Kebersahajaan Hidup di Tepian Halmahera

by Bayu Adi Persada

Pembaca yang budiman,

Tulisan ini saya buat tahun lalu untuk mengikuti kompetisi Tulis Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 

Alhamdulillah, tulisan ini menjadi yang terbaik dan kini telah dibukukan dengan judul yang sama pula. Saya bersyukur sekali diberi kesempatan kesekian kali untuk berkarya oleh Allah SWT. Mudah-mudahan hanya kebermanfaatan yang didapat oleh para pembaca.

Kebersahajaan Hidup di Tepian Halmahera

 

Cerita ini sedikit berbeda dengan buku ‘Anak-Anak Angin’ dan dituliskan dengan perspektif yang unik. Ada beberapa segmen cerita yang tidak dituliskan di buku ‘Anak-Anak Angin’. Berikut saya salinkan keseluruhan tulisan tersebut. Meskipun Anda bisa membaca tulisan saya di sini, di buku itu banyak sekali tulisan-tulisan menarik dari para penulis hebat lain. Saya pikir tidak ada ruginya membeli buku itu di toko-toko buku terdekat. 

Selamat membaca.

— — —

Kebersahajaan Hidup di Tepian Halmahera

oleh Bayu Adi Persada

Angin laut pagi itu membuat saya tak mau beranjak dari kasur tipis dan dekapan selimut. Hari masih teramat pagi. Bunyi weker waktu Subuh sudah berbunyi, adzan pun juga sudah berkumandang dari masjid besar desa.

Saya mesti memaksakan diri beranjak ke sumur belakang rumah. Menimba air yang masih berasa payau untuk mengambil air wudhu. Jarak rumah saya yang hanya dua puluh langkah dari laut membuat air tanahnya agak bercampur dengan air laut. Biarpun terasa agak lengket, air sumur ini cukup layak untuk mandi dan minum sehari-hari.

Jalan hidup saya berhenti sejenak di sebuah desa pesisir sederhana di Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Desa Bibinoi, namanya. Setahun saya menjalani kehidupan yang berjalan tanpa pernah tergesa-gesa. Tak ada sinyal, listrik yang amat terbatas, dan akses yang cukup jauh dari kota terdekat. Begitulah keadaan desa kami. Meski terdengar memberatkan, saya hanya merasa terisolasi dalam peta. Saya menikmati setiap detik keseharian di desa.

Seperti tipikal kebanyakan masyarakat pesisir, kami menggantungkan hidup pada alam. Kondisi geografis desa yang diapit laut Halmahera di utara dan pegunungan di selatan membuat masyarakat memiliki segalanya untuk bisa bertahan hidup. Mereka bisa melaut untuk menjaring ikan dan bercocok tanam di belakang desa untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Mereka tidak pernah merasa miskin. Setidaknya begitulah penuturan seorang sesepuh desa pada saya. Meskipun rata-rata penghasilan masyarakatnya hanya 300 ribu sampai 500 ribu per bulan, masyarakat tetap dapat makan tiga kali sehari. Tentu tidak masalah makan dengan apa saja yang bisa disediakan. Sagu, singkong, pisang, atau jagung bisa menjadi alternatif makanan pokok.

Kebutuhan akan protein pun selalu bisa dicukupi dengan berlimpahnya ikan di lautan. Kecuali pada musim angin, di mana angin laut bertiup kencang sehingga membuat banyak nelayan mengurungkan niat melaut. Di sekitar pantai depan desa, mudah sekali untuk mencari ikan. Inilah yang membuat masyarakat tidak begitu merasa hidupnya sulit karena sedikit apa pun pendapatan, mereka selalu dapat memberi cukup makan bagi keluarganya.

Sudah beberapa tahun belakangan, masyarakat mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok menggantikan sagu. Beras memang mesti dibeli di kota. Namun, itu tidak menjadikan mereka beralih dari beras. Sagu tentu saja tetap menjadi pilihan kala penduduk kekurangan beras.

Hampir setiap hari ada perahu motor yang pergi ke kota. Biasanya warga memanfaatkan perahu tersebut untuk membeli bahan kebutuhan sehari-hari, terutama beras. Ongkos satu penumpang untuk sampai ke pelabuhan Babang, kota pelabuhan yang paling dekat dengan Labuha, ibukota kabupaten, adalah dua puluh ribu rupiah.

Saya tak pernah bosan mengarungi laut untuk sampai ke kota. Sepanjang satu jam lebih perjalanan, saya ditemani hamparan hutan hijau dan belaian angin semilir. Hal-hal sederhana itu selalu bisa membuat imajinasi bergerak tak tentu arah. Jika sedang beruntung, perahu motor melaju ditemani sekumpulan lumba-lumba mulut botol yang berenang di sisinya.

Saya tinggal bersama sebuah keluarga sederhana. Papa piara saya adalah seorang kepala sekolah sedang mama piara saya, ibu rumah tangga biasa. Mereka memiliki 5 anak ditambah 4 anak angkat. Semuanya diasuh dalam satu rumah. Jadilah rumah kami tak pernah sepi dari hiruk pikuk penghuninya. Saya menjadi anak angkat ke-lima sekaligus anak tertua dari keluarga selama saya tinggal di sana.

Masakan mama selalu bisa membuat saya betah berada di rumah. Setiap kali makan, kami berbagi nasi dan ikan ke semua anggota keluarga. Mama mesti pintar-pintar membagi jatah makanan. Makanan yang ada terbatas dan ada dua belas perut yang mesti diisi.

Di sini, sudah menjadi kebiasaan untuk setiap orang tua atau laki-laki yang dituakan untuk berada di meja makan. Jadi, hanya saya dan bapak yang berhak makan di meja. Anggota keluarga lain biasanya makan berlesehan di bawah.

Kelambu menjadi perangkat wajib dipakai ketika tidur. Penyakit malaria masih menjangkit cukup banyak warga. Belum lagi gigitan agas, serangga kecil, yang bisa membuat kulit gatal sekali hingga meninggalkan bekas yang kurang enak dilihat.

Penduduk desa kami berasal dari banyak suku dari sekitar Kepulauan Halmahera. Paling sedikit, ada lima suku yang mendiami desa ini: suku Bacan, Makian, Bajo, Tobelo, dan Ternate. Sulit untuk mengidentifikasi suku asli di sini karena terlalu banyaknya pendatang. Kalau melihat jumlah penduduk berdasar sukunya, maka suku Tobelo, yang berasal dari Halmahera Utara, yang menjadi mayoritas.

Ada dua pemeluk agama berbeda pula yang tinggal berdampingan, Muslim dan Nasrani. Meski sejarah kelam tentang konflik horisontal sepuluh tahun lalu pernah tercatat di desa ini, masyarakat kini hidup dalam damai. Tak ada tendensi sama sekali untuk berselisih tentang hal yang amat pribadi lagi prinsipil, sebuah agama.

Pemukiman warga Islam dan Kristen memang terpisah. Tidak secara nyata dipisahkan oleh pagar atau tanda tertentu, hanya saja ada sebuah rumah yang menjadi batasan. Jika ditarik garis lurus dari pantai ke daratan, maka sebelah barat rumah itu adalah pemukiman umat Muslim sedang orang Nasrani bertempat tinggal di sebelah timur.

Kultur masyarakat Muslim dan Nasrani agak sedikit berbeda di desa kami. Tentu saja dari segi pakaiannya berbeda. Masyarakat Muslim memakai kerudung ketika keluar rumah. Lalu, warga Nasrani senang sekali dengan situasi hingar bingar hingga mereka senang sekali menyetel lagu cukup keras dan juga berjoget. Kampung Muslim agak sepi saat hari Jumat tiba karena sebagian besar orang mempersiapkan shalat Jumat sedang warga Nasrani memiliki hari Sabtu dan Minggu sebagai hari untuk beribadah.

Dalam beberapa bulan terakhir, desa kami sedang banyak berbenah. Banyak perbaikan yang sudah direncanakan dari warga dan untuk warga, seperti pembangunan jalan, saluran air, dan jembatan. Kebersamaan antar warga membuat setiap rencana tersebut dapat berjalan dengan baik.

Setiap pagi, setiap kepala keluarga berkumpul di depan rumah kepala desa untuk bersama-sama membangun jalan. Mulai dari warga Muslim dari ujung barat dan Nasrani dari sebelah timur berkumpul di tengah desa mendengar arahan kepala desa. Mereka siap bergotong royong demi desa yang lebih nyaman untuk semua. Mereka tidak enggan menyisihkan waktu melaut dan berkebunnya untuk secara sukarela membangun desanya.

Di desa inilah saya merasakan Ramadan terbaik dalam hidup. Menikmati berpuasa di tepian pulau, di mana saya selalu bisa merasakan Magrib hanya dengan melihat matahari tenggelam di ujung lautan. Atau di mana hanya ada suara jangkrik dan kodok menemani ibadah malam. Hikmahnya sederhana, namun efeknya melampaui apa yang dibayangkan

Saya sangat menikmati hidup dalam perbedaan di Desa Bibinoi. Meski lokasi pemukiman yang terpisah, tak pernah sekalipun terjadi kisruh yang berlebihan hingga menimbulkan perpecahan. Kami hidup dengan damai walau saya amat yakin ingatan akan masa lalu yang kelam tak akan pernah hilang.

Yang terpenting adalah bagaimana menatap ke depan dalam kedamaian. Keunikan desa kami dibalut selembar toleransi yang tebal. Seperti Umat Nasrani yang tak pernah protes ketika Adzan Subuh berkumandang sebagaimana Umat Muslim juga bisa menghormati acara Natal yang seringkali riuh ramai hingga pagi.

Amanah menjadi guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bibinoi selama satu tahun penuh adalah sebuah tanggung jawab besar yang harus diemban dengan sungguh-sungguh dan hati yang tulus. Sebagai orang yang datang dari pusat kemajuan, tantangan itu jelas dan nyata. Ia tinggi dan berlapis-lapis. Kerja keras membuat saya bisa menapakinya satu per satu. Biarpun terkadang sulit menghadapi, penting untuk terus ingat melihat ke belakang, sebuah tujuan besar mengapa saya memilih jalan yang sulit itu. Keinginan untuk membayar balik pendidikan yang sudah saya terima sejauh ini. Saya ingin berbagi mimpi pada anak-anak yang belum banyak tersentuh kemajuan.

Pendidikan di Desa Bibinoi memang gratis. Tidak dikenakan biaya sepeser pun bagi setiap anak yang ingin bersekolah. Yang perlu dipersiapkan hanya seragam, buku, dan alat tulis. Walaupun sarana pendidikan yang ada bisa dibilang kurang, pendidikan yang layak tetap dapat diberikan bagi para peserta didik. Desa ini masih kekurangan guru khususnya untuk sekolah menengah. Tak banyak guru yang mau ditempatkan di desa ketika mengajar di kota menawarkan kenyamanan.

Sekolah dasar kami beruntung memiliki cukup guru. Tercatat ada sepuluh orang guru yang bertugas di SD kami, termasuk saya. Namun, kedisiplinan masih menjadi isu utama di sekolah. Beberapa guru mengabaikan kewajibannya dengan tidak menuntaskan jam mengajarnya atau bahkan tak datang ke sekolah. Mereka lebih memilih pergi ke kota untuk urusan yang mungkin lebih penting dari mengajar siswa-siswanya.

Saya terus berusaha memberikan yang terbaik bagi pendidikan setiap anak didik. Saya tak rela jika mereka datang ke sekolah tapi tidak mendapat apa-apa ketika pulang. Biarpun badan seringkali lelah karena mesti mengajar beberapa kelas sekaligus, hati tak pernah mengeluh. Senyuman dan semangat belajar anak-anak menjadi bahan bakar yang tak pernah habis untuk terus mengajarkan hal-hal baru.

Bekerja sama dengan beberapa pihak, akhirnya kami bisa membangun Rumah Belajar Bibinoi. Rumah belajar merupakan sarana penting bagi setiap anak untuk dapat belajar di luar jam sekolah. Dahulu, mereka menghabiskan waktu dengan bermain. Kini, mereka punya pilihan untuk belajar di dalam rumah belajar. Rumah Belajar Bibinoi dibuat senyaman mungkin agar setiap anak yang datang betah berlama-lama. Buku-buku dan fasilitasnya pun secara bertahap dilengkapi untuk dapat terus menjembatani keingintahuan anak-anak akan dunia dan segala isinya.

Saya percaya bahwa selalu ada harapan bagi anak-anak desa kami. Saya banyak menemui anak-anak hebat. Biarpun mereka tak banyak tersentuh kemajuan, mereka punya potensi untuk berprestasi. Olan dan Munarsi adalah contoh bagaimana segala yang terbatas tak menjadi halangan untuk melompat tinggi. Mereka mampu mencapai semifinal Olimpiade Sains Nasional. Selangkah lagi, mereka sampai ke ibukota republik untuk mengikuti final kejuaraan. Pencapaian yang sebelumnya bahkan tak terpikirkan.

Anak-anak desa kami tak punya mal atau arena bermain untuk menghabiskan akhir pekan seperti orang-orang di kota. Akan tetapi, kami punya lautan sebagai taman bermain. Saya dan anak-anak selalu dapat menikmati akhir depan dengan cara yang sederhana tapi menyenangkan. Berenang dekat dermaga, menyusuri hutan untuk berburu rusa, ataupun menunggu ikan terkait kail di tengah lautan. Kalau sudah lelah, kami bisa berhenti sejenak di bawah pohon untuk minum air kelapa muda segar.

Saat-saat bermain di pantai menjadi berlipat lipat menyenangkan saat segerombolan lumba-lumba melintas. Laut Halmahera di depan desa memang kerap menjadi jalur migrasi lumba-lumba. Bahkan suatu kali ada kumpulan paus sperma dengan ukuran sebesar bis melintas. Menurut warga desa, biasanya setiap dua tahun, mereka akan melintas. Ada seekor ikan paus malang yang pernah terdampar di pantai desa kami tiga tahun yang lalu. Sampai saat ini, ruas tulang paus tersebut masih utuh tersimpan di salah satu rumah penduduk di tepian pantai.

Jika sudah bosan dengan kegiatan itu-itu saja pada akhir pekan, menjelajah ke hutan belakang desa bisa menjadi pilihan. Ada air terjun cantik tersimpan di di sana. Jaraknya memang cukup jauh dari desa, sekitar 4 km dengan berjalan kaki. Buat warga desa, perjalanan ke air terjun sudah menjadi makanan sehari-hari. Cukup banyak warga yang memiliki kebun di sekitar daerah tersebut. Mereka biasanya berangkat pagi sekali dan kembali lagi saat matahari terbenam.

Bagi saya, sangat menyenangkan menjelajah hutan bersama anak-anak. Justru seringkali merekalah yang menjaga saya. Maklum, saya kerap terjatuh karena masih awam dengan trek jalanan berbukit dan berlumpur. Beberapa anak khusus menemani saya sedang banyak anak lain sudah berada jauh di depan meninggalkan kami. Meskipun begitu, setiap jejaknya adalah pengalaman baru tak terlupakan. Merasakan bau hijau pepohonan dan hawa lembab belantara, serta  mendengar burung-burung endemik hutan menyambut dengan suaranya yang khas.

Semua kelelahan seketika lenyap begitu merasakan segarnya air mengalir di bawah air terjun. Airnya jernih sampai saya tak ragu untuk langsung meminumnya. Bermain air sejenak sambil menikmati momen indah kebersamaan dengan anak-anak. Sebuah kenangan yang akan tersimpan manis dalam kumpulan kolase pengalaman hidup.

Dalam setiap upacara resmi, selalu dipentaskan tari cakalele. Tari ini merupakan ciri khas budaya Maluku. Tarian ini dilakukan berkelompok. Penari mengambil ancang-ancang menyerang seakan sedang perang. Mereka memegang pedang di tangan kanan dan perisai, atau biasa disebut salawaku, di tangan kiri. Lalu menggoyang-goyangkan seluruh badan sambil berteriak-teriak seperti sedang kesurupan.

Menurut para sesepuh desa, tarian ini menggambarkan patriotisme rakyat Maluku pada daerahnya. Mereka tak akan segan berperang jika tanahnya diusik dan hak-haknya diambil paksa. Pedang dan salawaku adalah simbol perlawanan pada kesewenang-wenangan. Sungguh sebuah arti besar yang tersimpan dalam tarian cakelele ini.

Adat tari cakalele ini juga unik. Penari yang pentas bisa memberikan pedang dan perisainya pada penonton. Penonton yang mendapatkan alat-alat tersebut wajib menggantikan penari tersebut. Sialnya pada suatu pementasan, seorang penari sudah mengincar saya. Setelah menari beberapa sesi, ia lalu mencari saya di kerumunan penonton. Saya pun tak bisa berbuat banyak meski sempat ingin melarikan diri.

Akhirnya, dengan rasa percaya diri yang tersisa, saya maju ke depan dan mulai menggerakkan seluruh anggota badan. Menari cakalele tidaklah sulit. Gerakannya sangat sederhana. Yang terpenting, mesti menyelaraskan diri dengan musik dan bunyi gong. Jika gong dibunyikan, maka penari mesti memutar lengan dan menyerongkan badan sambil berteriak mirip Tarzan.

Pertama kali menari cakalele, pasti tubuh terasa lelah amat karena harus terus digetarkan sepanjang pementasan. Saya terharu ketika seorang kakek tua yang juga penari cakalele senior menghampiri saya dan berkata, “Kamu menari lebih baik daripada banyak orang desa di sini.”

Adat pernikahan di daerah Halmahera ini juga sangat berbeda dengan kebanyakan yang terjadi di daerah-daerah lain. Proses ijab kabul yang menjadikannya unik.

Sang wali nikah mempelai wanita menyiapkan sapu tangan miliknya untuk prosesi upacara. Ia lalu mengenggam tangan calon menantunya seperti akan lomba panco. Setelah itu, sapu tangan diletakkan menutupi genggaman tangan mereka. Tangan mereka pun digoyang-goyangkan. Wali nikah lalu memanggil nama calon menantu tiga kali.

Suatu kali, saya menyempatkan diri datang ke sebuah acara pernikahan seorang warga desa.

“Hai Anto! Hai Anto! Hai Anto! Saya nikahkan kamu dengan anak saya, Lia binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang sepuluh ribu rupiah dibayar tunai,” begitu ujar Pak Ahmad dalam prosesi ijab kabul.

Setelah calon menantu mengucap ikrarnya, sontak seluruh warga yang melihat pun berteriak keras sekali, “ORAAANG KAWIIIIN!”

Saling menggenggam tangan dengan ditutupi sapu tangan merupakan perlambang serah terima yang sakral dan suci antara seorang wali kepada calon menantunya. Biarpun gerakannya aneh bagi kita sebagai orang awam, sejatinya ada tanggung jawab besar bagi calon menantu untuk menjalankan amanah dari sang wali perempuan ketika menjabat tangannya seperti sedang panco. Sebuah nilai baik yang harus kita diteladani.

Selesai sudah satu fase terbaik dalam hidup. Ketika akhirnya mesti meninggalkan desa yang sudah amat saya cintai, saya sadar bahwa perjalanan hidup ini mesti berlanjut di tempat lain. Pengalaman satu tahun hidup bersama masyarakat kecil di republik ini memberikan saya sebuah nilai yang amat berharga. Bahwa seorang manusia mesti bermanfaat bagi manusia lainnya.

Berpisah dengan keluarga baru tak pernah mudah. Sesulit apa pun saya sadar harus meletakkan romantisme ini di belakang. Biarkan semua kenangan tersimpan rapi dalam rak paling atas agar tak begitu sering dibuka kembali. Suatu saat, kenangan ini akan diambil untuk diceritakan dengan raut wajah paling bahagia ke anak cucu.

Advertisement