Catatan Perjalanan: Harmoni Alam di Baluran

by Bayu Adi Persada

Hamparan padang rumput hijau yang seakan tak berujung membuat saya cepat jatuh hati. Berada di tempat paling atas pos pengamatan satwa, saya bisa melihat segala sisi sabana dan hutan-hutan belantara. Di kejauhan, terlihat sekumpulan rusa (Cervus timorensis russa) sedang menikmati kebersamaan dengan kelompoknya sambil bersantap hidangan yang tak akan habis satu hari satu malam.

Saya jadi merasa berada di belahan benua lain. Melihat satwa hidup di habitat aslinya, pepohonan lebat berdekatan, hingga padang rumput yang teramat luas. Tiba-tiba seorang penjaga memecah lamunan saya, “Mas, mari turun ke bawah. Kita akan menuju wisma untuk menginap.” Ah, saya masih berada di negeri sendiri.

—————

Saya sampai di gerbang utama taman nasional siang itu. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih enam jam dari Surabaya, ada kelegaan tersendiri ketika akhirnya melihat sebuah logo berlambang banteng dengan tulisan amat besar di sampingnya, Taman Nasional Baluran. Tinggal sedikit lagi mencapai sabana yang konon amat melegenda dan tentu saja berharap bertemu banteng sebagai ciri khas satwa yang mendiami kawasan ini.

Baluran-JJ (14 of 15)-k

Taman Nasional Baluran terletak di wilayah Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Tepatnya di sebelah utara Banyuwangi.  Nama taman nasional diambil dari sebuah nama gunung yang ada di kawasan ini, Gunung Baluran.

Letaknya yang masih di Pulau Jawa dan mudahnya akses menuju ke sana membuat Taman Nasional Baluran bertambah pesonanya bagi para pejalan. Ditambah kekayaan vegetasi dan fauna di dalamnya, Taman Nasional Baluran memang sudah memiliki nama di kalangan mereka yang senang berpetualang.

Dari gerbang utama, kendaraan kami masih harus berjalanan sejauh sepuluh kilometer sampai ke Bekol, lokasi pusat pengamatan satwa. Tak sabar rasanya lekas sampai ke sana. Meskipun jaraknya tak begitu jauh, kendaraan kami mesti sering melambat karena kondisi jalanan yang kurang baik, kalau tak mau dibilang buruk. Aspal jalanan yang sudah teramat rusak mungkin disebabkan kontur tanah yang terlalu lunak atau kualitas aspal yang memang seadanya.

Melihat pemandangan di sisi kanan dan kiri jendela, kami seakan berada di hutan belantara. Pepohonan lebat tertutupi rimbun semak-semak menutupi sinar matahari yang hendak masuk. Seiring kendaraan bergerak perlahan, padang rumput nan hijau sudah terlihat di kejauhan. Gairah menjelajah kembali naik.

Kami sampai di Bekol saat matahari masih sedikit condong ke arah barat. Cuaca panas langsung terasa saat saya keluar dari mobil dengan pendingin udara. Dari sana, saya berjalan kurang lebih dua ratus meter ke arah bukit di mana menara pandang berdiri.

Baluran-JJ (15 of 15)-k

Saat menapaki tangga ke bukit kecil, pandangan saya teralihkan oleh keberadaan seekor burung merak ukuran sedang yang sedang berjalan santai di sekitar kantor penjaga taman nasional. Spontan, saya bergerak mendekat. Sayangnya, merak itu langsung merasa terganggu lalu cepat pergi menjauh. Hilang sudah kesempatan memandangi hewan tercantik di kawasan ini.

Saya perlahan menaiki menara pandang setinggi kurang lebih sepuluh meter. Dari atas sana, saya bisa melihat segala sisi taman nasional. Sejauh mata memandang, hanya dominasi hijau rumput dan pepohonan dan biru muda dari langit cerah siang itu yang terlihat. Taman nasional dengan luas 25.000 hektar ini seakan tak berujung.

Tak terbayang kekayaaan jenis flora dan fauna yang ada di sini dengan luas kawasan sebesar itu. Dari informasi di leaflet yang saya dapat saat membeli tiket masuk di visitor center, ada sekitar empat ratus jenis tumbuhan yang tumbuh di sini. Ada tiga jenis yang memang penghuni khas taman nasional; widoro bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta indica), pilang (Acacia leucophloea). Menurut penjaga taman nasional, ketiga jenis tumbuhan tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik dengan kondisi cuaca panas dan kering.

Di belakang sabana Bekol, terlihat beberapa kubangan yang belum didatangi pengunjung tetapnya, para kerbau liar (Bubalus bubalis). Hanya lumpur dan air kecoklatan saja yang terlihat. Saya mencoba menunggu berapa lama agar dapat melihat para kerbau liar itu dari atas. Mereka belum juga keluar setelah saya menunggu lebih dari sepuluh menit. Padahal biasanya di siang terik seperti ini, kerbau-kerbau liar menemukan kesenangannya dalam kubangan berlumpur itu.

“Jika belum mampu sampai ke Afrika, bisa ke Baluran Mas,” begitulah ucapan singkat Pak Yanto, seorang penjaga Taman Nasional Baluran yang saya temui dekat kantor taman nasional di Bekol. Ia meyakinkan saya bahwa pengalaman menjelajah taman nasional ini bisa disejajarkan dengan berkelana di sabana benua Afrika.

Saya mendapatkan banyak informasi dari Pak Yanto tentang fakta taman nasional ini. Taman Nasional Baluran memang merupakan perwakilan ekosistem hutan kering di Pulau Jawa. “Mungkin malah satu-satunya di Indonesia, Mas,” begitu tambahnya meski ia kurang begitu yakin. Tipe vegetasi yang lengkap dan beragam jelas membuat kawasan ini sangat kaya akan flora dan faunanya. Sepenglihatan saya, memang baru sabana dan hutan rawa yang menjadi bagian kawasan ini. “Ada beberapa lagi, Mas. Hutan di bawah Gunung Baluran, hutan musim, hutan mangrove, dan hutan pantai,” tambahnya. Kebetulan sekali karena saya memang memilih menginap di wisma dekat Pantai Bama sehingga bisa menikmati dua jenis hutan terakhir tersebut.

Di depan Sabana Bekol kita bisa menikmati evergreen, sebuah padang rumput amat luas. Pada musim hujan, sabana berubah menjadi padang rumput. Jika ingin melihat sabana dengan warna kuning keemasan seperti di Afrika, saat terbaik berkunjung memang ada di musim kemarau pada sekitar bulan April hingga November. Tentu tergantung preferensi masing-masing tentang waktu terbaik, namun kapan pun waktunya, saya percaya alam Baluran selalu punya trik tersendiri untuk memesona pengunjungnya.

Kendaraan kami kembali siap melaju ke Pantai Bama. Ada perasaan tersendiri ketika melewati sabana hijau teramat luas ini. Dari obrolan singkat saya dengan Pak Yanto sebelumnya, jika beruntung kita bisa melihat macan tutul (Panthera pardus melas) yang melintas di jalan setapak kecil yang membelah taman nasional.

Beberapa kali kendaraan kami berhenti di sisi jalan kecil untuk sejenak menikmati pemandangan sambil melihat sekumpulan satwa liar yang hidup di habitat aslinya. Saya kurang beruntung karena tak menemui sekumpulan banteng (Bos javanicus javanicus) yang terkenal sebagai penghuni khas taman nasional. Setelah mencari tahu, bulan-bulan di awal tahun memang bukan musim kawin sehingga tak banyak  banteng yang berkeliaran di alam. Lagipula, pada dasarnya banteng adalah binatang yang pemalu. Mereka enggan terlalu sering menunjukkan diri di alam. Untuk melihat banteng memang dibutuhkan usaha lebih untuk lebih masuk ke dalam hutan dan mengendap-ngendap di semak-semak.

Untungnya, tidak demikian dengan kancil (Tragulus javanicus pelandoc). Saya dapat dengan mudah menemui sekumpulan kancil yang sedang bersantai di bawah sebuah pohon besar. Mereka agak risih dengan kehadiran saya yang tak lepas membidik kamera ke arah kerumunan. Pemimpin kerumunan kancil pun menggiring kelompoknya menjauh dari tempat saya berada.

Di ujung ranting sebuah pohon besar jenis palem yang berdaun tipis, seekor elang Jawa bertengger dengan gagahnya. Ia tahu sedang menjadi pusat perhatian. Dadanya dibusungkan dan matanya tak membidik ke sebuah arah. Saya juga tak begitu yakin. Mungkin ia sedang mengincar seekor mangsa.

Tak begitu jauh perjalanan dari Bekol ke Pantai Bama, hanya sekitar setengah jam. Di beberapa lokasi, kondisi jalanan lebih buruk dari sebelumnya hingga membuat kendaraan kami berjalan amat pelan. Pepohonan palem menemani di setiap sisi jalan. Sudah banyak kera abu-abu yang mulai penasaran dengan kedatangan kami. Turun dari ranting-ranting pohon, mereka sesekali mencoba mendekat sambil memandang heran.

Pantai Bama menawarkan suasana pantai yang sejuk dan menenangkan. Tak ada ombak di pantai ini. Lokasinya hanya setengah jam berkendara dari Sabana Bekol. Saya memilih menginap di sebuah wisma di Pantai Bama ini. Sepertinya saya selalu rindu dengan desiran angin laut.

Di pagi hari, daerah sekitar pantai diserbu sekawanan kera yang memang kerap bermain-main saat air masih surut. Mereka sedang mencoba mengelabui kepiting-kepiting kecil dengan ekor kecilnya. Saya enggan mendekat. Salah-salah, malah saya yang mendapat cakaran nantinya. Lebih baik mengamati perilaku unik mereka dari jauh saja.

Memang keindahan Pantai Bama belum bisa dibandingkan dengan pantai-pantai di pulau lain yang sudah terkenal ke khalayak. Belum banyak terumbu karang di sekitar pantai ini. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup baru memulai konservasi terumbu karang di daerah sekitar pantai. Akan tetapi, dengan lautnya yang tenang, sangat cocok untuk berkeliling menaiki kano yang disewakan oleh pihak taman nasional.

Sayangnya, saya kehabisan kano untuk disewa sehingga tak ada cara lain menikmati laut selain berenang. Sekejap, saya sudah berenang agak ke tengah. Sampai sekitar tiga puluh meter dari lepas pantai, lautnya masih cukup dangkal. Bahkan kita masih bisa berdiri dan berjalan santai di tengah laut. Pemandangan bawah laut kurang begitu bisa terlihat karena sangat berpasir. Yang ada pun hanya rumput-rumput panjang. Hati-hati karena bisa jadi di balik rerumputan hijau itu ada bulu babi dengan jarumnya yang mampu membuat kulit terasa terbakar.

Baluran-JJ (6 of 15)-k

Bagi para pecinta burung, Taman Nasional Baluran sudah terkenal sebagai habitat bagi banyak sekali spesies burung, mulai dari elang Jawa (Nisaetus bartelsi), merak (Pavo muticus), hingga bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus) yang merupakan spesies burung yang cukup langka. Ada trek pengamatan burung yang bisa ditelusuri dalam hutan belantara. Trek ini terletak dekat sekali dari Pantai Bama. Waktu terbaik untuk pengamatan burung ada di pagi hari. Tentunya kita mesti sabar dan awas jika ingin melihat burung-burung  langsung di habitatnya karena gerak-gerik mereka yang sulit diprediksi.

Bersama beberapa orang, saya mencoba masuk ke jalur pengamatan burung. Karena belum ada yang berpengalaman mengamati gerak gerik hewan aves ini, kami tak banyak mendapati penampakan burung dengan jelas. Hanya suara-suara merdu saja yang kadang menggoda untuk menengadahkan kepala ke atas sambil mencari-mencari dari mana sumber suara itu. Sesekali, burung berwarna putih berparuh kuning besar terbang melintas di udara. Mungkin itu jenis bangau tong-tong.

Saya menemukan spot menarik di tengah-tengah hutan mangrove. Menelusuri  jembatan kecil di tengah-tengah hutan, saya sampai ke ujung jembatan di mana saya bisa melihat keindahan hutan mangrove dari arah laut. Kombinasi warna yang apik antara biru muda air laut dan hijau muda pepohonan dengan batang-batang mangrove di antaranya. Saya menghabiskan waktu cukup lama di sana. Hanya duduk bersantai menikmati seluruh indra bercengkrama dengan alam.

Duduk di rumah-rumahan kecil sambil menikmati desiran ombak kecil yang menyentuh jari-jari kaki. Ada ikan-ikan kecil yang berenang menjauh dari riakan air sebab kaki yang bergoyang. Bagi saya, kesan akan alam seperti ini amatlah langka. Tak banyak tempat yang menawarkan kenyamanan dan ketenangan seperti di tepian hutan mangrove ini.

————–

Melihat dan merasakan semua hal yang ada di Taman Nasional Baluran membuat saya semakin sadar mengapa kawasan ini disebut sebagai Africa van Java, sebuah representasi Afrika di tanah Jawa. Dalam hati, saya tak bisa enggan mengiyakan perkataan Pak Yanto di awal perjalanan. Semua yang dirasa memperkuat premis itu.

Sesungguhnya penyematan rasa Afrika sangatlah subjektif karena saya dan mungkin sebagian besar orang, belum pernah sekali pun menjejakkan kaki di benua mutiara hitam itu. Meski hanya pernah melihat kekayaan alam Afrika di televisi, saya berani mengatakan bahwa di Baluran, sensasi yang dirasa sudah bisa sebanding. Subjektifitas yang tentu dapat dipertanggungjawabkan.

Baluran-JJ (10 of 15)-k

Bergumul dengan setiap bait pengalaman mengamati hiruk pikuk kehidupan satwa liar di alam dan menjelajah hutan belantara hingga menemukan surga kecil di balik pepohonan mangrove semakin memperkaya imaji akan sebuah perjalanan yang membesarkan hati. Sebuah kesan yang hanya melahirkan gairah baru dibalut ketenangan ragawi.

Taman Nasional Baluran menjadi tempat yang sangat cocok bagi mereka yang ingin tenggelam di alam. Berinteraksi dengan setiap jengkal isinya, flora dan fauna hingga partikel-partikel kecil di dalamnya, hembusan angin semilir, bau dedaunan, dan pesona senja.

Layaknya tuan rumah, ia menerima kita sebagai tamu dan menjamu dengan baik. Jamuannya menyampaikan pesan tentang intimasi manusia dengan alam. Di mana kearifan manusia dalam menjaga dan menghargai alam bersinergi dengan timbal balik untuk manusia sendiri. Alam menjadi tempat yang menenangkan sekaligus mencerahkan. Memang begitulah seharusnya manusia berinteraksi dengan alam di mana ia tinggal. Sebuah harmoni yang kental terjaga di bumi Taman Nasional Baluran.