Tuhan malam itu. Saya dan abang ojek pun berlalu.