Dari Sebuah Janji
by Bayu Adi Persada
Cerita ini sebenarnya sudah ditulis cukup lama dan menjadi pembuka untuk sebuah bab baru dalam hidup saya, melanjutkan studi di Inggris, sebuah tanah yang dulu sempat asing namun kini sudah berhasil mengambil hati.
——- ——- ——-
Saya masih ingat betul janji itu. Janji pada mereka, anak-anak didik saya yang menjadi bagian penting perjalanan mengajar itu selama setahun. Bagaimanapun, janji itu mesti tunai dibayar. Saya tidak ingin mereka mengingat saya sebagai pengingkar. Selama beberapa waktu, telepon dan pesan singkat kerap datang dari mereka untuk mengingatkan saya akan janji itu. Janji untuk kembali ke desa tempat saya merajut pengalaman terbaik sebagai seorang guru bagi anak-anak luar biasa di pesisir itu.
Karena janji itu pula, saya memutuskan kembali. Kembali ke sebuah desa kecil tempat saya dan anak-anak pesisir sana merajut mimpi bersama, Desa Bibinoi. Saya pernah berjanji tiga tahun lalu untuk kembali saat mereka ujian nasional di kelas enam. Masih teringat jelas bagaimana raut wajah lucu dan polos mereka saat baru naik kelas empat. Pasti sudah banyak yang berubah saat saya datang nanti. Hati mulai tidak sabar menjelang perjumpaan itu lagi.
———
Dini hari itu pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Sultan Badaruddin di Ternate. Lama penerbangan tidak membuat saya terkantuk. Justru di atas awan itu, saya membayangkan apa yang akan terjadi sesampainya saya di sana. Apakah anak-anak itu sudah lupa gurunya? Apakah kedatangan saya diharapkan? Ada saja pikiran-pikiran aneh yang menghantui. Hampir empat jam perjalanan saat pilot memberikan pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat mendarat di Ternate.
Nostalgia ke tiga tahun lalu kembali berputar di pikiran. Detik-detik itu masih jelas teringat dalam ingatan. Salah satu pengalaman terbaik dalam hidup pasti tak mudah dilupakan. Ia menjadi renda abadi dalam kehidupan hingga tiada lagi nyawa di raga.
Saat menginjakkan kaki di bandara, banyak yang terasa berbenah dan berubah. Bandara di sini sudah jauh lebih besar dan megah. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu waktu bandara ini masih teramat kecil dan kumuh. Saya bahkan pernah membandingkannya dengan terminal di Kampung Rambutan. Tak lama saya menunggu di bandara. Pesawat kecil yang akan membawa saya ke Bacan telah menunggu. Ya, kali ini perjalanan dari Jakarta ke Bibinoi bisa ditempuh dalam satu hari saja.
Panggilan naik pesawat sudah diperdengarkan. Saya kembali bersiap dengan tas ransel kecil untuk masuk pesawat. Pesawat berbaling inilah yang akan membawa saya ke tanah Bacan, tanah kenangan itu. Kurang yakin juga jenis pesawat ini, saya pikir ini mirip Fokker. Dua puluh menit saja lama penerbangan ini. Tak terasa. Pesawat baru lepas landas dan tak berapa lama, pesawat akan mendarat lagi.
Suasana ini sama sekali tidak asing. Saya ingat bau udara dan citra pepohonan di sini. Air hujan mulai turun berintik. Saya mempercepat langkah menuju ke ruang kedatangan. Dari kejauhan, saya melihat kumpulan orang membawa sebuah poster besar. Semakin dekat, semakin jelas rupa mereka. Mereka anak-anak didik saya dulu. Mereka menyambut saya. “Selamat datang Pak Guru Bayu di Bacan,” begitu tulisan di poster itu. Saya terharu.
Hanya berkomunikasi lewat telepon sebelumnya, saya akhirnya berkenalan dengan Leny, Pengajar Muda tahun ke 4 di Halmahera Selatan. Ada juga Syamil, sahabat dekat selama di desa dan anak-anak SMP dan SMA. Anak-anak SMP ini dulu masih kelas 5 saat saya masih mengajar di sana. Kini mereka telah beranjak dewasa dengan tubuhnya yang semakin besar. Betapa waktu cepat sekali berlalu.
Di depan bandara, sekelompok anak-anak SD dan MIS menari cakalele. Seperti sedang menyambut pejabat. Suasana hingar di bandara langsung menarik perhatian setiap orang di sana. Saya jadi tak enak hati. Namun bagi saya, ini jadi penghargaan besar sekaligus menghapus semua keraguan akan kedatangan saya di sini. Saya sadar keberadaan diri memang diharapkan di sini dan sekarang, saya amat bersyukur bisa melunasi apa yang dijanjikan tiga tahun lalu.
Di perjalanan menuju Babang, pemandangan di kiri kanan tak banyak berubah. Belum banyak pemukiman warga di sini. Hutan dan kebun warga masih menjadi penghias utama. Mungkin bagi kebanyakan warga, lebih nyaman tinggal dekat dengan kota. Suara musik keras tetap jadi ornamen khas otto di sini. Senyum tipis menyeringai kala ingat terakhir kali berada dalam otto seperti ini.
Saya banyak bertemu sanak keluarga di Pelabuhan Babang. Ternyata hari itu, banyak sekali warga yang pergi ke kota untuk sekedar berbelanja dan menyelesaikan urusan lain. Saya bertemu Pak Malik, guru sekaligus sahabat baik. Kami berpeluk biarpun peluh masih melekat di badan kami setelah seharian berkegiatan. Begitu juga dengan keluarga lain yang kaget akan kedatangan saya di sini. “Orang Jakarta kembali ke sini,” ucap kebanyakan orang yang bertemu saya. Dalam hati kecil, ini kekeluargaan yang dulu pernah saya tinggalkan tapi ikatan itu tak luntur sama sekali. Fisik boleh terpisah, tapi silaturahmi terus terjalin erat.
Sesampainya di desa, tak banyak orang di sekitar pantai itu. Saya melanjutkan langkah ke rumah Pak Malik untuk bermalam dan beristirahat. Istri Pak Malik langsung memeluk saya seperti lama sekali tak bertemu. Kembali bertemu dengan wajah-wajah familiar membuat hati lega dan bahagia. Saya tak punya banyak waktu di desa ini. Hanya tiga hari dua malam waktu yang saya miliki. Waktu yang mahal ini mesti dimanfaatkaan sebaik mungkin.
Saat masuk waktu Ashar, saya berjalan sedikit ke masjid desa. Masjid ini menjadi saksi banyak kenangan indah selama saya di sana. Mulai dari sebesar pesantren kilat hingga sesederhana Munarsi yang membalikkan sandal saat saya keluar masjid. Saya bertemu dengan Pak Imam yang langsung mengenali saya. Kami sejenak berbincang dengan para tokoh desa di teras masjid itu. Sebuah awal nostalgia yang mengesankan. Kami membicarakan apa saja. Saya menceritakan kenapa saya kembali dan tentu tak lupa, isu politik dan Piala Dunia. Kebetulan di bulan itu ada dua acara besar, Pemilihan Presiden dan Piala Dunia di Brasil.
Kedatangan saya kembali ditemani listrik yang sedang putus. Ini tak berbeda dengan tiga tahun lalu. Hanya saja menurut warga, listrik di sini sudah semakin baik. Sialnya, listrik baru putus saat saya datang. “Pak Bayu kurang beruntung ini,” kelakar Pak Malik. Saya terima saja sambil bernostalgia dengan kondisi persis seperti ini waktu datang tiga tahun lalu ke desa.
Di waktu yang terbatas itu, saya memutuskan berkeliling ke semua warga keesokan hari. Ditemani anak-anak, saya menyusuri setiap rumah sampai ke kampung warga Nasrani. Bertemu dengan anak-anak baik itu lagi. Olan, Ena, Natalia, Ejon, Piter, dan lainnya menemani langkah saya. Bertegur sapa dengan warga yang akan berangkat ke kebun atau sedang bersantai di teras rumah. Orang tua Olan sempat mengajak saya masuk ke rumahnya yang masih amat sederhana. Hanya saja, lantai rumahnya sudah diplester sekarang. Kami tak berbicara banyak, hanya menyambung kembali silaturahmi yang telah hampa tiga tahun ini. Obrolan-obrolan ringan seputar sekolah, kehidupan di sini menjadi bumbu pertemuan kami. Tak berapa lama, saya memutuskan segera pamit.
Esok hari menjadi sangat penting. Saya akan kembali ke sekolah dalam sebuah acara kelulusan anak-anak kami. Bukan lagi dalam kapasitas dan peran saya sebagai guru resmi. Saya datang sebagai keluarga jauh yang rindu. Tapi saya tak datang dengan tangan hampa. Bahu ini tengah memanggul banyak mimpi untuk dibagi.
———
Suasana di sekolah tak pernah terasa asing. Saya selalu bisa cepat larut dalam hiruk pikuk anak-anak, orang tua, dan guru. Acara pembagian rapor pun dimulai di ruangan yang masih agak berdebu. Dari tiga tahun lalu, ruangan ini tak banyak diperbaiki, cat yang mulai luntur, meja kursi yang terlihat lebih rapuh. Apapun, ruangan ini masih layak untuk dipergunakan dalam berbagai acara sekolah.
Kepala sekolah memulai dengan sambutan singkat. Pak Adin menyambut setiap orang tua yang hadir dengan menyampaikan bahwa momen hari itu sangatlah spesial karena kedatangan saya. Saya menyimpul senyum kecil menyingkap betapa senang dan terhormatnya bisa merasakan kembali momen-momen penting sekolah seperti ini. Saya dan orang-orang tua saling berpandang dalam senyum dan raut wajah sumringah. Sekumpulan anak-anak masih menunggu di depan pintu depan dekat tempat kami para guru duduk. Mereka dengan setia menunggui kami yang tengah menjalani acara penting untuk mengakhiri satu tahun siklus pembelajaran.
Selesai kepala sekolah memberikan sambutan, ketua komite dan kepala desa pun turut memberikan sepatah dua patah kata. Saya sering sekali terharu saat itu ketika para tokoh yang dihormati ini meninggikan keberadaan saya di sini. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan sebenarnya. Saya hanya seorang guru yang kembali untuk menengok anak-anak ajarnya dulu. Jauh perjalanan dan pengorbanan untuk sampai di sini tak seberapa dengan silaturahmi yang kembali terjalin dan senyum setiap orang melihat saya kembali.
Tiba saatnya untuk saya menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang sudah lama sekali ingin saya katakan langsung pada anak-anak, guru-guru, dan orang tua di Bibinoi. Saya kemudian berdiri, menatap seisi ruangan. Ruangan kali itu penuh sekali diisi orang tua. Bahkan beberapa orang tua tak sungkan berdiri di baris paling belakang. Saya memulai dengan salam. Meski rasanya tak perlu memperkenalkan diri lagi, entah kenapa waktu itu sata kembali memperkenalkan diri. “Barangkali sudah ada yang lupa deng kita,” ucap saya dengan logat setempat yang masih kental yang disambut tawa oleh seisi ruangan.
Saya menceritakan banyak hal yang sudah terjadi selama tiga tahun belakangan. Dari sekilas tentang pekerjaan saya hingga kabar bahwa saya telah menikah dan istri saya tengah mengandung buah hati kami. Saya meminta maaf karena tak bisa membawa istri karena resikonya terlalu besar. Perjalanan ke BIbinoi cukup melelahkan dan kami tak ingin nantinya terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada kandungan istri saya. Padahal, Sesa, istri saya, sangat ingin hadir di sini. Waktu kami berkenalan dulu, salah satu cerita andalan saya adalah pengalaman mengajar di desa ini. Mungkin itu pula yang membuat dirinya mau menikah dengan saya. Sesa menitipkan salam untuk semua anak-anak dan keluarga di Bibinoi. Mungkin lain kali, keluarga kecil kami kembali sempat berkunjung ke sini.
Cerita terus mengalir dari lidah saya sampai akhirnya saya berbicara tentang mimpi. Mimpi yang tiga tahun lalu sempat saya dan anak-anak tuliskan dalam sebuah pohon mimpi sederhana. Pohon mimpinya boleh sederhana tapi mimpi itu mesti ditaruh tinggi-tinggi dan dijaga baik-baik. Itulah yang saya lakukan selepas tunai menjalankan tugas sebagai guru di Bibinoi. Saya akan melanjutkan studi pascasarjana di Inggris bulan September nanti. Tiga tahun lalu, itu hanya sebuah tiga kata yang dituliskan dalam sebuah kertas origami berbentuk angsa. Kini, tiga kata itu, ‘Sekolah di Inggris’, menjadi nyata.
“Siapa yang bisa menyangka seorang guru di desa seperti Bibinoi ini nantinya punya kesempatan belajar di tempat-tempat terbaik di dunia?” Saya mencoba menggedor pemikiran-pemikiran sempit yang mungkin masih mengakar pada diri orang tua di sini. Sama sekali tidak ada yang tidak mungkin. Mimpi itu jangan dan seharusnya tidak dianggap remeh. Setiap mimpi itu sah dan mesti diperjuangkan keras-keras. Begitu juga dengan mimpi anak-anak mereka. Saya yakin sekali tiga tahun ini dengan guru-guru yang berbeda dan jauh lebih baik dari saya, anak-anak Bibinoi bisa terus berkembang lebih baik, dalam kapasitas akademik dan perilakunya. Saya selalu dan tak pernah lupa menanamkan tujuan menjadi anak yang pintar dan baik pada mereka. Pesan terakhir saya meminta para orang tua menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Orang tua harus mampu menjadi pendorong mimpi anak-anaknya.
Di akhir waktu pembicaraan saya, saya mohon pamit karena keesokan hari harus meninggalkan Bibinoi. Saya juga mohon doa karena tak lama setelah pulang dari Bibinoi, saya mesti melanjutkan perjalanan yang tak kalah sulit untuk menuntut ilmu di Inggris. Maaf pun juga mengiringi karena tak bisa berlama-lama di sini. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan di Jakarta sebelum keberangkatan. Namun, saya yakin ikatan silaturahmi ini tak akan luntur sampai kapan pun. Acara pun berakhir setelah rapor anak-anak dibagikan pada orang tua. Saya menyempatkan diri berjabat tangan pada setiap orang tua yang hadir, berpelukan hangat dengan beberapa. Ada sedikit sesal memang tak bisa merasakan kehangatan seperti ini lebih lama.
———
Saya sampai di depan rumah Pak Adin. Rumah yang penuh dengan kenangan, buruk atau baik tak lagi jadi masalah. Kami tetaplah keluarga meski telah lama terpisah samudera. Jam tangan menunjukkan pukul 12 siang lebih. Sinar matahari cukup terik siang itu. Sudah jam makan siang rupanya. Di pagi hari saat acara pembagian rapor, saya berjanji pada Pak Adin akan datang siang nanti untuk makan siang. Katanya, Mama Saida akan membuat masakan khusus. Tentunya kesempatan ini tak boleh dilewatkan.
Sampai di dalam rumah, sepertinya tidak ada orang. Saya langsung berjalan ke bagian belakang rumah. “Pak Adin… Pak Adin,” panggil saya. Belum ada orang yang menyaut. Tak lama, Pak Adin membuka tirai dan keluar dari kamarnya. Kami berbalas senyum. Tangan pun tak lupa berjabat. “Aduh, maaf ini. Mama belum sempat membuat makan siang. Ini ada makan siang seadanya,” ujarnya. Saya lalu duduk di kursi dekat meja makan. Baru duduk sebentar, Ari berlari melewati kami. Saya sampai pangling dengan anak ini. Hati saya terenyuh melihatnya. Ia kini hitam, kusam, dan seperti tak terawat. Berbeda dengan tiga tahun lalu saat ia masih lucu-lucunya di pangkuan saya. Seorang teman yang menjadi pengurai senyum dan tawa. Sejak Mariam, ibunya, meninggalkan ia bersama suami barunya, Ari diasuh oleh Pak Adin dan Mama. Mungkin mereka terlalu sibuk sampai-sampai tak mengurus Ari dengan baik. Saat saya panggil, ia sama sekali tak mengenali. Bibirnya masih penuh pasir. Entah apa yang baru saja dia lakukan. Saya menoleh ke arah Pak Adin seakan meminta tanggapan. Ia hanya tersenyum tipis. “Begitulah anak-anak, Pak Bayu,” jawabnya datar.
Di meja makan hanya ada nasi putih yang sudah agak mengeras. Sepertinya ini sisa tadi pagi. Pak Adin beranjak dari kursi dan mengambil dua potong ikan dari lemari makan. Dengan sendok, saya menyentuh sedikit dua potong ikan itu. Sudah keras dan dingin. Saya tentu tak bisa berbuat apa-apa selain memakannya. Sungguh tak enak hati kalau saya menelantarkan makanan ini. Hanya tiga sendok nasi saya ambil dari bakul dan sepotong ikan. Karena tak mau terlalu merasakan makanan ini, saya mempercepat makan. Seketika, habis sudah seporsi kecil itu.
Pak Adin kemudian bercerita tentang keluarganya. Kedua anak perempuan tertuanya sekarang sudah tidak lagi tinggal di rumah. Mereka mengikuti suaminya merantau di desa lain untuk bekerja. Saat ditanya bekerja apa, jawabnya tak berubah sejak tiga tahun lalu. “Apa saja. Kerja kayu, bangunan, yang penting halal.” Budi sudah bersiap untuk melanjutkan sekolah di Jakarta. Saya pun meyakinkan Pak Adin ini menjadi langkah yang baik. Kekhawatiran itu wajar adanya, tapi sesuatu yang berlebihan pasti tak berakhir baik. “Yang terpenting, Pak Adin terus pantau Budi,” ujar saya singkat. Saya pun merekomendasikan beberapa perguruan tinggi yang mungkin bisa jadi pilihan sesampainya Budi di tanah Jawa. Ul tengah merintis karier sepakbolanya di Ternate sedang saya tak begitu banyak menanyakan kabar Naini dan Meme. Mereka sedang santai di ruang tengah saat kami mengobrol. Sesekali kami berbagi lirik lalu senyum pun berbalas.
Mama baru sampai rumah saat saya hendak pulang ke rumah Pak Malik. Ia baru saja selesai memasak dari rumah tetangga. Tetangga ini akan membuat hajatan pernikahan anaknya, mama tentu wajib dimasukkan ke dalam korps pemasak. Saya pun mengurungkan niat untuk pulang. Kami berpeluk dan saling bertanya kabar. Mama meminta maaf karena tak sempat memasakkan makan siang untuk kami. Ajakan untuk memasak di rumah tetangga tadi datang amat mendadak, baru tadi pagi.
Tubuh Mama masih subur, tak ada yang berubah. Kami pun kembali berbagi cerita tentang apa saja. Mengabarkan tentang istri yang mengandung menjadi topik paling menyenangkan untuknya. “Mama tara sangka Bayu so mau jadi Bapak,” ujarnya. Kalau boleh jujur, saya pun sebenarnya tidak begitu siap juga menjadi ayah dari seorang anak perempuan. Asyik mengobrol membuat saya lupa waktu. Saya mesti pamit dari Pak Adin dan Mama. Pamit bukan hanya untuk saat itu, tapi juga untuk esok hari saat saya harus kembali ke Jakarta. Tak ada harapan lain bagi keluarga ini selain kebaikan seterusnya bagi Pak Adin dan Mama serta anak-anaknya. Meski tampaknya kondisi sekarang tak banyak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, masa depan itu masih terus bisa diperjuangkan. Sebelum saya meninggalkan rumah, Pak Adin dan Mama memberikan hadiah batu bacan. Batu bacan ini memang tengah populer di sana. Saya kurang mengerti apa istimewanya. Namun, konon menurut Pak Adin, harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah. “Assalamu’alaikum.” Salam saya menjadi penanda perpisahan kami. Entah kapan bisa berjumpa lagi. Yang jelas, saya lega silaturahmi ini tersambung kembali.
———
Sore terakhir di desa saya habiskan bersama anak-anak berjalan di tepian pantai. Berbicara tentang apa saja. Dila menyeletuk, “Pak Guru, nanti kirim kartu pos ya dari Inggris!” Saya mengangguk. “Apa lagi?” “Pak Guru pe foto saja kita sudah senang kong,” sahut Ena.
Sampai di sebuah pohon besar, kami duduk-duduk santai sejenak. Angin berhembus semilir menyamarkan cuaca panas.
Dengan sisa satu lembar uang kertas di kantong, saya membelikan setiap anak minuman botol untuk menemani santai sore kami. Diman dengan cekatan langsung memanjat pohon. Ia senang sekali menikmati minumannya di atas pohon sambil melompat kesana kemari. Yang lain menemani saya duduk di kursi kayu. Anak-anak serius sekali mendengarkan saya bercerita tentang Inggris, tanah impian itu. Di tengah pembicaraan, Sarlota menyeletuk, “Pak Guru pe anak perempuan kah laki-laki?” “Perempuan.” Jawaban yang disambut senyum bahagia oleh mereka. “Nanti ngoni punya adik perempuan.” Perkataan saya semakin membuat riuh suasana. Mereka sudah tidak sabar bertemu calon adik perempuannya.
“Kapankah Pak Guru kemari lagi?” Munarsi menutup waktu santai kami sore itu. Pertanyaan yang berat untuk dijawab. Meski terpisah ribuan kilometer, hati kami pasti tetap tertaut. Saya enggan berjanji kali ini. Senja sudah mulai kental di ufuk barat. Bulan sudah mulai tampak di penjuru langit lain. Anak-anak mesti kembali ke rumah sebelum hari mulai gelap. “Doakan saja secepatnya ya, Munarsi.” Kami pun berpisah. Beberapa anak masih mengikuti saya karena jalan pulang kami yang searah. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Malam terakhir sudah menjelang di pesisir penuh kenangan ini.
——
Perahu cepat sudah menunggu saya di dermaga. Tahu waktu saya yang tak lagi lama di sini, saya mulai berpamitan dengan keluarga Pak Malik. Beberapa anak setia menunggu di depan rumah untuk mengantarkan saya ke dermaga. Semua barang sudah dimasukkan di tas, saya siap berangkat. Setelah berpelukan dengan Pak Malik, saya berjalan sebentar ke rumah Pak Budi. Di sana, Pak On dan Bu Japia mampir untuk memberikan saya batu bacan. Sebelumnya, Pak Mantri juga memberikan cincin berbatu bacan yang ada di jari tengahnya. Saya benar-benar tak bisa menolak. “Pak Bayu simpan saja cincin ini,” ucap Pak Mantri singkat.
Di tengah jalan menuju dermaga, saya bertemu Tete Haji. Spontan, kami berpelukan lagi selayaknya keluarga yang telah lama tak bersua. Beliau amat menyayangkan tak bisa bertemu lebih lama. Saya pun menyesal tak bisa bersilaturahmi lebih lama dengannya. Baru saja beliau datang dari Labuha setelah menyelesaikan beberapa urusan di sana. Saya pun menanyakan keberadaan beliau saat pertama kali datang. “Pak Bayu, terima kasih sudah datang lagi di sini,” tutup beliau.
Dermaga sudah mulai ramai. Anak-anak dan pemuda mulai berkumpul di jembatan kayu itu. Saya hendak pamit. Memang suasananya tak seperti tiga tahun lalu, tapi sungguh perasaan meninggalkan desa ini tak pernah terasa mudah. Motoris sudah menyalakan mesin. Saya perlahan menjejakkan kaki di pijakan untuk masuk ke perahu. Menjelang keberangkatan, saya menatap satu per satu wajah anak-anak, pemuda, dan keluarga di sini. Raut wajah cerah menandakan saya sudah tunaikan janji itu. Janji untuk kembali di desa ini.
Seiring perahu yang mulai lepas dari dermaga dan menjauh dari pantai, saya tak bisa mengalihkan pandangan dari kerumunan orang di pesisir itu. Pesisir yang selalu ada dalam cawan rindu.