Waktu Pengasingan Diri

by Bayu Adi Persada

Sungguh tidak menyenangkan berada di tengah kumpulan orang asing yang saling acuh satu sama lain. Di kota di mana asap hitam kendaraan mewarnai rona semesta, seringkali keadaan seperti itu menjadi teman justru di saat-saat paling melelahkan dalam sehari. Kita merasa sulit sekali memilih. Rutinitas yang melelahkan menjadi justifikasi konkrit untuk bersikap apatis pada sesama.

Tapi tunggu dulu. Kita bisa memilih.

Pagi itu, saya berada di tengah penuhnya halte busway Tomang. Haltenya boleh dibilang sangat kecil untuk ukuran jumlah penumpang yang bisa meningkat signifikan di jam-jam berangkat dan pulang kerja.

Saking penuhnya, antrian untuk masuk bis sampai ke tangga untuk turun ke ruangan halte. Sebenarnya, ada tiga pintu di halte tersebut untuk masuk ke kendaraan. Hanya saja, banyak penumpang terpusat menunggu di pintu paling depan. Penumpang hanya bisa masuk bis gandeng kalau menunggu di pintu paling belakang padahal lebih banyak bis non-gandeng yang datang.

Dari belakang, ada seorang wanita paruh baya yang mencoba memaksa masuk untuk antri dari pintu bagian tengah. Tiba-tiba, seorang pria yang juga paruh baya menegur wanita itu, “Mbak, ngantri dong.”

Entah kalap atau bagaimana, wanita itu meledak seketika dan memaki-maki pria tadi.

“HEH, GW DARI TADI NGANTRI TAU! JANGAN NORAK LO, JANGAN NORAK!”

Saya pikir perkataan dengan penulisan seperti di atas dapat menggambarkan semarah apa wanita itu. Kalau dilihat perawakannya, saya merasa dia tidak seharusnya semarah itu. Wajahnya tenang dan memakai kerudung rapi. Ah, tahu apa saya tentang manusia. Mungkin ia baru saja mengalami pagi yang buruk.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari keduanya. Sang pria memperingati dengan halus. Wanita itu juga tidak berniat menyelak antrian. Tapi itulah yang terjadi, gesekan setipis apa pun bisa menjadi pemantik api yang penuh bara dalam situasi hectic seperti itu. Potensi kesalahpahaman dapat meningkat eksponensial.

Kami semua yang berada di halte khusyuk dalam kesunyian. Tentunya dengan pemikiran masing-masing pada kejadian itu. Mungkin akan menarik jika kita bisa melihat apa yang dipikirkan orang-orang seperti dalam bulatan di komik-komik. Meracau lagi.

Pria itu pun terdiam. Seakan menyesali tanggapan spontannya yang berhujung pada awal yang kurang baik bagi harinya. I feel you.

Di dalam bis, kami seperti hidup dalam sebuah tempat penuh orang asing. Atau lebih tepatnya, penuh orang yang mengasingkan diri. Tak ada satu kata pun terbagi dalam kolam manusia itu. Setiap orang asyik dengan dirinya sendiri. Ipod dan Blackberry dipaksa bercakap.

Saya sendiri asyik memikirkan fenomena itu. Fenomena di mana di tempat ramai seperti ini, setiap orang hanya peduli pada apa yang dilakukannya.

Saya mendapati seorang pria dengan tiga tas besar yang dibawanya. Ia terlihat linglung. Pasti orang dari jauh, pikir saya dalam hati.

“Pak, mau kemana?” tanya saya memecah sunyi.
Ia agak kaget lalu menjawab, “Iya Mas, saya bingung. Kalau mau ke Tanjung Priuk naik apa ya?”
“Oh gitu. Bapak lihat peta itu deh. Nanti Bapak turun di Cawang UKI, baru pindah trayek ke Tanjung Priuk.”

Ia sepertinya masih belum mengerti. Saya sampai harus menunjukkan dengan seksama bagaimana ia akan tiba di tujuan.

“Cawang UKI masih jauh ya Mas dari sini?”
“Waduh, masih jauh Pak. Nanti Bapak siap-siap aja kalau sudah sampai Tebet.”

Bis sudah sampai halte busway Jamsostek.

Saya lekas turun dan bersalam, “Duluan ya, Pak. Hati-hati.”

Pada suatu siang yang berbeda, saya berada di bis dengan trayek yang sama. Kebetulan tidak begitu ramai di dalam bis. Saya mesti mengecek email saat itu juga karena satu dan lain hal. Email kantor hanya tersedia di tablet. Agar tidak terlampau terikat dengan pekerjaan setiap waktu tentunya.

Entah datang dari mana, saat masih mengetik email, ada seorang bapak yang sudah agak tua menghampiri.

Ia pun mencoba memulai pembicaraan, “Mas, masih muda udah sukses ya.”

Saya agak canggung menanggapi. Mungkin saja ia menilai sukses dari tablet yang ada di tangan saya ini.

“Kerja di mana, Mas?”
“Di xxx, Pak.”
“Kantornya di mana?”
“Deket Kartika Chandra, sebelah kanannya Pak.”
“Wah, kamu hebat sekali. Kenalkan, saya Pak Amin dari Sukabumi. Nama kamu siapa?”
“Bayu, Pak. Oh, saya juga punya temen dari Sukabumi.”
“…”

Jawaban yang aneh sepertinya. Terus kenapa ya kalau saya punya teman dari Sukabumi. Tadinya saya mau menulis kemungkinan pikiran si Bapak, “Terus gw harus bilang WOW gitu.” Tetapi terlalu cheesy. Bapak itu membalas dengan senyum saja.

Sepanjang perjalanan, tidak terasa kami banyak mengobrol dan bertukar pikiran tentang banyak hal. Mulai dari hal-hal sederhana tentang kemacetan, hingga teknologi dan masalah negara. Bapak ini ternyata punya pemikiran yang apik tentang isu-isu sosial kenegaraan.

Karena asyik mengobrol, saya sampai luput turun di halte biasa.

Ia pun menutup pembicaraan, “Mas Bayu, nanti kalau mampir di Sukabumi, dateng ke rumah saya ya. Rumah saya di belakang Masjid Agung terus tanya saja rumahnya Pak Amin.”

Dari beberapa pengalaman di atas, saya semakin sadar bahwa cara kita menyikapi keadaan merepresentasikan diri. Mengasingkan diri mungkin menjadi cara paling wajar untuk dilakukan di tengah hiruk pikuk ibukota. Kita bisa saja menjadi apatis dan merasa pantas berlaku seperti itu.

Namun alangkah bijak jika sesulit dan selelah apa pun di kendaraan umum atau tempat-tempat lain, kita memilih berlaku berbeda. Selalu berpositif ria bisa menjadi penawar tersendiri untuk fisik yang terkuras setelah seharian beraktifitas.

Saya sangat yakin bahwa sebenarnya banyak pula orang-orang yang mampu menjaga aura negatifnya di saat-saat lelah. Hanya saja terkadang mereka butuh seseorang untuk memulai. Mulai menyapa, bertanya, atau sesederhana tidak menunjukkan raut wajah yang murung. Memang semua hal itu tetap harus sesuai proporsi dan kondisi, pintar-pintarlah menilai keadaan.

Selain bisa memberi nilai kebermanfaatan buat orang lain, menolak mengasingkan diri sesekali bisa saja beruntung mendapat kenalan dan tempat menginap gratis saat mampir di Sukabumi.

Demikian, semoga bermanfaat.