Berpulang

Kabar duka itu menyeruak pagi yang tenang saat saya usai menunaikan shalat Subuh. Sekedar membuka akun media sosial, saya mendapati ucapan belasungkawa seorang teman pada sosok yang sepertinya saya kenal baik. Saat itu, saya belum sepenuhnya sadar apa yang baru saja dibaca. Tertulis, “..berbelasungkawa untuk korban tabrakan kereta api di Bintaro dan Ical (Informatika ITB 2006).”

Yang terpikir detik itu, apakah Ical ada di kereta naas tersebut? Bukankah yang terdampak parah adalah kereta khusus perempuan? Ical kan sedang studi di Eropa? Tak lama, saya segera mengkonfirmasi dengan seorang sahabat. Ternyata benar, Ical telah berpulang. Saya terdiam seakan masih mencerna kabar yang baru saja saya dengar.
Bukan, ia tidak berada di kereta itu. Sampai tulisan ini dibuat, belum diketahui penyebab dirinya meninggal begitu cepat di usia yang masih teramat muda.

Tentang Ical, saya jadi teringat kejadian empat tahun lalu. Waktu itu, saya dipercaya menjadi pelatih kepala tim sepakbola Informatika ITB dan Ical menjadi kiper andalan kami. Namun, di pagi itu ia membuat saya amat geram karena tak kunjung menunjukkan batang hidungnya pada sebuah pertandingan penting melawan Teknik Sipil, calon kuat juara. Tak ada kabar sama sekali.

Akhirnya, kami kalah dua gol tanpa balas. Bukan kekalahanlah yang menjadi alasan kemarahan saya saat itu padanya. Ketidakdisiplinan menjadi parameter paling esensial dalam mengukur profesionalisme. Ical mengkhianati timnya saat itu. Saya ingin memberi contoh pada semua anggota tim dengan menskors dirinya.

Sore harinya, saya mendapat telepon dari Ical. Di ujung telepon, ia berkata sedikit terbata-bata. Dirinya menyesal karena tak hadir dan tak memberi kabar. Ayahnya datang karena ada urusan penting, begitu katanya singkat. Saya menyampaikan keputusan skorsing dirinya. Ia menerima dengan lapang dada. Yang membuat saya terkejut, dirinya tetap datang pada latihan berikutnya. “Gak apa-apa, Bay, gw gak main. Yang penting, gw tetep jadi bagian tim ini.” Saya tidak yakin redaksi tepatnya, tapi begitulah inti perkataannya. Singkat dan lugas.

Dari situ, saya melihat Ical sebagai seorang pemberani yang mau mengakui kesalahan dan menerima konsekuensi dari kesalahan itu. Tak banyak anak muda yang berkenan menyingkirkan gengsinya seperti itu. Apalagi Ical punya alasan kuat karena dialah kiper terbaik kami. Saya menaruh respek tinggi atas keputusannya.

Baru kurang lebih setahun yang lalu saya kehilangan seorang sahabat, Aheng. Seorang penggemar Inter Milan yang rela berjalan kaki dari Bandung ke Jakarta hanya karena timnya memenangkan treble, tiga piala bergengsi sekaligus. Kata ‘hanya’ sepertinya tidak relevan bagi setiap fans sejati seperti dirinya. Baginya itulah kebanggaan tak ternilai, sama seperti keberhasilan dirinya mengajar satu sekolah sekaligus di Desa Belang-Belang. Begitulah Aheng dengan pribadinya yang unik dan dedikasinya yang amat mulia.

Belum juga genap sebulan lalu, seorang pengajar muda, Aditya, berpulang saat menjalankan tugas. Saya tak pernah mengenal dan bertatap muka dengannya, tapi saya amat tahu jengkal demi jengkal perjuangan itu. Oleh karenanya, saya bisa terus menaruh simpati.

Kemudian, Ical yang berpulang. Seorang anak muda dengan kecerdasan jauh di atas rata-rata dengan prestasi akademis dan karir yang hebat. Kecintaannya pada Liverpool sepertinya bisa membuatnya jadi suporter kehormatan, sama seperti Aheng.

Mereka semuanya berpulang dalam usia yang amat muda. Tentu umur tidak lagi jadi entitas penting jika berbicara kepulangan yang abadi. Saya sebagai seorang teman dan sahabat hanya bisa mendoakan yang terbaik agar kepulangan mereka dinilai baik oleh Allah SWT.

Saya mengibaratkan kita semua seperti sedang berada di ruang tunggu bandara. Kita semua, sadar tidak sadar, sebenarnya sedang menunggu panggilan. Kita tidak pernah tahu siapa yang lebih dulu beranjak dari tempat duduk untuk kemudian berangkat ke tujuan. Tujuan yang kita tahu pasti namanya tapi tak pernah ada orang yang masih menunggu itu pernah merasakannya.

Jika melihat sekeliling, kita bisa melihat ada seorang tua yang sudah sejak lama menunggu tapi ia belum juga dipanggil. Akan tetapi, suatu waktu kita mendengar nama seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan dipanggil melalui pengeras suara di ujung sana. Ia mesti meninggalkan ibu dan keluarganya.

Kita bisa memilih untuk melakukan apa saja sambil menunggu. Ada yang sesantai mendengarkan musik, menonton video, bercengkerama santai dengan sesama penunggu, dan ada juga mereka yang benar-benar serius menjalani apa yang diyakini. Apa pun itu.

Saya jadi teringat perkataan Umar bin Khattab RA, “Kejarlah duniamu seakan-akan kau akan hidup selamanya. Persiapkanlah akhiratmu seakan-akan kau akan mati besok.” Sebuah perkataan yang menampar diri pribadi. Sudahkah saya menjalani kedua-duanya itu dengan baik.

Bagi saya, yang terpenting berusaha semampunya menghidupi hidup yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Lalu berusaha menegakkan tiang pancang kokoh dengan menjadi hamba yang paling baik di mata Allah, penentu siapa yang akan dipanggil lebih dulu. Biarpun terkadang turun naik dan jatuh bangun terlena nafsu dan tipu daya, saya ingin selalu siap.

Saya ingin dapat berjalan tenang tanpa tergesa-gesa, menyimpul senyum tipis, dan membawa keyakinan bahwa sesuatu yang amat baik sedang menunggu di sana. Saya ingin seperti itu saat suara di ujung sana menggema seraya memanggil, “Bayu, giliranmu.”