Gedung Parkir Berputar Lima Lantai

by Bayu Adi Persada

Minggu lalu saya kedatangan tamu istimewa. Bukan, Presiden SBY tidak datang bertamu ke rumah saya. Bukan juga Pak Anies Baswedan yang menyempatkan waktunya untuk minum teh bersama. Tidak juga Alessandro Del Piero yang di sela-sela liburannya mampir ke Bekasi.

Namanya Budiyanto Arief. Bapak empat anak yang memiliki keturunan Jawa dari ayahnya. Namun beliau asli orang Bacan. Beliau adalah kepala sekolah madrasah di Desa Bibinoi. Dulu, rumahnya selalu menjadi tempat singgah saya sebelum ke masjid. Kami minum teh dulu lalu mengobrol apa saja. Beliau selalu bisa menjadi teman bicara yang baik untuk masalah-masalah yang saya alami, terutama tentang sekolah.

Minggu kemarin, Tuhan akhirnya mengijinkan beliau untuk menginjakkan kaki di ibukota. Tempat yang sudah ia idam-idamkan seumur hidupnya. Sejak awal, saya dan Adhi datang ke desa, beliau selalu mengatakan bahwa pergi ke Jakarta adalah impiannya. Dan bertemu Pak Anies adalah mimpi terbesarnya.

Tidak, beliau tidak mengenal Pak Anies dari kami. Suatu ketika, ia menonton acara talkshow di televisi dan menyaksikan Pak Anies berbicara. Seketika itu juga, beliau kagum dan hormat dengan Pak Anies. Keinginan kuat untuk bertemu dengannya dimulai dari situ.

Adik iparnya yang seorang pejabat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Halmahera Selatan akan pergi dalam tugas kedinasan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (KemenPAN) di Jakarta. Entah bagaimana, dia mendapat dua tiket pulang pergi Ternate-Jakarta.

Bukan rekan kerjanya yang diajak, tapi Pak Budi-lah yang mendapatkan nangka runtuh itu. Mungkin adik iparnya ingat bahwa sang kakak sudah berangan-angan untuk sampai di ibukota.

Singkat cerita, berangkatlah Pak Budi ke Jakarta. Menaiki pesawat besar pertama dalam hidupnya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan beliau ketika itu. Pertama kali melayang tinggi di udara, melihat awan. Mungkin beliau tak bisa tidur karena terus memandangi ke sisi luar jendela. Pikirannya menerawang akan keberadaannya saat itu.
Ah, mungkin saja.

Saya sebenarnya tak pernah mendengar kabar Pak Budi akan pergi ke Jakarta. Tiba-tiba pagi itu, handphone saya berdering. Tertulis nomor asing di sana. Saya enggan mengangkat. Kemudian, tak berapa lama, ada SMS masuk.

“Bayu, tolong angkat. Ini Budiyanto Arief dari Bibinoi.”
Astaga. Ada apa gerangan. Jangan-jangan ada hal penting.

Handphone saya sudah berapa waktu rusak, tak bisa menelepon ke luar. Belum ada niat untuk membenarkan. Jadi, sebenarnya saya harap-harap cemas Pak Budi akan menelepon lagi setelah saya mengirim SMS balik, “Maaf Pak Budi, tadi saya tidak di tempat. Ada apa?” Saya belum bisa jujur.

Sekitar sepuluh menit ada lagi telepon masuk. Dari nomor yang sama, Pak Budi lagi. Suaranya tak berubah. Lantang dan tegas. Kami membuka pembicaraan dengan tawa. Tertawa tanpa sebab yang jelas. Tertawa saja.

Saya kaget ketika beliau bilang, “Saya sudah di Jakarta nih, Bayu.”
“Pak Budi jangan bercanda!?!”
“Iya benar. Bayu sekarang di mana?”

Beliau ingin sekali bertemu saya dengan Adhi seketika itu juga. Akan tetapi, hari itu masih hari Rabu dan kami tentu masih harus berada di kantor dari pagi sampai malam. Memang agak sulit menemukan waktu yang cocok. Akhirnya, percakapan itu ditutup dengan janji saya untuk menemui beliau sebelum kembali ke Ternate.

Dua hari berlalu dan kami belum bisa juga bertemu.

Pak Budi seperti disergap virus konsumerisme. Hari Jum’at, beliau mengirim SMS bahwa ia sedang di Roxy.
“Apa semua warga desa yang datang ke ibukota pasti seperti ini, inginnya berbelanja?”

Pak Budi kemudian mengabarkan kembali bahwa Jum’at malam itu ia akan kembali ke Ternate. Pesawatnya terjadwal jam 12.30 dini hari.

Sepulang kantor, saya dan Adhi punya jadwal ke Purwakarta untuk training Pengajar Muda angkatan 4 malam itu juga sedang Pak Budi masih ada di Roxy pada jam 6 sore. Saya mulai berpikir tak bisa melunasi janji bertemu.

Kami memutuskan untuk tidak bertemu beliau karena jadwal yang berbenturan. Tapi saya tak mau menjadi orang yang harus mengatakan itu pada beliau. Biar Adhi saja. Agak kecewa juga ketika itu belum bisa menemui beliau yang sudah datang jauh-jauh dari negeri seberang.

Sesampainya di rumah, saya mendapat panggilan telepon lagi.

“Bayu, di mana? Kapan bisa bertemu?”
“Pak, saya di …. (mondar mandir) rumah. Pak Budi di mana?”
“Saya sudah di penginapan di Cikini. Bagaimana, Bayu?”
“…. (masih berpikir)

Keinginan untuk tidak membuat beliau kecewa membuat saya saat itu juga memutuskan untuk tidak berangkat ke Purwakarta.

“Oke, Pak. Saya ke sana.”

Jawaban yang cukup gila sebenarnya. Jam 7 malam pergi ke Cikini di hari Jumat. Seperti pergi ke neraka parkir.

“Adhi di mana?” balas Pak Budi.
“Ada di rumahnya, Pak. Rumah Adhi dekat sini juga.”
“Terima kasih banyak, Bayu. Saya tunggu.”

Saya langsung menelepon Adhi untuk mengajaknya berangkat. Awalnya, dia agak enggan karena sudah berjanji untuk berangkat ke Purwakarta. Setelah mencoba meyakinkannya, dia mau juga menyempatkan bertemu.

Tak lama, Pak Budi kembali menelepon.
“Bayu, bertemu di bandara saja ya?”
.. (daripada di Cikini, memang lebih baik di bandara sekalian) Siap, Pak Budi.”

Jam sembilan malam itu, kami pergi ke terminal bus Damri Bekasi. Untung saja masih ada bis terakhir yang berangkat. Karena bisnya sepi, kami jadi bisa mengambil waktu istirahat sepanjang perjalanan.

Sampai di bandara jam 10.30. Masih belum ada tanda-tanda Pak Budi di terminal 1B. Penumpang sudah mulai mengular antri untuk masuk ke ruangan check-in. Sekitar lima belas menit kemudian, Pak Budi menelepon mengabarkan bahwa ia sudah sampai. Kami mencari-cari ke sudut lain terminal.

Setelah mencari-cari sebentar, akhirnya kami menemukan beliau terduduk di trolley .

Seperti adegan di sinetron-sinetron, waktu seperti berjalan lambat. Satu scene, wajah saya. Scene selanjutnya, wajah Adhi. Wajah Pak Budi. Wajah saya. Wajah Pak Budi. Wajah Adhi.

Parasnya belum berubah sama sekali terakhir kali saya bertemu dengannya di perahu saat meninggalkan desa. Dengan kemeja kotak-kotak, wajah beliau agak lebih cerah. Mungkin karena tersamar lampu temaram bandara.

Kami berpeluk hangat. Tertawa lepas bersama. Seperti sahabat lama yang terpisah lama lalu dipertemukan kembali pada kesempatan yang tak terduga.

Kata-kata pertamanya, “Bayu, saya sudah sampai Jakarta ini.”

Senyum tak lepas dari wajahnya. Raut bahagianya belum luntur. Beliau masih belum ingin pulang ke Ternate. Kemegahan ibukota masih memegang erat hatinya. Buatnya, Jakarta sangat mungkin adalah representasi surga di dunia.

“Sebenarnya, saya masih ingin di Jakarta sama Bayu dan Adhi. Tapi saya mesti ikut Pak Abdillah (adik iparnya) kembali.”
Kami memaklumi walau sebenarnya juga ingin sekali mengajak beliau keliling Jakarta bersama-sama.

Dalam waktu singkat, beliau menceritakan banyak hal. Mulai dari kesempatan berfoto di Monas, berputar di bundaran HI yang dia sering lihat ada demo di televisi, kemacetan, dan mal-mal yang besar. Ketika ada seorang pramugari yang lewat, beliau spontan berkata, “Banyak sekali Bayu yang seperti itu di mal-mal.” Seketika itu juga kami bertiga tertawa lepas. Lepas sekali.

Anehnya, atau tidak, yang paling beliau ingat justru hal-hal yang menurut kita amat sederhana.
“Bayu, tadi kita naik gedung parkir berputar-putar. Gedung parkir lima lantai. Wuih, mantap sekali.”

Eskpresi Pak Budi menceritakan pengalamannya ke gedung parkir Atrium Senen bagi kita, mungkin seperti pernah mengunjungi Menara Eiffel Paris atau London BridgeSebegitu terkagumnya beliau menceritakan itu sampai-sampai membuat saya pribadi, cukup tersentuh.

“Seandainya di Bacan ada yang semacam itu, pasti Labuha sudah sangat maju,” tambahnya.
Sangat sederhana. Pak Budi menganggap Bacan akan maju kalau sudah dibangun gedung parkir berputar berlantai lima.

Dari pembicaraan singkat tersebut, saya melihat Jakarta bagi beliau benar-benar bagaikan mimpi. Ibukota republik dengan kota kelahirannya di Labuha, Pulau Bacan, bagaikan langit tak terjangkau dengan bumi.

Beliau juga mengungkapkan penyesalannya tidak bisa bertemu tokoh idolanya, Pak Anies. Ketika mengetahui bahwa lokasi KemenPAN dekat dengan kantor Indonesia Mengajar, penyesalan beliau kian bertambah.

“Lain kali ya Pak. Kalau Pak Budi ke Jakarta, kabari kami. Nanti kami bisa bantu Bapak bertemu dengan Pak Anies,” Adhi mencoba menenangkan.

Waktu kami sudah tidak banyak lagi. Beliau dan Pak Abdillah sudah dipanggil untuk  masuk ke ruang tunggu pesawat. Masih banyak hal yang kami ingin bicarakan, tapi sayang, waktu belum mengijinkan. Mudah-mudahan masih ada lain waktu.

Dia menutup pembicaraan dengan mengundang kami untuk kembali ke Bibinoi bulan Mei tahun depan. Madrasah yang beliau pimpin akan mencetak lulusan pertamanya. Akan ada wisuda untuk santri-santri cilik itu. Orang tua murid dan warga desa secara khusus meminta kami untuk menyempatkan diri hadir di acara itu.

“Bayu dan Adhi, kalian harus datang ya. Warga semua sudah meminta kalian hadir.”
“Insya Allah, Pak Budi.”
Semoga Tuhan benar-benar mengijinkan kami kembali tahun depan.

Terakhir, sebelum beranjak masuk.
Kami mengabadikan pertemuan sederhana itu. Di telepon genggam terbaru Pak Budi. Yang baru dibelinya di Roxy.

Sampai bertemu lagi, Pak!