Cerita Sebuah Inspirasi

4 Juli 2011
Ini cerita tentang sebuah kejadian yang mungkin kebetulan. Kejadian yang menjelaskan bagaimana inspirasi itu mengalir pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kadang kita tidak pernah memperkirakan dengan cara apa inspirasi itu datang. Dia hanya datang saja, tiba-tiba.

Liburan kemarin, saya memberikan waktu sangat cukup untuk diri menyegarkan kembali segalanya. Mulai dari pikiran, fisik, dan hati. Saya kembali melakukan perjalanan. Perjalanan yang selalu tidak biasa. Kali ini saya menginjakkan kaki di Vietnam dan Kamboja.
Naif jika menjadikan perjalanan hanya sebagai pelancongan untuk hura-hura semata. Dalam setiap perjalanan, kita selalu bisa belajar. Belajar mengambil keputusan sulit, mengatakan cukup untuk hal yang kita senangi, atau sekecil bagaimana menawar barang di pasar tradisional.

Setelah mendapatkan kepastian cuti dari yayasan, saya tidak menyia-nyiakan tiket murah yang sudah saya beli tepat setahun yang lalu. Tiket pesawat Jakarta-Ho Chi Minh City pulang pergi hanya ditebus dengan ongkos lima ratus ribu perak.

Namun sayang, malang tak bisa ditolak. Karena masalah paspor, saya harus menunda keberangkatan menjadi dua hari lebih lambat. Saya tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah. Kakak dan adik saya berangkat terlebih dahulu ke negeri Paman Ho. Awalnya saya menyalahkan diri sendiri karena keteledoran melihat paspor yang masa berlakunya tersisa empat bulan lagi. Seperti yang sudah-sudah, saya selalu mencoba melihat sisi baiknya. Entah apa. Tapi pasti ada.

Kejadian tersebut membuat saya harus membuat rencana perjalanan sendiri. Terlepas dari rencana yang sudah saya dan kakak rencanakan sejak jauh-jauh hari. Dalam dua hari awal, saya harus melewati perjalanan seorang diri. Baru di hari ketiga, kami akan bertemu lagi di Pnom Penh, Kamboja. Itu rencana daruratnya.

Ini pertama kali saya melakukan perjalanan seorang diri. Terlebih lagi, bukan di negeri sendiri. Tapi di negeri yang masih asing dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa berbahasa Inggris. Namun inilah sebenarnya kesempatan saya untuk benar-benar belajar. Menjaga diri dan merencanakan semua aktivitas sendiri.

Hari pertama di Vietnam dijalani dengan biasa-biasa saja. Karena sulit sekali mencari masakan halal, saya bersusah payah mencari mesjid di Ho Chi Minh. Sama sekali tidak mudah. Sempat ditipu oleh tukang ojek juga karena kendala bahasa. Yah, saya maklum saja. Saya mendapati pelajaran pertama, jangan terlalu cepat melakukan deal dengan orang-orang tertentu. Pastikan semuanya sesuai yang kita inginkan. Kalau perlu gunakan tulisan untuk memastikan harga dan rute.

Hal yang menarik terjadi di hari kedua. Saya mengambil bis jurusan Pnom Penh dengan harga 10$. Penuh sesak di dalam bis. Semua kursi terisi. Tidak ada turis. Hanya orang Vietnam dan Kamboja saja. Saya langsung mengambil tempat di paling belakang. Biar tidak harus terlalu banyak berinteraksi.

Saya sudah bersiap jika tujuh jam perjalanan ini akan membosankan. Tidak ada teman ngobrol, tidak ada juga hiburan. Kadang memang pemandu di bis ini melawak. Kok saya bisa tahu dia melawak? Semua orang di bis tertawa, kecuali saya. Pelajaran kedua, iPod sangat mungkin menjadi teman terbaik di perjalanan.

Bis berhenti di suatu persimpangan. Ada penumpang baru. Saat menoleh ke depan, ternyata ada turis perempuan yang baru masuk. Dia langsung duduk di paling belakang juga. Saya tidak melihat dia bersama orang lain. Setelah perjalanan beberapa lama, saya baru tahu kalau memang turis ini memang melakukan perjalanan sendiri.

Tak selang berapa lama, kondektur bis mulai meminta paspor dan uang untuk visa Kamboja pada semua penumpang. Dari beberapa situs yang saya lihat, banyak yang menyebutkan ongkos visa sebesar 25$. Turis ini enggan mengeluarkan uang sebesar itu. Dia tidak yakin dengan jumlah yang harus ia keluarkan. Dia ingin mengurus sendiri sesampainya di perbatasan.

Bahasa Inggris turis ini kurang begitu bagus. Tebakan saya, ia mungkin dari Perancis atau Spanyol. Kondektur bis tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Akhirnya, saya mencoba membantu menengahi. Saya bilang memang ongkos visa rata-rata sebesar itu. Dia pun akhirnya mengerti dan membayar sejumlah itu.

Khusus untuk pembaca, setelah saya telusuri, ternyata ongkos visa Kamboja sebenarnya adalah 20$. Namun, Anda harus berani ribet di kantor perbatasan Kamboja. Sama seperti Indonesia, Kamboja terkenal negara yang korup. Mesti tegas untuk menghindari pungutan liar.
Es itu pun cair. Setelah pembicaraan dengan kondektur bis itu, kami jadi bisa mengobrol. Dia lalu menanyakan asal negara. Standard conversation opening. Tebakan saya sedikit meleset. Dia berasal dari Portugal. Her name is Marta. Dalam obrolan selanjutnya, saya jadi bisa mengenal Marta lebih jauh. Dia berumur 21 tahun dan sedang kuliah di Universitas Lisbon. Yang paling membuat saya kagum adalah keberaniannya untuk menjadi pejalan seorang diri. Di sebuah negara yang amat asing dan jauh dari kemapanan di Eropa. Bahkan, dia sudah lebih dari dua minggu menjelajahi Asia Tenggara, mulai dari Thailand, Laos, dan Vietnam!
I don’t know why, but I will certainly fall for a girl who is brave enough to travel alone. 

Sepanjang perjalanan, banyak hal-hal yang saya tidak bayangkan sebelumnya terjadi. Jangan dulu berpikir yang macam-macam. Dari awalnya hanya dua orang asing yang saling bertegur sapa, kami menjadi teman seperjalanan. Karena sama-sama sendiri, kami sepakat untuk menempuh perjalanan selanjutnya bersama. Kebetulan tempat-tempat yang dituju juga sama. Alangkah beruntungnya saya mendapati seorang teman perjalanan yang tidak hanya menarik, tapi juga berani.

Di sebuah rumah makan di Kamboja, bis berhenti sejenak untuk makan siang. Kebetulan saya hanya makan roti dari pagi. Walaupun jelas ada isu halal, saya tak punya pilihan lain. Di rumah makan ini dijual lebih banyak masakan babi daripada yang lain. Saya memesan nasi, ikan, dan sayur. Seperti yang diduga, harganya memang asal tembak. Satu lauk diberi harga satu dolar. Jadi makanan saya berharga 3 dolar!

Marta memperingati saya untuk tidak minum es teh yang tersaji di meja makan. Dia mengatakan kualitas air di Kamboja parah sekali. Walaupun segelas es teh itu sangat menggoda, saya mengikuti sarannya. Daripada nanti diare dan mengganggu perjalanan, lebih baik minum air putih kemasan saja. Okay, good point indeed!

Cerita berlanjut ketika kami kembali masuk ke bis untuk melanjutkan perjalanan. Saya mulai menceritakan profesi saya sebagai guru di sebuah desa. Dia terkejut tidak percaya. Dia beranggapan saya masih terlalu muda untuk menjadi guru. Saya menjelaskan bahwa menjadi guru tidak harus tua, asalkan hati memang terpanggil, setiap orang bisa mendidik.
Pernyataan ‘guru tidak selalu harus tua’ ini banyak sekali saya utarakan pada orang-orang yang saya temui di perjalanan ketika mereka menanyakan profesi. Saya selalu menunggu orang-orang itu mengemukakan pertanyaan itu karena saya bisa menjawab bangga, “I am a teacher.” Guru memang sebuah profesi terhormat di dunia barat. Sayangnya, itu belum terjadi di Indonesia.

Kemudian dia meminta saya menceritakan apa yang saya kerjakan di sana. Saya berbicara panjang lebar tentang bagaimana menjadi guru dan suka duka tinggal di desa. Sambil memperlihatkan foto anak-anak yang selalu saya simpan di HP, dia sangat menikmati apa yang saya ceritakan.

Sampai suatu saat dia menimpali, “Thanks for telling me this story. I am inspired. Now, I am sure to do volunteering in Siem Reap for a month. Orphanage or school, it doesn’t matter.”
Saya tergelak mendengar perkataannya. Ternyata, dia sedang bimbang untuk memutuskan menjadi sukarelawan di Kamboja selama satu bulan.
Dia tidak mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Mereka menganggap menjadi sukarelawan di negara terbelakang adalah hal yang berbahaya. Berada di tempat yang bagai bumi dan langit dari zona nyamannya di Eropa. Namun, keteguhan dan keyakinan hati berkata sebaliknya. Berada di Kamboja adalah mimpi buatnya. Dan kesempatan berinteraksi serta mengabdi untuk masyarakat di Siem Reap adalah sesuatu yang tidak terbeli.

Yang bisa saya lakukan sebagai seorang teman hanya memberi semangat. Menyatakan bahwa niatnya adalah hal yang amat mulia. Sebulan di Siem Reap akan menjadi pengalaman yang sangat berharga dan pembelajaran luar biasa. Sesuatu yang mulia itu harus diperjuangkan karena hasilnya tak pernah bisa ditebak bahkan seringkali melebihi apa yang dibayangkan.

Itulah cerita sederhana tentang sebuah inspirasi. Inspirasi yang mengalir begitu saja. Hari itu, saya tak pernah menyangka bisa membuat orang lain mengubah pendirian akan apa yang dia ragukan. Kami bertemu bukan karena kebetulan. Inspirasi tidak juga datang secara kebetulan. Hanya orang yang punya keinginan kuat akan mendapatkannya. Entah dari mana, kapan, dan di mana.

Satu hal yang pasti, saya bersyukur bisa berbagi. Berbagi hal yang paling berharga, pengalaman hidup. Karena hanya dengan kaya pengalaman, kita bisa bercerita banyak. Dengan banyak bercerita, akhirnya kita bisa menginspirasi.

Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi. Ah, lovely.