Perjalanan Sebuah Ide

by Bayu Adi Persada

29 Oktober 2011

Anda tidak akan pernah tahu kapan munculnya sebuah ide. Kadang ketika kita benar-benar membutuhkannya, ide tidak kunjung datang. Justru dia muncul di saat-saat yang tidak terduga dalam aktifitas kita seharian. Bagaimanapun juga, ide butuh aksi untuk menjadi niscaya. Tanpa perbuatan yang nyata, sebuah ide akan tetap di awang-awang.

Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah ide ditemukan untuk kemudian dimasak dan dijadikan nyata. Dalam perjalanannya, tentu tidak mudah. Banyak pagar-pagar berdiri yang membuat kita memikirkan lagi cara-cara paling baik dalam melompati pagar-pagar itu. Namun, kerja keras dibayar lunas oleh sebuah keberhasilan. Keberhasilan yang memang tidak benar-benar sempurna, tapi sempurna hanya milik Sang Pencipta.

Keberadaan kami di desa tinggal menghitung hari. Tinggal sebulan, kurang lebih, saya mengabdi di desa yang amat saya cintai. Banyak hal yang ingin saya lakukan namun waktu tak pernah mau kompromi. Di saat itulah, kami para Pengajar Muda mendapat perintah dari Yayasan untuk memperluas jangkauan pengaruh keberadaan kami hingga tingkat kecamatan.

Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami benar-benar harus memperluas pengaruh keberadaan kami ke desa-desa lain. Lokasi desa-desa tetangga yang dipisahkan lautan luas atau hutan lebat membuat saya tak menjadikan desa-desa tersebut sebagai agenda pada area pengembangan. Namun, perintah tersebut membuat saya tertantang. Dengan waktu dan sumber daya yang terbatas, ada optimisme muncul bahwa dengan niat yang tulus dan kerja keras, tidak ada yang tidak bisa dicapai.

Matahari panas membuat mandi saya kali itu berkesan. Setelah seharian diguyur jutaan fraktal sinar ultraviolet, butiran air dingin setengah asin sore itu benar-benar memberikan penyegaran. Di saat itu pula, muncul sebuah ide untuk membuat ide kegiatan yang melibatkan seluruh desa di kecamatan. Kenapa kita tidak membuat lomba cerdas cermat se-kecamatan? Pasti akan seru dan menyenangkan.

Kemudian, saya perlu teman untuk mematangkan ide ini. Saya beranjak pergi ke rumah Adhi untuk elaborasi gagasan. Memang pemikiran dua orang itu lebih baik daripada sendiri. Dari perbincangan kami berdua, muncullah sebuah ide kegiatan besar, Peremian Rumah Belajar Bibinoi dan Lomba Tingkat Kecamatan. Akan luar biasa efeknya kemudian kalau kita bisa mengundang para pemegang otoritas dan pengambil kebijakan sampai tingkat kabupaten.

Tujuan sudah ada, tinggal menyiapkan ‘kendaraan’. Tentunya nilai kegiatan tersebut akan lebih besar kalau kita mampu mengajak orang-orang yang peduli pendidikan di desa untuk ikut serta. Akhirnya, kami melibatkan organisasi karang taruna, Ikatan Remaja Bibinoi, untuk menjadi partner kami menyelenggarakan even besar ini.

Walaupun mereka masih minim pengalaman dan pengetahuan membuat sebuah even skala kecamatan, justru saya melihat ini sebagai kesempatan bagi mereka sebagai pribadi dan kelompok untuk mengembangkan diri dan organisasi. Persiapan yang matang benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan acara sesuai rencana.

Setelah konsep acara dibuat, kita harus mengundang desa-desa lain untuk ikut berpartisipasi. Ini termasuk tahap yang memberatkan. Perhubungan ke desa-desa lain masih terbatas dan relatif sulit. Jadi kalau ingin mengirimkan undangan, tak bisa kirim pos atau SMS, harus mendatangi langsung desa-desa tersebut.

Tantangan ada untuk dijalani. Siang itu, saya dan beberapa pemuda Ikatan Remaja Bibinoi akan menjelajah lautan lebih ke timur untuk mengunjungi 4 desa tetangga, Tabapoma, Tutupa, Tomara, dan Wayatim. Perjalanan memakan waktu dua jam lebih untuk sampai ke desa paling terpencil, Wayatim.

Lautan cukup tenang kali itu. Ditambah cuaca yang cerah, perjalanan tak terasa membosankan. Dengan pemandangan Pulau Halmahera di kejauhan dan pepohonan hijau di daratan, kami menikmati suara percikan air dan desiran angin yang senantiasa menemani.

Bertemu dengan kepala-kepala sekolah setiap desa, mengobrol sebentar, silaturahmi dengan beberapa warga, tak terasa senja sudah menyingsing. Kami harus kembali ke desa. Agenda mengantar undangan hari itu sudah selesai. Mudah-mudahan mereka menyempatkan hadir di desa untuk memeriahkan acara ini.

Keesokan harinya, kami mesti menjelajah hutan ke barat untuk sampai ke dua desa terakhir, Songa dan Tawa. Kebetulan, perjalanan ke sana sudah bisa melewati jalan darat walaupun kondisinya masih tanah berbatu dan banyak sekali tanjakan. Dengan tiga buah motor dan ditemani lima orang lain, kami siap mengalahkan hutan belantara.

Cuaca panas tak menghalangi kami untuk berangkat. Ini kali pertama saya melakukan perjalanan darat dengan motor ke desa-desa tetangga. Sebenarnya lebih cepat dan nyaman kalau memilih naik perahu. Tapi apalah arti sesuatu yang nyaman. Kita hanya akan sedikit belajar dan tak akan mengalami hal-hal baru dalam kenyamanan.

Jalanan mulai terjal dan sangat berbatu. Beberapa kali harus melewati aliran sungai yang untungnya tidak deras. Di beberapa daerah lembab, jalanan masih berlumpur yang membuat kami harus sangat berhati-hati kalau tidak mau terjebak. Yustiadi yang mengendarai motor lain, terjatuh dua kali karena tak mampu mengendalikan motornya ketika melewati tanjakan.

Semua kelelahan terbayar dengan pengalaman luar biasa. Kondisi hutan yang masih sangat alami dan sungai-sungai berair jernih memuaskan orgasme akan petualangan seru, menghilangkan dehidrasi untuk hasrat berpetualang.

Sampai di Desa Songa, kami mampir di rumah seorang warga untuk sekedar minum es. Menemui seorang guru SD Inpres untuk mengundang mereka berpartisipasi. Tak lupa mengambil air sumur untuk membasahi kepala yang sudah mulai panas. Perjalanan belum berakhir di sini. Masih harus terus berjalan ke desa terakhir, Desa Tawa.

Desa Tawa adalah desa paling barat di Kecamatan Bacan Timur Tengah. Semua penduduknya beragama Nasrani. Ketika kami sampai di sana, suasana desa sangat sepi karena memang hari libur dan hampir semua penduduknya pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Biarpun demikian, kami enggan pulang dengan tangan hampa. Sudah jauh-jauh kemari tapi tidak bisa menemui satu orang pun.

Akhirnya kami ditunjukkan rumah kepala sekolah oleh salah seorang warga yang lewat. Yang bersangkutan tidak ada di tempat. Kami hanya disambut oleh istrinya.
Saya melihat Indonesia sesungguhnya di Desa Tawa. Meskipun Halmahera pernah menjadi tempat sejarah kelam karena perseturuan antar agama beberapa tahun lalu, jejak itu tidak tersisa sama sekali di Desa Tawa.
Kami dijamu selayaknya tamu yang datang dari jauh. Diberikan minum, kue, diminta beristirahat sejenak, bahkan ditawarkan makan siang. Tentu kami tak bisa menerima semuanya. Setelah mengantarkan undangan dan beristirahat sebentar, kami mesti segera kembali ke desa sebelum hari mulai sore.

Persiapan menjelang hari H sangat intens dan melelahkan. Mulai dari dekorasi Rumah Belajar Bibinoi, pendirian panggung dan tenda, persiapan perlengkapan lomba-lomba, hingga mengajak seluruh masyarakat desa untuk hadir dalam acara ini.

Awalnya, saya tidak banyak berharap akan kehadiran Bupati. Maklum, meskipun secara resmi diundang, beliau orang sibuk dan pasti banyak agenda kegiatan yang mesti dihadiri.
Tak selang berapa lama sebelum acara benar-benar dimulai, ada pengumuman Bupati sudah merapat di pantai Desa Bibinoi. Lega sekali rasanya.
Ditambah beberapa pejabat pemerintah daerah dan dinas pendidikan kabupaten yang juga sempat hadir, acara ini boleh dibilang sukses besar. Kerja keras beberapa minggu terakhir terbayar dengan apresiasi dari semua yang hadir.

Di desa kami, penduduknya sangat mengkultuskan pemimpin. Lagipula, Bupati Muhammad Kasuba memang orang asli desa. Jadi, apa pun perintah dan titah beliau, pasti dituruti oleh semua warga desa tanpa bertanya. Dampak negatifnya, masyarakat menjadi memiliki mental peminta dan hanya menunggu kebijakan tanpa ada inisiatif dari bawah.
Dampak positifnya, setidaknya untuk kami, bupati mampu menularkan kepeduliannya pada pendidikan di desa kami saat acara itu. Efek selanjutnya, kepedulian pendidikan dalam lingkup desa semakin masif dan menggerakkan. Ketika Bupati menyempatkan dirinya meresmikan Rumah Belajar Bibinoi, otomatis masyarakat akan tahu bahwa mereka kini punya fasilitas pendidikan baru yang bisa dimanfaatkan.

Berita lain yang menggembirakan, anak-anak SDN Bibinoi mampu menjadi juara di tiga lomba yang ada, Lomba Cerdas Cermat, Lomba Mewarnai, dan Lomba Membaca Puisi.

Dream team dari SD kami, Munarsi, Dila, dan Olan berhasil menjadi yang terbaik di Lomba Cerdas Cermat tingkat kecamatan. Bukan mau jumawa, tapi saya berani membawa ketiga anak ini bertanding dengan sekolah mana pun. Mereka brilian, luar biasa, … saya sampai kehabisan kata-kata menyatakan betapa spesialnya mereka. Munarsi anak jenius matematika, Olan anak pecinta sains, dan Dila anak berpengetahuan luas.

Suhardi menjadi terbaik kedua di Lomba Membaca Puisi. Tak sia-sia saya mengajarkannya intonasi, gerakan, dan penghayatan yang baik dalam membaca puisi sehari sebelum lomba. Dia benar-benar mampu mengaplikasikan semuanya.
Meme, anak kelas II SD, menjadi juara II dalam Lomba Mewarnai. Dengan tangannya yang mungil, dia mampu membuat karya yang apik, rapi, lagi mengesankan.

Sesungguhnya, satu-satunya kebahagiaan guru adalah ketika melihat anak-anak didiknya berhasil. Saya merasakan hal itu untuk ke sekian kali.

Itulah cerita bagaimana kita memupuk sebuah ide sederhana hingga benar-benar berbuah dan berdampak besar. Acara Peresmian Rumah Belajar Bibinoi dan Lomba Tingkat Kecamatan sukses dilaksanakan meski dengan beberapa kekurangan. Kekurangan adalah sarana untuk belajar. Semuanya ada untuk dievaluasi dan kemudian diperbaiki.

Acara tersebut merupakan agenda terakhir saya dalam pelaksanaan tugas di Desa Bibinoi. Setelah acara itu, saya bisa dengan agak lebih tenang merapikan pakaian-pakaian dan barang-barang ke dalam koper.

Sedih rasanya saya tidak bisa lagi melihat dari dekat bagaimana Rumah Belajar Bibinoi kian berkembang dan anak-anak SD kami yang semakin brilian dan membanggakan. Hanya doa dan dukungan yang tak pernah putus yang bisa saya berikan.
Sejuta harapan yang sudah saya tanamkan di desa itu. Saya percaya harapan itu tak akan pernah putus sampai kapan pun. Masyarakat kini sudah semakin matang dan tahu pentingnya pendidikan. Anak-anak sudah memiliki fasilitas yang bisa selalu mereka gunakan untuk mengembangkan diri.

Sepuluh hari lagi menjelang kepulangan saya kembali ke tanah Jawa.
Saya hendak pamit.