Catatan Perjalanan: York, Cerita Sebuah Kota Kecil
by Bayu Adi Persada
Pembaca yang budiman,
Tulisan ini pernah diterbitkan oleh harian Republika, 22 Maret 2015. Berkisah tentang perjalanan singkat saya ke York, sebuah kota kecil tak jauh dari tempat tinggal saya di Manchester, Inggris. Untuk mengunduh cerita tersebut, silakan gunakan tautan ini dan ini.
————–
Saya memberhentikan langkah sejenak di depan Micklegate Bar, sebuah gerbang tua yang dibangun lebih dari tujuh abad lampau. Dari era Roman hingga kini, gerbang ini masih berdiri kokoh membentengi pusat kota York. Saya memutuskan menelusuri setiap jengkal tembok kota York dari gerbang ini setelah menaiki beberapa anak tangga melalui sebuah pintu kecil. Tembok kota yang mengelilingi kota ini masih terlihat kuat dan rapi meski sudah berusia ratusan tahun. Meski begitu, tembok kota sudah tidak utuh lagi mengelilingi pusat kota. Beberapa sisi tembok sudah runtuh dimakan usia.
Dari atas tembok, saya cukup bisa melihat sekeliling. Tembok ini tidak terlalu tinggi memang, hanya sekitar lima meter. Saya terus menelusuri tembok ini ke arah timur sambil menebak-nebak apa yang akan saya temui nanti. Ada sebuah toko kecil di dalam sebuah lorong kecil mirip benteng. Saya mencoba masuk. Ternyata di toko ini, dijual souvenir-souvenir kecil dan ditawarkan pula tur tentang sejarah tembok kota York. Saya hanya membeli sebuah bel Micklegate Bar sebagai kenang-kenangan lalu melangkah pergi melanjutkan perjalanan.
York Minster jelas terlihat di sisi kiri karena tepat menghadap matahari. Katedral terbesar di Eropa dan salah satu yang tertua di dunia dengan arsitektur gothik yang khas. Saya akan mengunjunginya nanti seiring penelusuran ini berlanjut.
Tak lama berjalan, saya mengakhiri penelusuran tembok kota di sisi timur ini sesampainya di tepian sungai. Konon, beberapa sisi tembok kota memang diruntuhkan untuk membangun jembatan yang melewati Sungai Ouse. Di tengah jembatan, saya sejenak bersandar di tepian. Hari itu musim dingin sedang dingin-dinginnya tapi sinar terik matahari mampu memberi secercah kehangatan. Tak seperti biasanya, saya jadi cukup betah berlama-lama menikmati udara luar.
Di ujung jembatan ada sebuah benteng kecil yang dijadikan sebuah kafe. Memang salah satu usaha konservasi bangunan-bangunan tua di sini adalah tetap memfungsikannya sebagai fasilitas publik atau bisnis. Meski dijadikan kafe, arstitektur, tekstur, dan ciri khas bangunan tetap dipertahankan sebagaimana aslinya. Sebuah contoh yang mestinya bisa negara kita tiru.
Pandangan saya belum beralih dari ujung aliran sungai yang terus mengalir sampai ke laut di hilir sana. Imajinasi beranjak ke ratusan tahun lampau di mana sungai ini masih jadi jalur penting bagi kehidupan masyarakatnya. Seperti fungsi sungai aslinya, sebagai sarana transportasi dan penyokong ekonomi. Kini, sungai Ouse dipenuhi perahu-perahu wisata yang akan membawa wisatawan menyusuri alirannya yang penuh cerita.
Dua puluh langkah dari jembatan itu, saya menemukan Menara Clifford’s, bangunan yang tersisa dari kastil yang dibangun sejak abad ke 11 setelah kota York ditaklukkan bangsa Norman. Setahun setelah dibangun, kastil ini kemudian dihancurkan oleh pasukan Viking. Ada cerita yang tak mengenakkan hati tentang menara ini. Di bagian bawah dekat tangga menuju menara, tertulis sebuah cerita pilu. Tahun 1190, sekitar seratus lima puluh orang Yahudi lokal terbunuh di menara ini saat mereka mencoba bersembunyi dari kerusuhan antar agama. Beberapa abad setelah itu, kerajaan Inggris kembali membangun kastil ini sebagai benteng pertahanan dari berbagai perang, termasuk perang dengan Skotlandia, dan juga penjara.
Sampai saat ini, Menara Clifford’s telah melalui berbagai macam hantaman, mulai dari perang, kerusuhan, dan ledakan besar seperti yang terjadi di tahun 1684 yang hampir meruntuhkan keseluruhan bangunan. Selain menara ini, yang tersisa dari kastil York yang tersohor itu dijadikan Museum York Castle dan pengadilan, the Crown Court, yang lokasinya masih berdekatan dengan Menara Clifford’s. Bangunan Museum York Castle sangat klasik dengan lima pilar besar membentengi gerbangnya. The Crown Court tak berbeda dalam hal karakteristik. Bangunan ini memiliki atap bangunan mirip kubah dengan penunjuk arah angin di atasnya. Jam besar berlatar biru di bawahnya juga masih berfungsi. Bentuk jamnya mirip BigBen di London. Angka 4 Romawi-nya berbentuk empat turus, seperti yang bisa ditemui di negara kita, Menara Jam Gadang di Bukitinggi. Niatan masuk ke Menara Clifford’s saya urungkan karena ongkos masuknya yang tidak murah, sekitar 7 pounds, untuk tempat yang tak begitu besar. Berbeda dengan kota-kota lain di Inggris memang, hampir semua objek wisata di York tidak ada yang gratis.
Turun dari menara, saya kembali melanjutkan penelusuran ke pusat kota. Belum satu menit berjalan, saya kembali menemukan bangunan bersejarah yang dibuat kantor pemerintah. Warna merahnya mencuri perhatian dengan arstiketur bangunan Inggris klasik abad pertengahahan dengan tiga kubah dan jam besar yang tak banyak berubah dari bentuk aslinya. Tak jauh dari sana, ada York Dungeon, penjara bawah tanah yang baru dibuka kembali dua tahun lalu setelah terkena banjir. Menurut cerita, penjara berisi replika kejadian menyeramkan yang terjadi sepanjang sejarah, seperti replika pemenggalan atau pembakaran narapidana hidup-hidup.
Saat matahari mulai berada tepat di atas kepala, saya mendapati banyak sekali yang menarik di pusat kota York. Kebetulan waktu itu sedang ada pasar kaget sehingga banyak barang-barang unik yang dijual. Saya tak ketinggalan menyisihkan lima pounds untuk membeli miniatur benteng kota York. Untuk benar-benar menikmati perjalanan, saya mematikan telepon pintar lalu berjalan menurut kata hati. Melewati banyak gang dan lorong yang kadang ramai, kadang sepi dan tersembunyi. Menelusurinya bagaikan berada di labirin yang berujung ke berbagai macam tempat. Contohnya Whip-Ma-Whop-Ma-Gate, jalan terkecil yang ada di York. Sebenarnya tak ada yang istimewa di sini, hanya sebuah jalan setapak sepanjang mungkin dua puluh meter yang letaknya di belakang gereja St. Crux. Meski tak begitu istimewa, jalan ini pernah dijadikan novel oleh penulis lokal. Dari informasi yang saya baca di sebuah plak dekat jalan, nama jalan ini diambil dari frase Whitnourwhatnourgate, yang menggambarkan keistimewaan dan keunikan.
Whip-Ma-Whop-Ma-Gate berada dekat dengan The Shambles, sebuah jalan tua yang penuh dengan keunikan bangunan yang menonjol keluar, persis seperti di film Harry Potter. Konon, bangunan-bangunan ini dibangun sejak abad ke-14. Kini, bangunan ini dijadikan toko-toko dengan berbagai macam barang jualan, seperti baju, buku, souvenir, bahkan makanan dan minuman. Hari itu penuh sekali orang berjejal di The Shambles. Selain hanya untuk mengambil gambar, para peminat belanja pun terpuaskan.
Di sekitar pusat kota, banyak sekali gereja-gereja tua yang mencuri perhatian. Arsitektur abad pertengahan yang khas selalu menjadi daya tarik siapa pun yang melintas. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah gereja St. Martin dengan jam dinding besar yang terpajang menjulur ke jalan setapak. Setelah mengambil satu dua foto, saya langsung beranjak pergi karena gerbang gereja yang tertutup.
Akhirnya saya sampai juga di York Minster, salah satu bangunan paling bersejarah dan cantik di York. Sejak awal penelusuran saya, suara loncengnya sudah sering terdengar dan atapnya bisa terlihat dari berbagai gang dan lorong pertokoan di pusat kota. Jadi, kecil kemungkinan tersesat karena selalu bisa menjadikan bangunan York Minster sebagai acuan. Dari sini, mudah sekali berjalan ke berbagai tujuan lain.
Istilah ‘Minster’ diberikan pada gereja-gereja yang dibangun pada masa Anglo-Saxon saat para misionaris mengajarkan ajaran agama. Jelas bahwa gereja ini memang diistimewakan dari yang lain. Saya berjalan mengelilingi York Minster ini, mengagumi setiap sisi salah satu gereja katedral terbesar di Eropa bagian utara. Sayangnya, di bagian belakang gereja sedang ada renovasi sehingga terpal besar menutupi keindahan tekstur dan arstitektur bangunan.
Spot terbaik untuk mengambil gambar memang dari depan gereja dengan pohon beranting tanpa daun sebagai pemanis. Mencoba masuk ke dalam, saya hanya mengamati interior gereja dari belakang. Cukup mahal biaya untuk masuk dan mengelilingi seisi gereja ini, sekitar 16 pounds. Menurut penuturan seorang pengunjung, kita bisa menaiki anak tangga hingga sampai ke puncak gereja. Konon, di situlah pemandangan seisi kota York terbaik yang bisa ditemui.
Keluar dari York Minster, saya melanjutkan perjalanan ke Museum Gardens dengan melewati jalan setapak di York Minster Dean’s Park, taman yang berada persis di sebelah gereja. Ditemani sinar matahari yang tak terlalu terik, saya memperlambat langkah seraya mencoba menikmati suasana langka ini. Museum Gardens, sebuah taman botani yang menjadi rumah bagi beberapa peninggalan bersejarah kota York. Yorkshire Museum adalah salah satunya dengan berbagai koleksi peninggalan dan penemuan di bidang arkeologi, astronomi, geologi, dan biologi. Yang menarik perhatian saya justru sisa-sia benteng Roman yang bernama Eboracum. Dulu kala, Eboracum ini menjadi bagian dari tembok Roman yang tersohor. Lubang-lubang besar berbentuk seperti selongsong peluru berjejer yang mungkin dulunya diperuntukkan jendela, saya juga kurang yakin. Seiring matahari mulai kembali ke peraduannya, saya pun bersegera melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir, York National Railway Museum.
Bagi para pecinta kereta, National Railway Museum ini wajib dikunjungi. Koleksi-koleksi di dalamnya boleh jadi tak ditemukan di museum-museum lain. Tak perlu mengeluarkan biaya untuk menikmati koleksi di museum ini. Di dalam, untuk kesekian kalinya saya langsung terhanyut imajinasi ke masa lampau sambil melihat berbagai koleksi kereta kuno yang berjejer di rel. Suasana ruangan pun didesain semirip mungkin dengan stasiun di masa itu. Ada juga koper-koper kulit berjejer dan foto-foto penumpang kereta di masa lalu. Lagi-lagi, apa yang saya lihat mengingatkan tentang film Harry Potter saat para penyihir muda itu menunggu kereta di stasiun menuju Hogwarts. Di bagian museum lain, kereta-kereta yang lebih modern juga dipajang. Termasuk Shinkansen, kereta super cepat milik Jepang. Puas melihat koleksi kereta, saya beranjak ke ruangan lain di mana koleksi unik paraa penumpang kereta dari masa ke masa disimpan.
———
Sudah hampir jam 5 sore. Setengah jam lagi kereta yang akan membawa saya kembali ke rumah di Manchester segera tiba. Saya memutuskan menyudahi perjalanan singkat di York hari itu. Bisa dibilang, tak banyak kota di Inggris yang bisa dijelajahi dalam satu hari dan York menjadi satu dari sedikit kota itu. Kota ini memang tak besar namun ia menyimpan banyak sekali cerita yang terpatri abadi dalam setiap bangunan dan peninggalan bersejarah. Menelusurinya bak kembali ke masa lampau. Ketika sampai di jalan-jalan sempit itu, tak sulit membayangkan bagaimana hidup di jaman ratusan tahun lalu. Bangunan-bangunan dan penataan yang masih mirip dengan aslinya memperkental imaji itu.
Di stasiun yang juga berusia lebih dari seratus tahun ini, saya terduduk sejenak sambil mengistirahatkan tubuh yang sudah seharian tadi diajak berkelana. Bentuk stasiun yang setengah oval dengan dinding terakota ini tak berubah sejak pertama kali dibangun sekitar tahun 1800. Di tengah lamunan, pengumuman dari pengeras suara terdengar. Kereta saya sudah tiba. Saya harus meninggalkan kota kecil penuh cerita ini. Semua yang dialami seharian tadi pasti abadi dalam pikiran, sebuah pengalaman menarik yang tak hanya memanjakan mata dan hasrat berkelana, tapi juga membesarkan hati.