Jejak Musim Gugur
by Bayu Adi Persada
Jejak-jejak musim gugur masih jelas terpatri di atas jalanan setapak di tengah taman itu. Saya berjalan menggandeng tangan seorang wanita. Wanita yang saya berjanji pada ayahnya untuk menjaganya sebaik-baiknya sampai umur di ujung waktu. Sejujurnya, saya tak pernah berani bermimpi untuk sampai di saat ini. Bergandeng tangan dengan seorang istri berparas teduh. Berjalan di tengah taman yang masih riuh dalam kesunyian musim gugur. Di tanah sebuah mimpi itu. Mimpi yang sudah dibayangkan entah sejak kapan.
Mimpi waktu itu sederhana. Cukup sampai saja di tanah ini, seperti mimpi kebanyakan orang tentang kebesaran dan kemasyhuran kota-kota besar di Eropa. Tak begitu spesial. Namun, perjalanan hidup menyampaikan saya di sini. Tak ada yang lebih pantas terucap selain syukur yang mendalam. Keterbatasan manusia membuatnya tak punya kuasa atas sebuah titik kejadian. Atas apapun.
Saya masih menggandeng tangannya. Perutnya semakin membesar tapi manis senyumnya justru semakin meneduhkan. Buah hati kami masih nyaman bersemayam di tempat terkuat di muka bumi. Sebentar lagi, jika Allah mengijinkan, ia akan hadir ke tengah keluarga kecil kami. Saya tak sabar menunggunya. Iapun sepertinya tak ingin berlama-lama di sana. Setiap kali, selalu saja menendang dan bergerak kesana kemari seakan ingin lebih leluasa di tengah udara bumi.
Namanya sudah dipersiapkan sejak lama. Bahkan sebelum kami mengucap janji suci itu. Harap kami terselip dalam nama cantik itu. Tentang bagaimana ia menjadi penebar manfaat bagi semesta dan jadi peneduh, seperti senyum ibunya, bagi sesamanya.
Pikiran saya kembali di jalanan setapak itu. Entah kemana perjalanan hidup ini menuntun. Namun saya belajar pada musim gugur yang ikhlas berganti karena tahu ia akan kembali. Menjalani hidup sebaik-baiknya untuk sebuah kembali. Bersama wanita yang masih saya gandeng tangannya.
Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu. Perempuan mungil yang cepat sekali besar di perut membuat energinya seringkali cepat terkuras. Saya tak bisa membayangkan rasanya seperti apa. Mungkin saya pun tak akan sanggup memikul beban sebesar itu. Setidaknya bahu yang tak begitu berotot ini selalu ada baginya untuk sekedar menepi lelah.
London, 29 Oktober 2014