Catatan Akhir Tahun: Meninggalkan Zona Nyaman

Jika saya dapat menyimpulkan apa yang saya lakukan di tahun 2014 dalam 3 kata, maka judul tulisan inilah yang menjadi kata-kata kuncinya. Saya yakin, bagi siapapun, tak akan mudah meninggalkan semua kenyamanan yang telah kita rasakan. Ketakutan selalu menghantui akankah langkah yang kita ambil nanti membawa kenyamanan yang sama seperti sekarang. Jawabannya sebenarnya sederhana, kenyamanan itu semata-mata tentang persepsi, sudut pandang kita dalam melihat kondisi.

Sebagai seorang pejalan yang berambisi menjelajah seluruh penjuru Indonesia dan bermimpi menginjakkan kaki di lima benua di dunia, saya yang dulu agak takut tentang komitmen pernikahan. Ya, memang alasannya terkesan sepele tapi lagi-lagi definisi kenyamanan menjadi amat subjektif. Bagi saya, memiliki keluarga menekankan kita pada komitmen dan sesekali kompromi. Kompromi bahwa seketika kita tak lagi sendiri, hasrat untuk melanglangbuana harus ditekan. Keleluasaan itu mungkin agak memudar. Jelas berbeda dengan kebebasan pribadi saat masih melajang.

Rasul menghadapai pilihan yang tak mudah saat Allah memerintahkan dirinya untuk berhijrah dari Mekah ke Madinah. Saya pun tak berbeda. Padahal yang akan saya ambil seharusnya menjadi dorongan untuk menggenapkan agama dan menunaikan sunah Rasul. Keyakinan itu akhirnya makin kokoh saat saya memutuskan melamar seorang gadis dari ayahnya. Saya harus meninggalkan zona nyaman ini. Secepatnya.

——

Pernikahan di awal tahun 2014 menjadi pijakan pertama saya di luar zona nyaman. Kisah manis di awal-awal pernikahan menjadi pengingat bahwa saya mengambil keputusan yang tepat. Dua bulan setelah menikah, Sesa, istri saya, sudah mengandung buah hati kami. Sejujurnya, kami tak pernah tergesa-gesa memiliki anak. Tapi sungguh takdir Allah ini meyakinkan kami untuk siap menjadi orang tua, delapan bulan dari sekarang.

Ketakutan-ketakutan tentang pernikahan yang mengekang saya dalam melakukan perjalanan ternyata tidak terbukti. Sesa sangat suportif dengan hobi saya ini meski kini harus berhitung benar akan masalah waktu dan dana. Bahkan, dalam beberapa kali kesempatan, kami bersama melakukan perjalanan itu walaupun jaraknya tak begitu jauh dari ibukota tempat kami tinggal. Justru dalam saat-saat seperti itu, saya menyesal kenapa tidak dari dulu menikah. Ternyata menjadi pejalan bersama istri sangat menyenangkan. Tempat tak lagi jadi ambisi, tapi kebersamaan itulah yang tak terbeli.

Sesa juga mengerti keinginan saya untuk mendaki Gunung Rinjani. Setelah setahun sebelumnya sukses menaklukkan Mahameru, ada hasrat yang lebih besar untuk naik kelas. Rinjani, gunung ketiga tertinggi di Indonesia, menjadi sasaran. Beberapa hari sebelum mendaki, saya mengidap sakit yang cukup serius hingga mesti dirujuk dan dirawat di rumah sakit. Sulit sekali meyakinkan istri saat itu bahwa kondisi saya sudah memungkinkan untuk mendaki. Setelah perdebatan alot, Sesa mengijinkan saya untuk pergi dengan syarat penting untuk tidak memaksakan diri dan mengonsumsi obat teratur. Saya setuju.

Saya pun berangkat bersama tim untuk menuntaskan misi sulit ini. Dalam proses pendakian, saya menerobos batasan diri untuk sampai ke puncak. Batas diri sangat terasa tapi pendakian ini seperti tak punya arti tanpa sampai di puncak itu. Dorongan untuk terus bertahan muncul karena dalam waktu hitungan empat bulan, anak kami akan lahir. Meski dengan tenaga yang amat terbatas, saya terus memaksakan diri. Pada akhirnya sampai di puncak, saya tahu benar nilai-nilai besar yang akan diceritakan nanti pada anak-anak kami. Tentang keberanian dan keyakinan akan sebuah kerja keras.

——

Surat resmi itu akhirnya saya terima. Akhirnya setelah proses seleksi yang panjang, saya diterima menjadi penerima beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris. Sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tak terkira kala akhirnya berhasil mencapai mimpi untuk sekolah di Inggris. Namun, di sisi lain, saya mesti membuat keputusan berat saat meninggalkan pekerjaan yang sudah memberikan saya banyak hal selama lebih dari dua setengah tahun. Meninggalkan pekerjaan yang nyaman dan rekan-rekan yang sudah saya anggap seperti keluarga jelas bukan perkara gampang. Dengan sebuah keyakinan akan masa depan yang lebih baik, saya meninggalkan itu semua.

Dari pekerjaan itu, saya bersyukur mampu mempelajari banyak sekali hal-hal baru dan menghidupi istri, orang tua, dan adik. Saya tak pernah menyangka di usia semuda itu saya mampu berbuat banyak untuk keluarga. Kebahagiaan itu seringkali tak akan bisa dinilai dengan materi. Kebahagiaan telah menjadi manfaat diri bagi orang-orang terdekat melampaui kepunyaan akan materi apa pun. Hal itu menjadi pelajaran penting dalam masa-masa sulit keluarga saat itu.

Meski saya ditawari untuk cuti tanpa gaji selama setahun, saya enggan untuk mengambilnya. Saya takut tidak bisa menjalani komitmen ini dengan baik. Jika saya ambil kesempatan itu, lalu di kemudian hari ada kesempatan yang lebih baik, saya tak mau mengkhianati kepercayaan perusahaan yang telah mengembangkan dan membesarkan diri saya sejauh ini. Saya pernah bilang pada atasan dan rekan-rekan di sana, lebih baik tak terikat secara profesional tapi ikatan personal kita tetap baik. Bagaimanapun, silaturahmi harus selalu terjalin.

Saya yakin telah melakukan yang terbaik di perusahaan itu sehingga merasa tak ada beban untuk  meninggalkan karir di sana. Di hari terakhir saya di kantor, saya merasa terhormat dipertemukan dengan pimpinan perusahaan. Apalah posisi terakhir saya di sana, namun kesempatan langka ini tentu pantas disyukuri. Di luar dugaan, Pak Arsjad, CEO perusahaan, menyampaikan rasa bangga bahwa ada salah satu keluarga di perusahaan yang ia pimpin mendapatkan beasiswa. Kami bercerita cukup lama di ruangan mewah di lantai paling atas itu. Di akhir pembicaraan, saya mohon pamit dan berharap semoga perusahaan ini semakin berkembang baik. Pak Arsjad memberikan wejangan untuk terus berpikir positif dan melakukan yang terbaik dalam sebuah surat yang hingga kini terus saya simpan.

——

Setiap pilihan untuk meninggalkan zona nyaman selalu tidak mudah untuk diambil. Banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran yang menghantui konsekuensi pilihan kita. Namun, yakinlah di balik setiap kesulitan, ada kesempatan untuk menjadi lebih baik. Kesulitan menempa diri untuk tangguh dan berani mengambil resiko.

Berani mengambil resiko berbeda dengan gegabah. Gegabah mencerminkan pribadi yang terburu-buru yang cenderung memilih pilihan tanpa pertimbangan yang matang. Ini yang perlu dihindari. Penyesalan tak akan ada arti saat kita tak lagi bisa kembali ke belakang dan mengulangi kesemuanya dari awal.

Saya selalu teringat pesan Pak Anies Baswedan saat purna tugas sebagai guru di desa pesisir itu. “Bayu, pilih jalan yang mendaki.” Pesan itu masih kental dalam pikiran dan selalu dibawa kemanapun jalan hidup saya nantinya. Saya mengerti zona nyaman tak membawa saya ke kemana-mana. Ia cenderung membuai dalam kesenangan semu. Tidak, saya tidak ingin terkukung di dalamnya. Saya percaya hanya dengan meninggalkannyalah, saya bisa mencapai puncak-puncak tertinggi lain dalam hidup.