Kami Mengerti Maka Kami Cinta

by Bayu Adi Persada

Dalam kompetisi bulan bahasa dari Kompasiana dan Kompas yang diadakan beberapa waktu lalu, tulisan saya dengan judul di atas mendapat Juara Harapan 1. Saya pikir, isinya relevan untuk menanggapi fenomena berbahasa kita yang kian hari kian bergeser dari tataran dan padanan yang benar.

Mari belajar berbahasa dengan baik. Bahasa yang lestari jadi bukti peradaban suatu bangsa patut dibanggakan.
Semoga bermanfaat.

————————————————————-

Seminggu pertama mengajar adalah mimpi buruk. Bagaimana tidak? Anak-anak belum benar-benar bisa berbahasa Indonesia sedang saya masih asing dengan bahasa sehari-hari mereka. Mereka menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa tinggi yang hanya digunakan oleh orang-orang tua atau pada acara resmi.

Bahasa sejatinya adalah penghubung pembelajaran. Tanpa pemahaman yang sama tentang apa yang diajarkan, pembelajaran seperti tanpa arti. Saya telah menjelaskan banyak hal di depan kelas tapi ketika tahu anak-anak tidak begitu mengerti apa yang diajarkan sempat membuat hati dan fisik semakin lelah.

Saya tidak menyerah begitu saja. Kalau bahasa menjadi syarat mutlak komunikasi pembelajaran dan bahasa daerah-lah yang mereka bisa, maka saya wajib belajar bahasa mereka. Oleh karena itu, setiap kali ada sekumpulan orang berbincang di sekitaran desa, saya selalu nimbrung. Awal-awal memang merasa agak canggung karena dipandang aneh oleh mereka yang sedang asyik mengobrol. Namun, lama kelamaan saya menjadi mengerti apa yang mereka bicarakan. Pada akhirnya, saya menjadi akrab dengan sebagian besar masyarakat.

Saya pun selalu berusaha bicara bahasa mereka dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika berbicara dengan keluarga yang menampung saya.

Tiga minggu. Ya, hanya tiga minggu waktu yang dibutuhkan untuk mahir berbahasa daerah Bacan. Dengan logat kental, saya mulai terbawa kekhasan bahasa lokal di sana. Dengan saling mengerti satu sama lain, saya dan murid-murid sudah mulai bisa menikmati kegiatan belajar mengajar di dalam maupun di luar kelas.

Pelajaran Bahasa Indonesia tentu menjadi menu spesial. Kami bisa belajar Matematika, PPkn, IPS, atau IPA dengan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, murid-murid harus belajar bagaimana berbahasa yang baik dan benar dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Belajar membaca bersamaPembelajaran di kelas sederhana kami

Saya mengajar anak-anak di kelas III. Yang menjadi tantangan terbesar di kelas tersebut adalah sebagian besar dari mereka belum lancar membaca. Bahkan beberapa anak sudah ada yang berumur 12-14 tahun. Sebagian kecil anak memang sudah cukup bisa membaca. Meski begitu, tetap saja secara umum, tugas seorang guru menjadi lebih sulit karena masih harus mengajarkan baca tulis pada anak-anak yang semestinya sudah menguasai dua kemampuan dasar paling menentukan tersebut.

Setiap kali, saya terus mengingatkan diri akan tujuan awal berada di sana. Kalau mencari kemapanan, keteraturan, dan kenyamanan, jelas bukan di desa itu tempatnya. Saya merasa tertantang untuk membantu semua murid meningkatkan kemampuannya, terutama dalam tiga hal utama: membaca, menulis, dan berhitung.

Olan adalah salah satu murid favorit saya di kelas. Umurnya masih 8 tahun ketika itu. Ayahnya seorang pekerja kelapa dan Ibunya setiap hari bekerja di kebun. Orang tuanya tidak berpendidikan seperti kebanyakan orang tua lainnya di desa kami. Namun, anak ini punya potensi besar untuk berkembang. Ia berkemauan keras, tekun, cerdas, dan punya kepercayaan diri yang baik.

Beberapa waktu awal saya mengajar murid-murid, ia termasuk anak yang memiliki kemampuan baca yang cukup baik. Walaupun sudah cukup bisa, tapi tetap saja ia terkadang masih terbata-bata dalam membaca.

Olan menaruh minat yang amat tinggi pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ia selalu antusias mengikuti pelajaran, bertanya, dan mengerjakan soal latihan. Bukan hal yang mengejutkan ketika ia mendapatkan nilai sempurna untuk setiap latihan dan selalu selesai paling awal dari teman-teman yang lain. Biasanya ketika selesai, ia spontan berkata, “Kasih latihan lagi ya, Pak Guru.”

Olan belajar sainsOlan dengan tekun mencoba memahami bacaan –courtesy Edward Suhadi

Suatu saat, saya pernah bertanya pada Olan, “Olan, apa pelajaran yang paling kamu senangi?” Dia dengan yakin menjawab, “Bahasa, Pak Guru.” “Kenapa kamu senang bahasa?” Olan berpikir sejenak lalu menjawab, “Senang membaca dan menulis.”

Semakin hari, kemampuan Olan dalam berbahasa semakin meningkat. Dia kini mampu membaca dengan lancar dan menulis dengan rapi dan baik. Kemampuan mendengar dan berbicaranya pun terasah terutama ketika ia belajar mendengarkan instruksi atau membaca puisi di depan kelas.

Entah bisa dibilang kekurangan atau tidak, tulisan Olan selalu menggunakan huruf besar. Sejak awal, saya tak mau memaksa dia untuk langsung berubah dan membenarkan caranya menulis. Sedikit demi sedikit bersama teman-teman sekelasnya, saya mengajarkan mereka bagaimana cara menulis yang baik dan benar.

Saat kami sedang belajar menulis, tiba-tiba ada seorang murid yang memanggil, “Pak Guru, Olan menangis.” Saya langsung menghampiri Olan dan bertanya, “Olan, kenapa menangis?” Dia masih sesunggukan dan belum bisa berkata-kata. “Ada apa, Olan?” saya bertanya kembali. “Saya tidak bisa menulis huruf A kecil, Pak Guru.”

Saya menyaksikan sendiri usahanya. Sekeras apa pun ia mencoba, ia sepertinya sangat sulit menuliskan huruf sesederhana ‘a’. Saya memintanya untuk berhenti menangis dan memintanya beranjak ke meja guru.

Kami mulai berbicara hangat. Saya memulai pembicaraan itu. “Olan tidak perlu menangis,” ujar saya sambil mengusap air matanya. “Kalau Olan tidak bisa menulis huruf a, tidak menjadi masalah. Asalkan Olan tetap jelas menulis huruf ‘A’ dengan cara Olan sendiri, ya.” “Ba-ik…., Pak Guru,” Olan menjawab lirih.

Sejak saat itu, ketidakmampuan tersebut tidak menghalangi dirinya untuk menjadi semakin baik. Ia mampu menjadi yang terbaik di kelas dengan hampir selalu meraih nilai sempurna di pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Dengan berbekal kemampuan itulah, saya tak ragu menyertakan ia untuk ikut berkompetisi di Olimpiade Sains Nasional.

Sebuah kebanggaan besar bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat desanya ketika Olan mampu mencapai semifinal kompetisi tingkat nasional tersebut. Seorang anak berumur amat belia dari sebuah keluarga amat sederhana di sebuah desa kecil mampu mengerjakan puluhan soal sulit bertaraf nasional.

Cerita tentang Olan adalah sebuah kisah sederhana tentang seorang anak desa pesisir yang mencintai bahasa nasionalnya. Dengan kecintaannya itu, ia mampu mengembangkan kemampuannya ke berbagai penjuru. Cita-citanya menjadi abdi negara sebagai seorang polisi. Ia selalu menceritakan itu pada setiap tulisan tentang mimpinya.

Dari Olan, kita bisa belajar bahwa kecintaan pada bahasa dimulai dari pemahaman akan apa yang dipelajari. Kecintaan itu tumbuh secara alami hingga ia benar-benar meresapi bahwa belajar bahasa Indonesia itu candu dan menyenangkan.

Bagi saya, bahasa nasional sudah menjadi identitas bangsa dan negara. Di manapun kita berada di seluruh penjuru negeri, dialek dan bahasa lokal pasti kental terdengar. Meski begitu, penting untuk terus menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi lagi utama. Dengan konsisten berbahasa yang baik, kita akan semakin sadar dan percaya, bahwa bahasa adalah sebuah kebanggaan yang akan selalu mengikat di tiap insan bangsa ini di manapun berada.