Menggapai Singgasana Dewi Anjani
by Bayu Adi Persada
Kami masih merasa tak percaya ketika sampai di tanjakan terakhir bukit penyesalan. Dinamakan penyesalan karena memang menyimpan makna harfiah, bahwa setiap orang yang menjalaninya pasti sempat menyesal telah memutuskan mendaki Gunung Rinjani. Gunung Rinjani dengan ketinggian 3726 meter di atas permukaan laut menjadi gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Puncak Jaya atau Cartensz Pyramid di Papua dan Kerinci di Sumatera.
Butuh lebih dari sekedar kemantapan fisik untuk menaklukkan Rinjani. Ya, mental memegang peranan lebih penting dalam menjelajahi trek pendakian yang konon disebut yang tersulit di Asia Tenggara oleh banyak pendaki. Namun, godaan hamparan alam nan indah, hijau, dan permai seakan melunturkan segala keraguan. Belum lagi, ditambah pesona Danau Segara Anak kala matahari mulai merangkak naik di balik bukit yang semakin mengundang para penikmat alam untuk hadir dan mencicipi pesona Rinjani. Kami pun tak berbeda. Tidak memiliki banyak pengalaman mendaki, kami tak dapat menahan godaannya. Tentu mental harus ditempa sekeras baja.
Sampai di ujung bukit penyesalan, kami tahu benar salah satu bagian tersulit pendakian ini terlewati. Namun, tujuan kami masih jauh di ujung langit sana. Kami enggan menyerah meskipun tenaga sudah amat terkuras. Penyesalan itu tak nampak di sini tapi sepertinya akan muncul saat kami gagal menaklukkan Rinjani.
Trek Awal Pendakian
Di awal pendakian, kami tidak terlalu banyak mendapatkan kesulitan. Hanya terik matahari yang terkadang sangat memeras peluh. Hamparan permadani hijau menghiasi trek perjalanan kami. Jalanan masih cukup landai untuk ditapaki oleh langkah-langkah kecil kami. Meski trek tak begitu sulit, tetap saja beberapa kali kami mesti berhenti sejenak untuk minum satu dua teguk air.
Mas Jaya, pemandu kami, mengatakan yang terpenting adalah konsistensi bukan kecepatan. Banyak pendaki yang terburu-buru justru gagal mencapai puncak karena terlalu kelelahan. Menyimpan tenaga menjadi sangat penting karena pertarungan sebenarnya masih terpisah lima jam perjalanan lagi.
Masuk ke jalur pendakian jam 7 pagi, kami akhirnya sampai di Pos 2 saat menjelang makan siang. Porter dan pemandu sudah sigap menyiapkan makan siang. Hidangannya pun mewah untuk ukuran pendakian. Nasi, mie, telur rebus, dan berbagai sayuran sudah masuk ke perut kami. Benar-benar santapan yang kembali mengisi tenaga. Tambahan asupan madu dan gula jawa pun meyakinkan kami bahwa tak akan ada masalah dengan kondisi fisik.
Selepas Pos 2, jalur pendakian semakin sulit. Kami mulai dihadapkan pada tanjakan-tanjakan terjal. Baru setengah jam berjalan, salah satu anggota tim kembali meminta rehat. Mungkin karena terlalu banyak makan sehingga justru menjadi beban mendaki. Setelah istirahat singkat, kami bergabung dengan rombongan lain untuk melanjutkan perjalanan.
Tak Ada Sesal di Bukit Penyesalan
Di Pos III, kami menunaikan ibadah salat. Mulai dari sini, perjalanan tidak akan pernah mudah. Bukit-bukit berbatu dan tanjakan terjal menghalangi kami untuk sampai ke puncak. Bagaikan menaklukkan sebuah kerajaan, bukit dan tanjakan itu menjadi panglima-panglima perang yang harus dikalahkan. Bukan lagi prajurit yang kami hadapi di awal trek pendakian.
Jarum jam menunjukkan angka empat. Sudah sore rupanya. Hujan gemericik menemani kami saat hendak memulai kembali perjalanan. Batu-batuan besar mesti kami langkahi untuk masuk ke jalur pendakian. Melangkah perlahan karena sudut tanjakan mendekati enam puluh derajat. Keringat mulai mengucur deras. Rasanya dahaga tak pernah hilang sampai beberapa kali menegak air di botol.
Saya sangat bergantung pada trecking pole, tongkat mendaki, di tangan kanan. Tongkat ini membantu sekali sebagai tumpuan untuk tetap melangkah di tanjakan curam. Mas Jaya tiba-tiba menyeletuk, “Ayo, ini belum seberapa. Masih ada enam tanjakan lagi di depan.”
Spontan saya langsung melihat ke atas. Ujung bukit ini tak terlihat. Pepohonan lebat dan kabut yang mulai turun menutupi pandangan kami. Tanjakan curam ini baru yang pertama dan enam lagi masih menyusul di depan. “Apa pendakian ini keputusan yang salah?” tanya saya dalam hati.
Berbekal keteguhan hati, saya enggan melihat ke atas dan terus mencoba melangkah. Satu per satu langkah, biarpun kecil asalkan terus menerus pasti akan membuahkan hasil. Benar saja, akhirnya saya sampai di ujung bukit … yang ketiga. Di bawah pohon besar, kami meminta rehat. Rehat kali ini cukup lama, sekitar lima belas menit. Selain minum, kami sejenak berbaring di rerumputan untuk mengembalikan tenaga.
Ujung bukit tertinggi masih belum juga kelihatan. Melangkah kembali di tanah yang mulai agak becek sedikit membuat kesulitan. Dengan cara yang sama, saya hanya fokus melihat ke bawah. Sesekali memegangi paha dan lutut yang mulai nyeri. Olesan salep pengurang rasa nyeri pun menjadi pelengkap menu perjalanan.
Sudah pukul lima sore dan kami masih belum juga sampai di ujung bukit. Di ujung bukit itulah tempat kami berkemah untuk bermalam. Lelahnya sudah di ujung kepala tapi saya tak tahu pasti berapa lama lagi akan sampai. “Sedikit lagi,” ujar Mas Jaya menenangkan. Kata-kata itu seringkali ia ucapkan. Maklum, kami semua pendaki amatiran jadi memang harus sering diberi harapan, biarpun palsu.
Ternyata kali ini ucapan Mas Jaya benar. Saya sudah berada di bukit terakhir. Tinggal sedikit lagi sampai ujung. Saat melihat ke bawah, hati tak percaya sudah melewati tanjakan curam ini dan sedikit lagi penderitaan ini berakhir. Mempercepat langkah dan akhirnya, saya sampai juga di lokasi perkemahan. Tak ada lagi sesal, yang ada hanya perasaan lega dan bahagia sudah berjalan sampai sejauh ini. Melihat informasi di telepon pintar, kami tercatat berada di ketinggian 2730 meter.
Tenda sudah berdiri dan makanan pun telah terhidang. Porter-porter ini memang ahli sekali mendaki Rinjani. Hanya berbekal sandal jepit dan sarung, mereka tak kesulitan menjejaki terjalnya bukit dan bertahan dari hawa dingin. Dari obrolan santai, mereka sudah menunggu kami dua jam lebih. Dahsyat.
Langsung masuk ke dalam kemah, saya lalu menyeruput teh hangat. Benar-benar surga dunia. Setelah berjam-jam menempuh jalur yang menantang dan melelahkan, berbaring dalam kemah menjadi penawar lelah paling mujarab. Makan malam ludes dilahap, lapar pun sekejab hilang. Selepas tunai salat Magrib dan Isya, kami memutuskan beristirahat untuk sebuah misi yang lebih besar. Dini hari nanti kami mesti beranjak dari tidur untuk menuntaskan misi menaklukkan Rinjani.
Untuk Sebuah Misi
Lelahnya tubuh tak membuat kami terlalu terlelap dalam tidur. Demi sebuah misi besar, kami kembali terjaga dan meneguhkan hati. Tidur di dalam kemah memang nyaman, tapi kami yakin di setiap pilihan sulit, akan ada pelajaran yang amat berharga. Membuka kemah perlahan, hawa dingin langsung menyergap masuk. Hawa dingin menjadi cobaan pertama sebelum melangkah keluar kemah.
Teh hangat, madu, jahe, dan roti masuk ke perut kami sebagai bekal pertama. Perlengkapan pun sudah melekat di tubuh. Kupluk, sarung tangan dan kaos kaki tebal, jaket berlapis, senter, tongkat, dan tidak lupa, masker penghalau debu. Kami berkumpul sejenak untuk memanjatkan doa pada Sang Pemilik Alam. Kami percaya bahwa hanya dengan kuasa-Nya, kami bisa mencapai tujuan di ujung awan.
Kami berjalan melewati kemah-kemah para pendaki lain yang telah sepi. Para penghuninya sudah terlebih dahulu memulai perjalanan ke puncak. Saya sendiri terus berusaha memantapkan hati. Melihat ke jalur pendakian di lereng gunung, terlihat cahaya-cahaya senter yang bergerak. Sudah banyak pendaki yang sampai di sana. Dalam hati, ingin sekali cepat berada bersama mereka namun jalan terjal berpasir dan berbatu harus terlebih dulu dilalui.
Semakin dekat ke lereng gunung, semakin banyak debu pasir bertebaran di udara sebab injakan para pendaki. Masker benar-benar jadi andalan dalam situasi seperti ini. Untung saya memakai kaca mata hingga tak begitu terganggu debu yang mungkin masuk ke mata.
Berkali-kali kami meminta rehat untuk sejenak menghela napas. Oksigen makin tipis membuat saya terpaksa menghirup tabung oksigen. Napas sudah terengah-engah dan saya tak mau ambil resiko. Oksigen yang masuk cukup menjadi penyegar. Coklat dan gula jawa disantap sebagai pengganjal lapar.
Tak terasa matahari sudah mulai beranjak naik. Di ufuk timur, warna kuning kemerahan perlahan menampakkan diri. Sang surya sudah siap menyapa semesta. Di tepian jalan, saya dan kedua orang teman menunaikan salat Subuh. Haru menyelimuti saat kami sedang menghadap Sang Kuasa. Diri merasa teramat kecil di punuk raksasa ini dan kuasa-Nya memungkinkan kami sampai di sini.
Langit mulai terang seiring kabut yang kian menghilang. Puncak sudah terlihat semakin dekat namun saya tak mau lupa diri. Fokus dengan apa yang dilangkahi agar tak lekas terperosot. Trek pendakian di lereng ini memang amat sulit. Andai tak kuat menapak, setiap langkah akan sia-sia karena terseret pasir kembali.
Memacu kecepatan di seratus meter terakhir sangat menguras tenaga. Saya mesti merangkak agar tak sering terseret kembali ke bawah. Di ujung sana bendera kebanggaan republik sudah terlihat.
Langkah-langkah terakhir amat berharga hingga akhirnya saya sampai juga di puncak Rinjani. Kami pun berpelukan dalam rasa haru. Perjalanan panjang ini akhirnya selesai. Puluhan orang di ujung awan juga merasakan hal yang sama. Mereka rela antri untuk sekedar berfoto di samping bendera dan tanda ketinggian puncak Rinjani.
Ada perasaan yang tak terjelaskan bagi diri. Perjalanan ini bukan sekedar untuk membuktikan diri. Bagi saya, makna perjalanan menaklukkan Puncak Rinjani jauh lebih besar dari ambisi pribadi. Kesemuanya ini saya peruntukkan untuk calon anak yang masih berada dalam kandungan istri.
Saya ingin menjadi seorang ayah yang punya cerita dan layak memberi contoh. Bahwa keberanian menaklukkan ketakutan dan keraguan akan membawa kita dalam pengalaman tak terlupakan ke tempat-tempat yang tak terbayangkan sebelumnya.
Nama Rinjani diambil dari nama seorang putri Kerajaan Selaparang, Dewi Anjani. Nama indah yang menyimpan sejarah panjang tentang cinta dan pengorbanan. Kecintaan saya pada keluarga, terutama anak, dan alam membuat saya tak ragu untuk berkorban tenaga, pikiran, dan mungkin juga nyawa untuk sampai ke puncak-puncak tertinggi. Sebuah pengalaman monumental saat diri berhasil menggapai singasana Dewi Anjani di ujung awan. Pengalaman yang bisa diceritakan dengan raut wajah bangga dan bahagia pada anak cucu saya kelak.