Saya dan Kebetulan-Kebetulan Kecil

Jum’at siang itu saya memutuskan pergi ke Masjid Agung Pondok Indah untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at. Tidak biasanya karena memang setiap minggu, saya pergi ke masjid terdekat dari kantor. Selain banyak makanan, khutbahnya juga cepat. 🙂

Ajakan tiga orang rekan wanita yang doyan belanja membuat saya tidak berdaya. Mereka ingin pergi ke Mal Pondok Indah. Saya hendak menemani karena letak masjid yang tak jauh dari mal-mal besar itu.

Sudah melewati waktu shalat Dzuhur saat saya turun dari bis di depan masjid. Khotib sudah naik mimbar. Jamaah pun telah memenuhi semua ruangan, lorong, dan teras sekitar mesjid. Selepas berwudhu, saya nyempil di pelataran samping masjid.

Ketika sedang mendengarkan khutbah, saya melihat Dani, kapten tim bola saya waktu kuliah dulu, sedang mencari tempat shalat. Daripada dia tak dapat tempat shalat, saya bergeser sedikit biar ruang sekecil itu muat dua orang.

Setelah shalat Jum’at selesai, kami mencari makanan di pasar kaget depan masjid.
Dari pembicaraan kami, dia mengajak saya untuk ikut main bola malam nanti di Lebak Bulus. Awalnya saya tentu ragu karena memang tak ada persiapan sama sekali. Jangankan sepatu bola, kaos pun tak bawa. Masa main bola pakai batik. Perangkat wajib saya, softlens, pun masih di rumah.

Dani meyakinkan saya untuk ikut. “Gw siapin semua deh alat-alatnya, Bay. Tinggal dateng aja lo.” Because he said so, godaan untuk kembali mencicipi hijaunya rumput lapangan tak bisa ditepis.
Saya pikir kapan lagi bisa main di lapangan besar, dengan lampu, dan di Lebak Bulus yang cukup terkenal untuk pertandingan skala nasional.

Pulang kantor, saya langsung menuju lapangan sepakbola Lebak Bulus itu. Hanya lima menit dari kantor. Bertemu Dani di sana, kemudian bersiap-siap masuk lapangan hijau. Perasaan yang canggung saat pertama kali masuk lapangan ini.
Serius, itu kali pertama saya menginjakkan kaki di stadion sebesar itu.

Saya bermain bersama alumni-alumni ITB berbagai angkatan yang memang rutin setiap Jum’at berkumpul di Lebak Bulus. Lawannya bisa siapa saja.

Saya sabar menunggu di bangku cadangan. Menunggu giliran main. Memang awalnya saya tak yakin dapat kesempatan main karena anak baru dan tak punya persiapan sama sekali. Penampilan pun tak meyakinkan. Kacamata pun masih dipakai.

Ketika mengamati pertandingan, saya mendapati wajah-wajah familiar di tim lawan. Ada pembawa acara bola ANTV yang lebay itu, yang suka ngomong “Mitra sepakbola, inilah pertandingan super big match paling akbar di Liga Super Indonesia.” Lalu ada Riko Ceper, Gusti Randa, dan … Aji Santoso! Ya, pelatih tim nasional Indonesia.

Dan… akhirnya saya diberi kesempatan. Setelah meminjam kaos penuh keringat dari pemain sebelumnya, saya masuk ke lapangan. Wah, asyik luar biasa! Hahaha, I was playing in big stadium, guys! Biarpun tak ada satu pun orang di bangku penonton, tetap saja merasa keren. Merasa benar-benar jadi pemain bola.

Sempat dua kali melepaskan tendangan ke gawang. Dua-duanya tipis di samping mistar gawang. Yes, saya bangga. Tak ada salahnya kan. Biarpun satu tak dianggap karena offside.
Kemudian, saya bisa merebut bola dari Aji Santoso! Dia terpeleset saat berebut bola dengan saya. Mungkin dia grogi kali ya.

Overall, permainan bola kali itu benar-benar menyenangkan. Biarpun cuma lima belas menit, semua pengalamannya dapat. Bermain dengan pemain hebat, merasakan lapangan bola sebenarnya, dan merebut bola dari pelatih timnas. Hihihi.

Saat pertandingan berakhir, Dani mengajak saya untuk rutin setiap Jum’at latihan bersama mereka. “Oke Dan, gw pasti sempetin dateng setiap Jum’at!” ujar saya yakin.

—-

Beberapa waktu lalu, saya mendapat telepon untuk klarifikasi penolakan kerja dari salah satu NGO terkemuka setelah sebulan tidak ada kabar. Tidak sakit hati sama sekali, toh saya juga sudah bergabung di perusahaan lain.

Awalnya memang saya berharap sekali bisa diterima. Programnya bagus, tujuan organisasinya jelas, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya juga sepertinya orang-orang hebat. Kalau memang dulu diterima di sana, saya akan sangat bersyukur sekali.

Saya bersaing dengan tiga orang teman lain untuk bergabung di sana. Kompetisinya sangat ketat. Melihat kemampuan teman-teman lain, saya pikir memang harus menyiapkan mental kalau nanti tidak diterima. Ternyata benar, tidak diterima.

Kemudian di suatu acara, saya bertemu dengan teman yang akhirnya diterima di NGO ini. Saya belum sempat mengucapkan selamat secara langsung. Akhirnya, ketika pertama kali bertegur sapa, ucapan selamat-lah yang keluar untuknya.

Akan tetapi, dia seperti kurang sreg dengan ucapan selamat saya itu. Seperti ada beban yang dia bawa. Raut muka cerahnya menipis. Tak lama dia pun bercerita, “Kerjaan gw banyak banget Bay. Gw bahkan bawa kerjaan di rumah. Udah gitu, daerah sana kan macet banget.”

Saya pun mencoba membesarkan hatinya dengan memberikan pandangan bahwa semuanya memang harus dinikmati. Dia tak langsung menerima saran saya. Ya, mungkin memang masalah adaptasi, pikir saya kala itu.

Saya berbagi cerita tentang pekerjaan saya sekarang. “Alhamdulillah, pekerjaan gw sekarang menantang dan insya Allah membesarkan,” kata saya padanya. Raut mukanya pun semakin mengecut saat kami saling berbagi informasi menyangkut kompensasi.

“Sebenarnya, bos gw seneng banget sama lo Bay. Kenapa ga lo aja sih yang di-hire di sana? Gw pengen kerjaan kayak lo Bay,” balasnya. Pernyataan yang membuat saya berpikir sejenak lalu tersenyum dalam hati.

Pembaca yang budiman, semoga Anda mendapati manfaat dari dua cerita singkat saya di atas. Tentang bagaimana kebetulan-kebetulan kecil itu sesungguhnya bukanlah seraya hanya kebetulan. Itu semua sudah digariskan oleh Ilahi yang Maha Tahu segala sesuatunya di dunia.

Andai saja saya lebih memilih shalat Jum’at di dekat kantor, saya tak mungkin bisa bermain satu lapangan dengan Aji Santoso dan merebut bola darinya. Tak mungkin juga dalam setiap minggu, ada yang ditunggu, main bola di Lebak Bulus.

Andai saja saya menyesal berlebihan karena tidak diterima di NGO tersebut, saya pasti akan menyia-nyiakan kesempatan lain yang Tuhan berikan. Andai saja saya yang diterima, saya akan dihadapkan pada rutinitas dan kesibukan luar biasa hingga sulit menemukan hidup lain di luar pekerjaan.

Saya bersyukur semua ‘andai’ itu tak pernah terjadi. Bisa merasakan kenyamanan pekerjaan yang sekarang dan terus merasa tertantang kemudian tetap punya waktu untuk menulis, berkreativitas, dan bekerja sosial membuat saya benar-benar tahu apa arti kenikmatan yang Tuhan titipkan. Last but not least, bermain bola ‘sebenar-benarnya bermain bola’.

Best regards everyone! 🙂