Kelas Berbagi

by Bayu Adi Persada

Dalam tiga bulan terakhir, saya banyak kehilangan interaksi dengan masyarakat, apalagi mereka yang kondisi sosial ekonominya di bawah. Sejak pulang dari Halmahera, November tahun lalu, saya praktis tak pernah lagi merasakan kenikmatan menjangkau mereka yang membutuhkan  untuk memperbaiki kualitas hidup. Meski semangatnya tak pernah hilang, rutinitas orang kota kembali menyelimuti diri dengan paparan aktifitas yang intens.

Penantian akan interaksi berharga itu terbayar hari Minggu, 19 Maret, lalu. Undangan untuk mengisi kelas motivasi bagi anak jalanan di sekitar Terminal Depok muncul di milis Indonesia Mengajar. Secara impulsif, terdesak akan keinginan besar itu, saya memberanikan untuk mengajukan diri. .

Terminal Depok siang itu tak terasa begitu panas. Saya turun dari mobil panitia kemudian disambut oleh beberapa orang yang mengurusi acara tersebut. Acara ini ternyata merupakan agenda CSR dari sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Mereka mengundang perwakilan dari Indonesia Mengajar untuk memberikan motivasi bagi anak-anak jalanan di sekolah MASTER, sekolah informal bagi mereka yang hidup di sekitar terminal Depok.

Sekolahnya sederhana. Bangunan intinya dibentuk dari kontainer-kontainer yang disusun menjadi gedung. Sekolah ini hasil kerja keras dari seorang mulia yang prihatin akan kehidupan keras anak-anak dan pemuda di sekitar terminal. Rochim, seorang pengusaha warteg, membuatkan sekolah sederhana bagi setiap anak-anak di sekitar terminal yang ingin sekolah. Tak ada biaya, pendaftaran, atau birokrasi apa pun. Kalau mau belajar, tinggal datang ke kelas dan dengarkan guru mengajar. Guru-nya pun bisa siapa saja. Mahasiswa, guru SD terdekat, atau orang-orang di sekitar sana yang mau memberikan waktunya bagi anak-anak jalanan tersebut.

Sampai di ruangan, saya sebenarnya cukup kaget dengan anak-anak yang akan saya hadapi. Memang dari awal mental sudah dipersiapkan. Akan tetapi, tetap saja kalau bertemu dengan anak-anak ‘metal’ dan urakan dengan gaya rambut macam-macam plus tindikan di sekujur membuat diri sedikit bergidik. Memang hanya beberapa saja. Ini kali pertama saya berbicara dengan anak-anak model begitu. First experience is always challenging.

Ketakutan saya sedikit terbukti ketika saya mulai memberikan materi, salah seorang peserta langsung tertidur. Sepertinya anak ini memang ‘pemimpin’ kelompok di sini. Saya pikir, kalau anak ini saya biarkan tidur, maka saya tak punya wibawa lagi di hadapan mereka semua. Akhirnya, saya meminta teman sebelahnya untuk membangunkan anak itu. Sebuah tindakan yang agak beresiko sepertinya.

Saya bilang kepadanya dengan nada tegas tapi tetap santai, “Kalau mau dihargai, harus menghargai orang lain dulu.”
Dia terbangun sambil tersenyum malu. Teman-temannya menertawakan dia. Dari situ, saya mendapatkan atensi penuh dari Yudis, nama anak itu, dan tentunya juga teman-teman lain. Ketika kita bisa memegang atensi pemimpin suatu kelompok, maka bisa dipastikan kita pasti juga mendapatkan atensi sisanya. Prinsip sederhana.

Judul kelas saya kali itu juga sederhana, ‘Mari Bermimpi’. Saya banyak bercerita tentang pengalaman mengajar di Halmahera setahun yang lalu. Saya ingin mereka merasakan sedikit keberuntungan dibanding banyak anak-anak di desa tempat saya mengajar yang sedikit mendapat tetesan kemajuan.

Saya meminta mereka untuk terlebih dahulu bersyukur dengan apa yang mereka telah lalui, miliki, dan jalani. Bahwa semuanya pasti ada hikmah jika memang mau mencari. Mereka jauh lebih tahu tentang hidup daripada saya, dan mungkin juga Anda. Tahu benar kerasnya hidup. Kenal benar pahit dan ketusnya keadaan sulit yang seringkali kian menghimpit. Tapi mereka bisa bertahan sampai ada di kelas itu mendengarkan saya. Mereka juga bisa bersekolah walaupun tak seperti anak-anak lain kebanyakan.

Setelah bersyukur, saya mengajak mereka untuk selesai dengan diri sendiri. Tidak merokok, tidak terjerat narkoba danpergaulan bebas, dan banyak hal lain yang menyesatkan. Kehidupan terminal kadang terlampau keras untuk jiwa mereka yang masih rapuh. Saya menyampaikan dengan intonasi tinggi untuk menyentak mereka bahwa rokok hanya akan membawa kerugian, uang habis dan sehat pun sirna. Pengedar dan pemakai narkoba akan berakhir di penjara. Pergaulan bebas memakan masa depan.

“Manusia terbaik adalah mereka yang bermanfaat bagi sesama.” Kalimat sederhana yang kini selalu terpatri dalam hati, tak lupa saya sampaikan. Saya ingin, sesulit apa pun kehidupan, suatu saat mereka harus mampu memberi manfaat untuk orang lain. Paling mudah memulai dari keluarga. Bahagiakan orang tua atau sekolahkan adik. Jika keluarga sudah mampu dipelihara, perluaslah manfaat pada masyarakat hingga menjadi kebanggaan bangsa dan negara.

Sedari tadi berbicara panjang lebar tentang bersyukur dan menjaga diri, sedikit banyak sudah mampu mereka pahami. Sudah ada sedikit cahaya pada pandangan mereka. Sepertinya saat yang pas untuk mengajak mereka mulai merancang mimpi dari awal. Saya minta mereka menuliskan mimpi di selembar kertas untuk kemudian ditempelkan di Pohon Mimpi. Agar setiap saat, mereka akan selalu diingatkan oleh mimpinya sendiri.

“Jangan pernah takut untuk bermimpi,” sanggah saya ketika mereka tengah menulis. “Ingat. Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” tambah saya mengutip dari salah satu novel tersukses sepanjang masa di negeri ini.

Setelah mereka selesai menulis. Saya mengajak mereka untuk menutup mata sejenak. Berdoa agar apa yang dituliskan menjadi kenyataan. Sesaat setelah menutup mata sekejap, saya kembali membuka mata. Melihat mereka masih menunduk, menutup mata, seraya berdoa membuat saya merinding level akut. Tak ada kecuali, semua anak khusyuk berdoa.
Tak lama, saya menyelesaikan doa mereka dan berkata, “Semoga doa kalian sampai ke langit siang ini.” Dibalas dengan “Amin” oleh seisi ruangan.

Saya banyak terharu melihat tulisan-tulisan mereka di pohon mimpi. Dari sesimpel menjadi pemain bola hingga menjadi atlet pencak silat nasional. Ada beberapa yang menulis ingin memberangkatkan haji orang tua mereka. Lalu ada yang ingin menjadi pengusaha agar bisa bermanfaat untuk orang lain.

Anak-anak ini tidak beda dengan anak-anak lain yang sedang makan siang di mal-mal yang hanya berjarak 1 km dari terminal. Mereka punya mimpi besar dan mereka juga berhak mendapatkan pendidikan layak untuk menjembatani mimpi itu.

Saya tak pernah gagal untuk dapat membawa ratusan imaji berbagai warna setelah menghabiskan waktu untuk berbagi. Saya mengajak Anda juga untuk berbagi. Tak pernah masalah dengan siapa. Sesungguhnya pada siapa pun Anda berbagi, Anda berbagi untuk diri Anda sendiri. Kenikmatan seperti itu tak bisa dibayar dan dibuat-buat.

Salam!

Video di bawah ini saya buat khusus untuk presentasi di kelas motivasi. Video ini yang membuat seisi ruangan senyap. Beberapa anak, meminta video ini untuk diputar ulang. Video sederhana, tentang sekilas perjalanan satu tahun saya di desa.

Beberapa foto di Kelas Motivasi.

Jadi Pengusaha. Bermanfaat untuk orang banyak terutama orang tua.

Menjadi atlet pencak silat. Memberangkatkan haji orang tua. Aku pasti bisa.

Sukses berawal dari mimpi. Selalu berusaha keras. Jadi profesor.

Habibi, 14, pemulung. Bayu, 24, mantan guru. Rustam, 15, pengamen.